Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2012/01/19

Bedah Ibnu Katsir


Di hari yang indah itu, Pengajian Muballighiin dihadiri oleh Sastro, Liti, Suhaili, dan Yusane. Yang dikaji Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 144 hingga Ayat 148. Membahas kesyukuran, kesabaran, dan karena Allah. Sesusah atau sesedih apapun, orang iman harus tetap bersyukur, karena pasti tetap tenggelam di dalam Nikmat Allah. Tidak ada derita yang lebih menyedihkan dibanding dari kekalahan yang dialami oleh nabi SAW dan para sahabat di dalam Perang Uhud. Walau begitu Allah perintah agar mereka bersukur. Beberapa Ayat di bawah ini diturunkan setelah nabi SAW dan para sahabat RA menderita kekalahan dalam Perang Uhud yang menyedihkan:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآَخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [آل عمران/144-148].

Artinya:
Muhammad SAW tiada lain kecuali seorang Rasul. Sungguh para rasul AS sebelumnya telah berlalu. Masyak jika dia telah wafat atau dibunuh, kalian kembali atas tumit-tumit kalian? Padahal barang siapa kembali atas dua tumitnya, maka takkan memadharratkan pada Allah sedikitpun. Dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur. Sejak dulu, tiada jiwa mati kecuali dengan Ijin Allah, di dalam catatan yang ditentukan. Barang siapa menghendaki pahala dunia, maka Kami akan memberi dia bagian darinya. Barang siapa menghendaki pahala akhirat, maka Kami akan memberi dia, bagian darinya. Dan Kami akan membalas orang-orang bersyukur. Banyak nabi berperang disertai oleh para ribiy (رِبِّيُّ) berjumlah banyak. Mereka tidak merasa jatuh, tidak merasa kecil, dan tidak berputus asa, atas yang telah menimpa mereka di Jalan Allah. Sementa Allah, cinta pada orang-orang sabar. Yang telah mereka ucapkan tiada lain kecuali doa:
“Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan melampaui batas kami, di dalam perkara kami. Dan tolonglah kami menglahkan kaum Kafir.”
Berkat (doa mereka) Allah mengganjar mereka pahala dunia dan pahala akhirat. Dan Allah senang orang-orang ihsan.

Ibnu Katsir menjelaskan tentang itu: تفسير ابن كثير - (ج 2 / ص 128)
لما انهزم من انهزم من المسلمين يوم أُحُد، وقُتِل من قتل منهم، نادى الشيطان: ألا إن محمدًا قد قُتل. ورجع ابن قَمِيئَةَ إلى المشركين فقال لهم: قتلتُ محمدًا. وإنما كان قد ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فَشَجَّه في رأسه، فوقع ذلك في قلوب كثير من الناس واعتقدوا أن رسول الله قد قُتل، وجوزوا عليه ذلك، كما قد قَصَّ الله عن كثير من الأنبياء، عليهم السلام، فحصل وهَن وضعف وتَأخر عن القتال ففي ذلك أنزل الله [عز وجل] على رسوله صلى الله عليه وسلم: { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ } أي: له أسْوة بهم في الرسالة وفي جواز القتل عليه.

Artinya:
Di hari Perang Uhud, ketika sebagian Muslimiin berlari; sebagian mereka dibunuh; Syaitan berteriak:
“Ketahuilah! Sungguh Muhammad SAW telah dibunuh!.”
Ibnu Qamiah kembali pada kaum Musyrik untuk berkata ‘saya telah membunuh Muhammad SAW!’ Padahal sungguh dia hanya memukul, melukai kepala Rasulallah SAW.

Berita itu bersarang di hati sejumlah orang. Dan mereka yakin bahwa sungguh Rasulallah SAW telah dibunuh. Mereka menganggap berita itu benar, sebagaimana yang Allah kisahkan mengenai para nabi AS berjumlah banyak. Maka sebagian mereka jatuh mental, merasa kecil, dan mundur dari peperangan. Karena itu Allah azza wajalla menurunkan Firman ‘{ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ }’ atas RasulNya. Maksudnya nabi SAW mempunyai kesamaan mengenai Risalah dengan para nabi AS sebelumnya, dan mengenai bisa wafat terbunuh.

قال ابن أبي نَجيح، عن أبيه، أنّ رجلا من المهاجرين مَر على رجل من الأنصار وهو يتشحط في دمه، فقال له: يا فلان أشعرتَ أن محمدا صلى الله عليه وسلم قد قُتِل؟ فقال الأنصاري: إن كان محمد [صلى الله عليه وسلم] قد قُتِل فقد بلغ، فقاتلوا عن دينكم، فنزل: { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ } رواه [الحافظ أبو بكر] البيهقي في دلائل النبوة.

Artinya:
Ibnu Abi Najich menjelaskan ilmu dari ayahnya, “Sesungguhnya lelaki dari Muhajirin telah bertemu lelaki Anshar yang darahnya berlumuran. 
Dia berkata ‘ya fulan! Tak tahukah kau, bahwa Muhammad SAW telah dibunuh?’.
Lelaki Anshar berkata ‘kalau telah dibunuh, Muhammad SAW telah menyampaikan Risalah. Ayo berperanglah membela agama kalian!’.
Maka turun ayat ‘{ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ }’.” HR Al-Baihaqi.

Setelah mengaji, makan siang bersama-sama. Dari mereka yang belum paham mengenai kajian di atas, bertanya, “Kenapa ‘a’ (أَ) dalam lafal ‘afain’ (أَفَإِنْ), diartikan ‘masyak?’.”
Sastro menjawab, “Karena lil inkar.”
Beberapa orang bertanya, “Apa itu?.”
Sastro dan Liti menjawab, “Untuk menyatakan ingkar.”
Tengah, Dila, dan Titi, bertanya, “Kenapa ‘wa’ (وَ) di dalam kalimat ‘waman yanqalib’ (وَمَنْ يَنْقَلِبْ), diartikan ‘padahal barang siapa’?.”
Liti dan Yusane menjawab, “Karena chaliyah.”
Tengah dan Titi bertanya, “Apa itu?.”
Sastro dan Suhaili menjawab, “Menjelaskan hal atau keadaan. Lafal ‘Padahal’ berasal dari dua kata: ‘pada’ dan ‘hal’, artinya ‘di dalam keadaan’.”
Dila, Titi, Suhaili, dan mereka bertanya, “Kenapa lafal ‘wamaa kaana’ (وَمَا كَانَ) diartikan sejak dulu?.”
Sastro, Liti, dan Tengah menjawab, “Karena ‘kaana’ (كَانَ) adalah fi’il madhi (kata kerja lampau).”
Sastro menambahkan, “Contoh lain pernyataan ‘sejak dulu’ dalam Al-Qur’an, yang menggunakan lafal ‘kaana’ (كَانَ) banyak, di antaranya:
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا  [النساء/17].
Artinya:
Sejak dulu Allah Maha Alim Maha Bijak. ‘Wa’ (وَ)nya tidak diartikan karena sebagai isti’naf (mulai pembahasan baru) atau mubtada (lafal yang diawalkan).
Ike dan Elan bertanya, “Kenapa ‘fa’ (فَ) dalam ‘famaa wahanuu’ (فَمَا وَهَنُوا), tidak diartikan ‘maka?’.”
Liti dan Bento menjawab, “Karena sebagai bayan atau penjelasan. Bisa juga diartikan ‘namun’ jika dianggap athaf.”
Beberapa orang bertanya, “Kenapa ‘wamaa kaana’ (وَمَا كَانَ) dalam kalimat ‘wamaa kaana qaulahum’ (وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ) tidak diartikan ‘sejak dulu?’.”
Liti dan Ike menjawab, “Ya disesuaikan kalimatnya. Pengartian ‘yang telah’ di atas, pengertian dari lafal ‘kaana’ (كَانَ) itu.”
Beberapa orang bertanya, “Kenapa ‘fa’ (فَ) dalam ‘faaataahum (فَآَتَاهُم)’, diartikan ‘berkat (doa mereka) Allah mengganjar mereka)?’.”
Sastro, Bento, dan Liti, menjawab, “Karena tafsiriyyah atau penjelasan dari yang menyebabkan mereka mendapatkan ganjaran dunia dan akhirat.”
Ike, Elan, dan Iti, bertanya, “Apakah arti ‘ribbiyyuna’ (رَبِّيُّونَ)?.” 
Bento dan Sastro menjawab, “Menurut: تاج العروس - (ج 1 / ص 515)
الرِّبِّيُّونَ : العُلماءُ الأَتْقِيَاءُ الصُّبُر.
Artinya:
Arribbiyyuna adalah ulama bertaqwa yang bersabar.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar