Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2015/02/09

PS 50: Pembebasan Syam



Penduduk Damaskus berkumpul di tempat tinggal tokoh-tokoh besarmereka. Mereka berembuk tentang ‘haruskah berdamai dan memberikan permintaan kaum Arab?’ 
Musyawarah sangat gaduh karena mereka tidak kompak. Ada yang setuju berdamai dan memberikan pajak; ada yang bersikeras menolak.
Kata mereka ‘kita tidak boleh menuruti permintaan mereka’, karena jumlah penduduk kita lebih sedikit, dibanding penduduk Ajnadin.”

Seorang bathriq berwibawa yang pendapatnya selalu diikuti oleh mereka, berkata, “Sebaiknya kita pergi ke hadirat Tuan Tuma. Untuk minta petunjuk mengenai ‘keputusan’ ini. Kita persilahkan beliau memutuskan damai atau perang.”

Para tokoh itu bebondong-bondong menuju Tuma, di rumah kediamannya yang mewah.
Sejumlah lelaki membawa pedang, menjaga keamanan rumahnya. 
Para penjaga bertampang sangar itu bertanya, “Ada perlu apa? Datang kemari?.”
Dengan hormat, mereka menjawab, “Kami ingin sekali bertemu TuanTuma, untuk minta petunjuk, mengenai urusan yang sangat gawat.”
Dari dalam, Tuma perintah, “Biarlah mereka menghadap kemari!.”

Mereka  dipersilahkan masuk, melalui pintu gerbang. 
Setelah masuk, mereka menyeberangi aula. 
Lalu bersujud pada Tuma, yang sangat agung di mata mereka.
“Tuan yang mulia” kata mereka, “Pertimbangkan musibah yang telah menimpa negeri kita. Kami tak mampu lagi menanggung kesulitan ini. Pilihan kami hanya dua:
1.     Menuruti permintaan kaum Arab.
2.     Atau Tuan memohon ‘bala-bantuan’ pada Raja Hiraqla, untuk memerangi mereka.
Walau mungkin Raja Hiraqla ‘tidak mengabulkan’ permohonan kita. Yang pasti ‘kami sangat kesulitan’.”
Dengan sombong, Tuma justru tersenyum lebar, dan berkata, “Kalian goblok! Jika menuruti kemauan mereka! Demi kepala raja! Setahu saya, mereka tidak ahli berperang! Menurut saya, mereka sangat remeh! Kalaupun pintu gerbang dibukakan untuk mereka! Dipastikan mereka takkan mampu memasuki, karena serangan pasukan kita yang dahsyat.”
Mereka menjawab, “Tuan jangan meremehkan mereka. Tiap seorang dari mereka, yang muda maupun yang dewasa, mampu memerangi 110 orang. Apalagi pimpinan mereka. Kalau memang kehendak tuan ‘berperang’, kami juga masih sanggup berjuang. Asalkan tuan yang memimpin ‘langsung’ pada kita.”
Dengan semangat, Tuma berkata, “Jumlah kalian lebih banyak, dan kota kita dikelilingi benteng. Jumlah senjata kalian banyak sekali. Yang kalian hadapi hanya kaum miskin telanjang kaki, pakain mereka juga sama robek.”
Dengan takut, mereka menjawab, “Tuan! Sebetulnya barang-barang kita yang mereka rampas dalam Perang Palestin, Bushro, Perang dengan Tuan Kalus, Perang dengan Tuan Azazir, Perang Ajnadin, ‘sangat banyak’. Selain itu, nabi mereka berkata ‘yang mati dari kita, masuk ke surga’. 
Karena itulah mereka berpakain ala kadar juga merasa senang, karena akan masuk surga.”
Tuma tertawa, lalu berkata, “Apa karena itu, lantas kalian menuruti kemauan mereka! Untuk merugikan kita sendiri? Kalau kalian berperang semangat! Pasti bisa menaklukkan mereka! Karena jumlah kalian berlipat-ganda daripada mereka!.”  
Dengan hormat, mereka berkata, “Tuan yang mulia! Keputusan terserah tuan. Yang pasti ‘jika tuan tidak segera bertindak’, mereka pasti berhasil membobol pintu pintu-gerbang semuanya. Dan kami terpaksa berdamai dengan mereka.”

Tuma diam lama, karena khawatir jika ucapan mereka ‘menjadi kenyataan’. Lalu ucapannya, “Akan saya pikirkan mengenai upaya, agar kalian bisa menaklukkan mereka. Saya yang akan membunuh panglima mereka! Tapi kalian semua, harus mau membantu!” membuat mereka lega.
Mereka menjawab, “Tentu! Bahkan kami semua mati pun ‘sanggup!’ Jika tuan mau memimpin.”
Tuma perintah, “Perintahlah semua pasukan agar besok pagi berperang! Sekarang silahkan pulang!.”

Mereka keluar untuk pulang dengan hati senang bahkan puas. Walau hati mereka berdebar-debar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar