Tsalabah sahabat nabi SAW yang tadinya
sangat miskin, lalu menjadi kaya karena doa nabi SAW. Hanya akhirnya menjadi
orang munafiq. Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang berbicara tentang itu:
وَمِنْهُمْ مَنْ
عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آَتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ
مِنَ الصَّالِحِينَ فَلَمَّا آَتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا
وَهُمْ مُعْرِضُونَ فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ
يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا
يَكْذِبُونَ [التوبة/75-77].
Artinya:
Sebagian
dari mereka ada yang berjanji pada Allah: “Niscaya jika Dia (Allah) telah
memberikan sebagian KefadolanNya
pada kami, niscaya kami akan bersodaqoh sungguh, dan niscaya kami sungguh akan
tergolong kaum shalih.”
Namun
ketika Dia (Allah) telah memberikan sebagian KefadolanNya pada mereka, mereka bakhil
mengenainya, dan berpaling dengan mengabaikan. Dia (Allah) pun mengecap Munafiq di dalam hati mereka, hingga hari mereka
bertemu Dia (Allah), karena telah menyelisihi Allah mengenai yang telah mereka
janjikan, dan karena mereka telah berbohong. [Qs At-Taubah 75-77].
Tengah, Dila, dan Anti bertanya:
“Kenapa ‘wa (وَ)’ di
dalam kalimat ‘waminhum (وَمِنْهُمْ)’
tidak diartikan?.”
liti dan Elan menjawab, “Karena hanya
berguna menjelaskan ‘kalimat sebelumnya sudah berhenti’.”
Dengan serempak, Tengah, Dila, Anti dan lainnya, bertanya: “Namanya
apa?”
Sastro dan Bento menjawab,
“Namanya ‘ibtida’ atau ‘istinaf’.”
Muha berkata, “Kalimat pengartian
‘niscaya kami akan bersodaqoh sungguh’ kurang benar, karena
penyangatannya diulang. Mestinya kalimat pengartian itu cukup ‘niscaya kami
akan bersodaqoh’. Lafal sungguh dihilangkan saja!
Agar tidak berlebihan!.”
Enam muballighat dan Iti, menambah pertanyaan:
“Kalimat ‘niscaya kami sungguh akan tergolong’ di atas juga berlebihan. Yang
satu harus dihilangkan agar tidak bertele-tele?.”
Iti, Liti, Tengan dan Yusane, berkata, “Mungkin Muha,
Iti, dan para muballighat, benar, karena mendasari kaidah bahasa Indonesia.
Tetapi karena ini menerjemahkan bahasa Arab, maka harus apa adanya, asal jangan terlalu jauh
dari kaidah bahasa Indonesia. Awalan ‘la (لَ)’ artinya niscaya, akhiran ‘nna (نَّ)’ dalam kalimat ‘lanasshaddaqanna (لَنَصَّدَّقَنَّ)’ artinya ‘sungguh’. Begitu
pula ‘la (لَ)’ awalan
kalimat ‘lanakuunanna (لَنَكُونَنَّ)’
dan ‘nna (نَّ)’ akhirannya.
Penyangatan yang diulang ini, melukiskan sumpah itu
diucapkan dengan serius.”
Beberapa muballighat cantik bertanya:
“Kenapa ‘fa (فَ)’ di
awal kalimat ‘falammaa aataahum (فَلَمَّا آَتَاهُمْ)’ tidak diartikan ‘maka?’, tetapi
diartikan ‘namun?’.”
Yusane dan Elan menjawab, “Karena
berguna menjelaskan bahwa kalimatnya masih berhubungan dengan kalimat
sebelumnya, namanya ‘athaf’.”
Tujuh orang bertanya, “Kenapa ‘fa (فَ)’ dalam awalan kalimat ‘faaqahum (فَأَعْقَبَهُمْ)’ diartikan ‘Dia (Allah) pun?’.”
Bento, Dila, dan Muha, menjawab, “Karena
berguna menjelaskan bahwa kalimatnya masih berhubungan dengan kalimat
sebelumnya, namanya ‘athaf’.”
Beberapa orang bertanya, “Kenapa ‘wa (وَ)’ dalam lafal ‘wahum (وَهُمْ)’ tidak diartikan ‘dan?’.”
Faishal dan Dias bertanya, “Kenapa dua
lafal ‘bimaa (بِمَا)’
diartikan sebab?.”
Titi dan Iti menjawab, “Karena ‘bi (بِ)’nya untuk menyatakan sebab (sababiyyah) dan ‘maa (مَا)’nya
untuk menyangatkan (takid).”
Joko dan teman-temannya bertanya,
“Kenapa ‘yakdzibuun (يَكْذِبُونَ)’
diartikan ‘mereka telah bohong?’ Padahal kata kerja ‘sedang’ atau ‘akan’ (mudhari)?.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar