Tahun 13 Hijriah keatas, kisah ‘Perang Abul-Quds’ sangat
masyhur. Mengenai itu, ‘pernyataan’ pelaku sejarah, bernama Abdullah bin Unais, ditulis oleh Al-Waqidi, sejarawan Islam: [1]
Sejak dulu saya cinta Ja’far dan Abdullah, putranya. Ketika Abu Bakr As-Shiddiq ayah tiri Abdullah RA, wafat; Abdullah telah tumbuh dewasa; Ibu
Abdullah berduka-cita.
Pasukan Muslimiin dari Madinah telah diberangkatkan ke Damaskus,
sebelum Abu Bakr wafat.
Kepadaku, Abdullah berkata, “Hai putra Unais! Saya ingin
ditemani oleh 20 pasukan berkuda, untuk berjihad di Syam. Mau ikut?.”
Saya menjawab, “Tentu.”
Abdullah telah mendapat teman 20 pasukan berkuda. Dia berpamitan pada Ali dan Umar RA, untuk segera berangkat.
Sebelum ke Damaskus, dia pergi ke Tabuk. Dia bertanya, “Hai
putra Unais, bukankah kau tahu letak makam ayahku?.”
Saya menjawab, “Tentu.”
Dia berkata, “Saya ingin sekali ziarah ke sana.”
Saya menghantar dia bersama rombongan, menuju makam Ja’far.
Sebelumnya, saya juga menunjukkan tempat berperang dan gugurnya Ja’far.
Di sisi makam yang diberi tanda batu-batuan itulah, Abdullah
menangis dan berdoa, agar ayahnya mendapat rahmat. Kami berada di sana selama
dua pagi.
Ketika kami meninggalkan tempat; Abdullah menangis dan wajahnya
merah bagai parfum Za’faron.
Saya bertanya, “Ada apa?.”
Dia menjawab, “Semalam saya bermimpi bertemu ayah. Dia berbusana
dua hullah hijau, bermahkota, dan bersayap.
Membawa pedang terhunus berwarna hijau, untuk diserahkan padaku. [2] Dia berpesan ‘hai anakku! Perangilah musuh-musuhmu
dengan pedang ini! Kau takkan sampai kesini, kecuali dengan berjihad’.
Dalam mimpi itu, seakan-akan saya berperang, hingga pedang yang
saya gunakan, tumpul.
Rombongan kami sampai Damaskus, dan bergabung pada pasukan Abu Ubaidah RA. Di sana Abdullah diutus oleh Abu Ubaidah, agar memimpin Perang
Abul-Quds.
Ketika Abdullah tidak tampak, karena dikepung musuh berjumlah
banyak; saya memacu kuda secepat-cepatnya, menuju Abu Ubaidah, di Damaskus.
Abu Ubaidah bertanya, “Khabar gembira kan?.”
Saya berkata, “Tolonglah Abdullah bin Ja’far dan pasukannya”
Lalu melaporkan kejadian yang ada.
Pada dirinya sendiri, Abu Ubaidan berkata, “Innaa
lillaahi wa innaa ilaiHi raaji’uun. [3] Masyak rombongan Abdullah bin Ja’far
mendapat musibah besar, di awal pemerintahanmu?.”
Pada Khalid, dia menoleh dan berkata, “Hai ayah Sulaiman! Saya
minta demi Allah! Susullah Abdullah bin Ja’far! Kau bertugas membereskan urusan
ini.”
Khalid berkata, “In syaa Allah saya, yang
akan membereskan urusan ini. Sebetulnya saya telah menunggu perintah.”
Abu Ubaidah berkata, “Saya sungkan kau.”
Khalid menjawab, “Demi Allah! Meskipun hanya anak kecil, kalau
pimpinan, pasti saya taati. Apa lagi pada kau yang iman dan Islamnya lebih
dulu daripada saya. Bahkan kau diberi nama kehormatan (Al-Amiinالأمين//Orang Terpercaya),
oleh Rasulullah SAW. Sampai kapanpun saya takkan membandingi kau. Saya persaksikan
padamu bahwa ‘diriku’ saya tempatkan di Jalan Allah, dan ‘takkan
menentang’ kau, dan ‘takkan merasa pandai’ di depanmu, selama-lamanya.”
Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi Mulungan Sleman Jogjakarta Indonesia
[1] Tulisan ini dan sebelumnya, sebagai jawaban ‘fitnah’
bahwa “Umar dendam” Pada Khalid.
[2] Hullah seperti pakaian ihrom.
[3] Artinya: sungguh kita milik Allah, dan sungguh kita akan kembali pada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar