Di hari yang indah itu, Pengajian Muballighiin
dihadiri oleh Sastro, Liti, Suhaili, dan Yusane. Yang dikaji Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 144 hingga Ayat 148. Membahas
kesyukuran, kesabaran, dan karena Allah. Sesusah atau sesedih apapun, orang iman harus tetap bersyukur, karena pasti tetap tenggelam di dalam Nikmat Allah. Tidak ada derita yang lebih
menyedihkan dibanding dari kekalahan yang dialami oleh nabi SAW dan para sahabat di dalam Perang Uhud. Walau begitu Allah perintah agar mereka bersukur. Beberapa Ayat di bawah ini diturunkan setelah nabi SAW dan para sahabat RA
menderita kekalahan dalam Perang Uhud yang menyedihkan:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ
خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى
أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا
بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ
مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآَخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي
الشَّاكِرِينَ وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا
وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا
اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ
قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا
وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ فَآَتَاهُمُ
اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ [آل عمران/144-148].
Artinya:
Muhammad
SAW tiada lain kecuali seorang Rasul. Sungguh
para rasul AS sebelumnya telah berlalu. Masyak jika dia telah wafat atau
dibunuh, kalian kembali atas tumit-tumit kalian? Padahal barang siapa kembali
atas dua tumitnya, maka takkan memadharratkan pada Allah sedikitpun. Dan
Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur. Sejak dulu, tiada jiwa mati kecuali dengan Ijin
Allah, di dalam catatan yang
ditentukan. Barang siapa menghendaki pahala dunia, maka Kami akan memberi dia bagian
darinya. Barang siapa
menghendaki pahala akhirat,
maka Kami akan memberi dia,
bagian
darinya.
Dan Kami akan membalas orang-orang bersyukur. Banyak nabi berperang disertai
oleh para ribiy (رِبِّيُّ) berjumlah banyak.
Mereka tidak merasa jatuh, tidak merasa kecil, dan tidak berputus asa, atas yang telah
menimpa mereka di Jalan Allah. Sementa Allah, cinta pada orang-orang sabar. Yang
telah mereka ucapkan tiada lain kecuali doa:
“Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan melampaui batas kami, di dalam perkara kami. Dan tolonglah kami menglahkan kaum Kafir.”
Berkat
(doa mereka) Allah mengganjar mereka pahala dunia dan pahala akhirat. Dan
Allah senang orang-orang ihsan.
Ibnu Katsir menjelaskan tentang itu: تفسير ابن كثير - (ج 2 / ص 128)
لما انهزم من انهزم من المسلمين يوم
أُحُد، وقُتِل من قتل منهم، نادى الشيطان: ألا إن محمدًا قد قُتل. ورجع ابن
قَمِيئَةَ إلى المشركين فقال لهم: قتلتُ محمدًا. وإنما كان قد ضرب رسول الله صلى
الله عليه وسلم، فَشَجَّه في رأسه، فوقع ذلك في قلوب كثير من الناس واعتقدوا أن
رسول الله قد قُتل، وجوزوا عليه ذلك، كما قد قَصَّ الله عن كثير من الأنبياء،
عليهم السلام، فحصل وهَن وضعف وتَأخر عن القتال ففي ذلك أنزل الله [عز وجل] على
رسوله صلى الله عليه وسلم: { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ
قَبْلِهِ الرُّسُلُ } أي: له أسْوة بهم في الرسالة وفي جواز القتل عليه.
Artinya:
Di hari Perang Uhud, ketika
sebagian Muslimiin berlari; sebagian mereka dibunuh; Syaitan
berteriak:
“Ketahuilah! Sungguh Muhammad
SAW telah dibunuh!.”
Ibnu Qamiah kembali pada kaum Musyrik untuk berkata ‘saya telah membunuh Muhammad
SAW!’ Padahal sungguh dia hanya memukul, melukai kepala Rasulallah SAW.
Berita
itu bersarang di hati sejumlah orang. Dan mereka yakin bahwa sungguh Rasulallah SAW telah dibunuh. Mereka menganggap berita itu benar,
sebagaimana yang Allah kisahkan mengenai para nabi AS berjumlah banyak. Maka
sebagian mereka jatuh mental, merasa kecil, dan mundur dari peperangan. Karena
itu Allah azza wajalla menurunkan Firman ‘{ وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ }’ atas RasulNya.
Maksudnya nabi SAW mempunyai kesamaan mengenai Risalah dengan para nabi AS
sebelumnya, dan mengenai bisa wafat terbunuh.
قال ابن أبي نَجيح، عن
أبيه، أنّ رجلا من المهاجرين مَر على رجل من الأنصار وهو يتشحط في دمه، فقال له:
يا فلان أشعرتَ أن محمدا صلى الله عليه وسلم قد قُتِل؟ فقال الأنصاري: إن كان محمد
[صلى الله عليه وسلم] قد قُتِل فقد بلغ، فقاتلوا عن دينكم، فنزل: { وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ } رواه [الحافظ أبو
بكر] البيهقي في دلائل النبوة.
Artinya:
Ibnu Abi Najich menjelaskan ilmu dari
ayahnya, “Sesungguhnya lelaki dari Muhajirin telah bertemu lelaki Anshar yang
darahnya berlumuran.
Dia berkata ‘ya fulan! Tak tahukah kau, bahwa Muhammad SAW telah dibunuh?’.
Dia berkata ‘ya fulan! Tak tahukah kau, bahwa Muhammad SAW telah dibunuh?’.
Lelaki Anshar berkata ‘kalau telah dibunuh, Muhammad SAW telah menyampaikan Risalah. Ayo berperanglah membela
agama kalian!’.
Maka turun ayat ‘{ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ
}’.” HR Al-Baihaqi.
Setelah mengaji, makan siang bersama-sama. Dari mereka
yang belum paham mengenai kajian di atas, bertanya, “Kenapa ‘a’ (أَ) dalam lafal ‘afain’ (أَفَإِنْ), diartikan ‘masyak?’.”
Sastro menjawab, “Karena lil inkar.”
Beberapa orang bertanya, “Apa itu?.”
Sastro dan Liti menjawab, “Untuk
menyatakan ingkar.”
Tengah, Dila, dan Titi, bertanya,
“Kenapa ‘wa’ (وَ) di dalam kalimat ‘waman yanqalib’
(وَمَنْ يَنْقَلِبْ), diartikan ‘padahal
barang siapa’?.”
Liti dan Yusane menjawab, “Karena chaliyah.”
Tengah dan Titi bertanya, “Apa itu?.”
Sastro dan Suhaili menjawab,
“Menjelaskan hal atau keadaan. Lafal ‘Padahal’ berasal dari dua kata: ‘pada’
dan ‘hal’, artinya ‘di dalam keadaan’.”
Dila, Titi, Suhaili, dan mereka
bertanya, “Kenapa lafal ‘wamaa kaana’ (وَمَا
كَانَ) diartikan sejak dulu?.”
Sastro, Liti, dan Tengah menjawab,
“Karena ‘kaana’ (كَانَ) adalah fi’il
madhi (kata kerja lampau).”
Sastro menambahkan, “Contoh lain
pernyataan ‘sejak dulu’ dalam Al-Qur’an, yang menggunakan lafal ‘kaana’ (كَانَ) banyak, di antaranya:
وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/17].
Artinya:
Sejak dulu Allah Maha Alim Maha Bijak. ‘Wa’ (وَ)nya tidak diartikan karena sebagai isti’naf
(mulai pembahasan baru) atau mubtada (lafal yang diawalkan).
Ike dan Elan bertanya, “Kenapa ‘fa’
(فَ) dalam ‘famaa wahanuu’ (فَمَا وَهَنُوا), tidak diartikan ‘maka?’.”
Liti dan Bento menjawab, “Karena sebagai
bayan atau penjelasan. Bisa juga diartikan ‘namun’ jika dianggap athaf.”
Beberapa orang bertanya, “Kenapa ‘wamaa
kaana’ (وَمَا كَانَ) dalam kalimat ‘wamaa
kaana qaulahum’ (وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ)
tidak diartikan ‘sejak dulu?’.”
Liti dan Ike menjawab, “Ya disesuaikan
kalimatnya. Pengartian ‘yang telah’ di atas, pengertian dari lafal ‘kaana’ (كَانَ) itu.”
Beberapa orang bertanya, “Kenapa ‘fa’
(فَ) dalam ‘faaataahum (فَآَتَاهُم)’, diartikan ‘berkat
(doa mereka) Allah mengganjar mereka)?’.”
Sastro, Bento, dan Liti, menjawab,
“Karena tafsiriyyah atau penjelasan dari yang menyebabkan mereka
mendapatkan ganjaran dunia dan akhirat.”
Ike, Elan, dan Iti, bertanya, “Apakah
arti ‘ribbiyyuna’ (رَبِّيُّونَ)?.”
Bento dan Sastro menjawab, “Menurut: تاج العروس - (ج 1 / ص 515)
Bento dan Sastro menjawab, “Menurut: تاج العروس - (ج 1 / ص 515)
الرِّبِّيُّونَ : العُلماءُ الأَتْقِيَاءُ
الصُّبُر.
Artinya:
Arribbiyyuna adalah ulama bertaqwa
yang bersabar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar