(Bagian ke-144 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Umar mengecap lalu memberikan surat pada Abdullah bin Qurth, agar diantar bersama Jadah untuk Abu Ubaidah. Mereka berdua dikawal sejumlah Muslimiin menyusuri jalan menuju Syam. Muslimiin bertanya pada mereka berdua mengenai keberhasilan pasukan Muslimiin merebut negeri-negeri Syam dan serangan mereka melawan Romawi.
Mereka berdua menjelaskan semua yang ditanyakan hingga mengenai serangan atas kerajaan Aleppo (Chalab). Abdullah ditanya, “Ya Putra Qurth! Kenapa kaum Muslimiin tidak memasuki kerajaan bersama rakyat Chalab yang telah berdamai?.”
Jawaban Abdullah, “Ya kaum Arab, setelah Perang Yarmuk, pasukan yang paling pemberani adalah pasukan Chalab. Banyak kaum Arab yang gugur sebagai syuhada karena serangan mereka. Biasanya yang menjadi incaran mereka pasukan yang berada di pinggir di waktu sedang shalat. Setelah mereka membunuh dan merampok, lari menuju kerajaan yang dikelilingi benteng. Terkadang mereka menyerbu dan merampok atas Muslimiin ketika malam telah kelam,” disimak oleh rombongan Muslimiin yang mengerumuninya.
Seorang Kindah bernama Damis biasa dipanggil Abul-Haul (أبو الهول) termasuk yang menyimak kisah itu dengan serius. Damis berkulit hitam berperawakan tinggi itu sangat terkenal di negeri Kindah, Chadhramaut, Mahrah, dan Syachar (الشحر), karena keberaniannya.
Lelaki yang mengendarai kuda tinggi besar itu kakinya terjuntai kebawah. Dulu lelaki itu suka merampok musafir yang menyusuri jalan. Jika Damis lari dengan kuda, belum pernah terkejar. Musuh-musuhnya grogi berhadapan dengannya.
Mereka berdua menjelaskan semua yang ditanyakan hingga mengenai serangan atas kerajaan Aleppo (Chalab). Abdullah ditanya, “Ya Putra Qurth! Kenapa kaum Muslimiin tidak memasuki kerajaan bersama rakyat Chalab yang telah berdamai?.”
Jawaban Abdullah, “Ya kaum Arab, setelah Perang Yarmuk, pasukan yang paling pemberani adalah pasukan Chalab. Banyak kaum Arab yang gugur sebagai syuhada karena serangan mereka. Biasanya yang menjadi incaran mereka pasukan yang berada di pinggir di waktu sedang shalat. Setelah mereka membunuh dan merampok, lari menuju kerajaan yang dikelilingi benteng. Terkadang mereka menyerbu dan merampok atas Muslimiin ketika malam telah kelam,” disimak oleh rombongan Muslimiin yang mengerumuninya.
Seorang Kindah bernama Damis biasa dipanggil Abul-Haul (أبو الهول) termasuk yang menyimak kisah itu dengan serius. Damis berkulit hitam berperawakan tinggi itu sangat terkenal di negeri Kindah, Chadhramaut, Mahrah, dan Syachar (الشحر), karena keberaniannya.
Lelaki yang mengendarai kuda tinggi besar itu kakinya terjuntai kebawah. Dulu lelaki itu suka merampok musafir yang menyusuri jalan. Jika Damis lari dengan kuda, belum pernah terkejar. Musuh-musuhnya grogi berhadapan dengannya.
Damis benci ketika mendengar kisah keberanian dan kekejaman Yuqana. Dia berkata pada Abdullah, “Tenangalah saudara. Demi Allah saya berharap Allah menghinakan dia melalui tangan saya.”
Mata Abdullah terbelalak karena menilai Damis meremehkan kekuatan Yuqana.
Abdullah bertanya, “Apa kau belum tahu bahwa pahlawan Muslimin yang gagah berani belum ada yang mampu melawan dia? Dia telah dikepung pasukan Muslimiin berbulan-bulan tetap belum bisa ditaklukkan?.”
Damis tersinggung dan marah karena merasa diremehkan. Dia berkata, “Demi Allah hai Abdullah, kalau kau bukan saudara Muslimiin, telah saya bunuh sebelum saya membunuh Yuqana. Jangan sekali-kali membandingkan diriku dengan lelaki siapapun. Kalau kau kurang percaya dengan ketangkasanku dalam berperang, tanyakan pada para tetangga saya yang berada di sini! Mereka semua kagum dengan kepiawaianku dalam berperang. Banyak pasukan yang telah saya obrak-abrik. Ketangkasan saya dalam berperang sempurna tanpa cacat sedikitpun, hingga banyak orang menggeleng-gelengkan kepala karena takjub. Karena segala Puji Milik Allah lah saya menjadi pahlawan berkuda yang tak pernah berlari dari perang.”
Mata Abdullah terbelalak karena menilai Damis meremehkan kekuatan Yuqana.
Abdullah bertanya, “Apa kau belum tahu bahwa pahlawan Muslimin yang gagah berani belum ada yang mampu melawan dia? Dia telah dikepung pasukan Muslimiin berbulan-bulan tetap belum bisa ditaklukkan?.”
Damis tersinggung dan marah karena merasa diremehkan. Dia berkata, “Demi Allah hai Abdullah, kalau kau bukan saudara Muslimiin, telah saya bunuh sebelum saya membunuh Yuqana. Jangan sekali-kali membandingkan diriku dengan lelaki siapapun. Kalau kau kurang percaya dengan ketangkasanku dalam berperang, tanyakan pada para tetangga saya yang berada di sini! Mereka semua kagum dengan kepiawaianku dalam berperang. Banyak pasukan yang telah saya obrak-abrik. Ketangkasan saya dalam berperang sempurna tanpa cacat sedikitpun, hingga banyak orang menggeleng-gelengkan kepala karena takjub. Karena segala Puji Milik Allah lah saya menjadi pahlawan berkuda yang tak pernah berlari dari perang.”
Beberapa orang nasehat pada Abdullah, “Sudara, bersabar dan mengalahlah pada Damis yang memang orang beruntung. Bagi Damis jauh adalah dekat, sulit adalah mudah. Demi Allah memang dia sangat pemberani dan belum pernah dikalahkan oleh siapapun. Kalau berperang dia pasti berada di depan, kalau lari tidak mungkin bisa ditangkap.”
Abdullah menjawab, “Saya berharap Allah memberi kebaikan padanya, bermanfaat pada Muslimiin.”
Abdullah menjawab, “Saya berharap Allah memberi kebaikan padanya, bermanfaat pada Muslimiin.”
Abdullah dan Muslimiin menambahi kecepatan berjalan hingga sampai ke Chalab.
Mereka mengibarkan panji, membaca takbir dan shalawat, lalu menemui Abu Ubaidah yang sedang mengepung istana.
Abu Ubaidah dan pasukanya menjawab takbir mereka, dengan membahana.
Mereka mengibarkan panji, membaca takbir dan shalawat, lalu menemui Abu Ubaidah yang sedang mengepung istana.
Abu Ubaidah dan pasukanya menjawab takbir mereka, dengan membahana.
Abu Ubaidah mendekat untuk mengucapkan salam; Abdullah dan rombongannya menjawab salam dengan serempak. Semua keluarga besar berkumpul menjadi golongan.
Yuqana yang ditunggu-tunggu tak pernah muncul di siang hari, dan pasukannya tak pernah lagi melancarkan serangan atas Muslimiin.
Yuqana yang ditunggu-tunggu tak pernah muncul di siang hari, dan pasukannya tak pernah lagi melancarkan serangan atas Muslimiin.
Muslimiin yang baru datang terdiri dari kaum Thai (طيء), Sanis, Nabhan, Kindah, dan Chadhramaut, merasa keberatan jika menunggu musuh terlalu lama. Damis berdiri di tengah-tengah keluarganya yang terdiri dari kaum Tharif dan Kindah, untuk berkata, “Demi Allah kita memang harus bersabar mengepung.”
Mereka bertanya, “Apa gunanya ada kau yang hebat?.”
Damis menjawab, “Tenang, kita harus menyadari bahwa musuh berada di benteng yang kokoh dan tinggi sekali, dan kita ini sudah paling dekat dengan mereka.”
Mereka menyeru Damis, “Ya Abal-Haul, raja yang berada di dalam benteng ini mengintai kelengahan kita. Dan barisan kita paling pinggir yang akan menjadi korban serangan mereka.”
Mereka bertanya, “Apa gunanya ada kau yang hebat?.”
Damis menjawab, “Tenang, kita harus menyadari bahwa musuh berada di benteng yang kokoh dan tinggi sekali, dan kita ini sudah paling dekat dengan mereka.”
Mereka menyeru Damis, “Ya Abal-Haul, raja yang berada di dalam benteng ini mengintai kelengahan kita. Dan barisan kita paling pinggir yang akan menjadi korban serangan mereka.”
Tiba-tiba teriakan di pinggir pasukan meledak; Damis menghunus pedang andalannya lalu bergerak cepat menuju keributan. Ternyata Yuqana muncul dengan 500 pasukan berani mati, untuk mengamuk pasukan Mslimiin bagian pinggir. Damis mendekat sambil membaca syair:
Akulah Abul-Haul bernama Damis
Akulah yang menusuk lawan dengan bengis
Singa pemburu pahlawan penakluk
Yang memaksa musuh hancur dan tunduk
Tangan Damis mengayun-ayunkan pedang atas pasukan Yuqana. Keluarga besar Tharif berlari untuk membantu Damis menyerbu. Yuqana terkejut setelah melihat pasukannya berjumlah 200 orang berguguran oleh serangan ganas dari Damis dan keluarga besarnya.
Yuqana dan pasukannya berlari dan dikejar oleh Damis dan kaum Kindah.
Abu Ubaidah berteriak, “Jangan dikejar karena gelap!.”
Beberapa orang menyeru Damis, “Hai Abal-Haul! Pimpinan melarang kau mengejar mereka! Kembalilah semoga Allah merahmati kau!.”
Malam itu Damis dan pasukan Kindah berbahagia karena mampu mengalahkan pasukan Yuqana.
Yuqana dan pasukannya berlari dan dikejar oleh Damis dan kaum Kindah.
Abu Ubaidah berteriak, “Jangan dikejar karena gelap!.”
Beberapa orang menyeru Damis, “Hai Abal-Haul! Pimpinan melarang kau mengejar mereka! Kembalilah semoga Allah merahmati kau!.”
Malam itu Damis dan pasukan Kindah berbahagia karena mampu mengalahkan pasukan Yuqana.
Di pagi yang indah itu, Abu Ubaidah mengimami shalat subuh berjamaah.
Seusai shalat subuh kaum Muslimiin berangkat pada pos mereka masing-masing. Hanya beberapa tokoh yang masih duduk dan omong-omong di tempat.
Khalid berkata pada Abu Ubaidah, “Semalam Allah memberi anugerah pada kau dan Muslimiin. Pasukan Kindah telah berhasil mengalahkan pasukan Yuqana. Ternyata pasukan Yuqana ketakutan menghadapi serangan pasukan Kindah.”
Abu Ubaidah menjawab, “Kau benar Ayah Sulaiman, demi Allah kaum Kindah telah berjasa dalam peperangan ini. Saya mendengar mereka berkata ‘Damis telah berjasa. Abu-Haul serangannya dahsyat’.”
Seorang tokoh dari Kindah bernama Suraqah bin Mirdas bin Yakrib (سراقة بن مرداس بن يكرب) berdiri untuk berkata, “Yang mulia, panggilan Mirdas Abul-Haul. Dialah mantan hamba sahaya Tharif. Dia yang datang kemari kemarin, serangannya membuat para jagoan berlarian dan musuhnya sama tewas. Dialah orang yang tak takut dengan musuh berjumlah banyak.”
Abu Ubaidah bertanya pada Khalid, “Kau dengar Suraqah memuji hamba sahayanya bernama Damis?.”
Khalid menjawab, “Saya juga telah mendengar Numan bin Asyirah Al-Mahri (النعمان بن عشيرة المهري) mengenai keberaniannya. Numan berkata:
Seusai shalat subuh kaum Muslimiin berangkat pada pos mereka masing-masing. Hanya beberapa tokoh yang masih duduk dan omong-omong di tempat.
Khalid berkata pada Abu Ubaidah, “Semalam Allah memberi anugerah pada kau dan Muslimiin. Pasukan Kindah telah berhasil mengalahkan pasukan Yuqana. Ternyata pasukan Yuqana ketakutan menghadapi serangan pasukan Kindah.”
Abu Ubaidah menjawab, “Kau benar Ayah Sulaiman, demi Allah kaum Kindah telah berjasa dalam peperangan ini. Saya mendengar mereka berkata ‘Damis telah berjasa. Abu-Haul serangannya dahsyat’.”
Seorang tokoh dari Kindah bernama Suraqah bin Mirdas bin Yakrib (سراقة بن مرداس بن يكرب) berdiri untuk berkata, “Yang mulia, panggilan Mirdas Abul-Haul. Dialah mantan hamba sahaya Tharif. Dia yang datang kemari kemarin, serangannya membuat para jagoan berlarian dan musuhnya sama tewas. Dialah orang yang tak takut dengan musuh berjumlah banyak.”
Abu Ubaidah bertanya pada Khalid, “Kau dengar Suraqah memuji hamba sahayanya bernama Damis?.”
Khalid menjawab, “Saya juga telah mendengar Numan bin Asyirah Al-Mahri (النعمان بن عشيرة المهري) mengenai keberaniannya. Numan berkata:
‘Sungguh Damis pernah menantang berkelahi tujuhpuluh lelaki di pantai Mahrah, membela kaumnya. Karena sudah mengenal keberanian dan keganasannya, maka kaum Mahrah menyerahkan harta dan binatang kendaraan, daripada dibunuh. Dari mereka ada yang lari ke ujung kaki gunung; ada yang lari ke ujung pantai menghindari serangannya.
Damis mencari di mana mereka lari. Setelah tahu tempat persembunyian mereka, dia pulang untuk mengajak kaumnya memerangi mereka. Ternyata kaumnya tidak ada yang bisa mengabulkan ajakannya, karena sama repot.
Damis mencari di mana mereka lari. Setelah tahu tempat persembunyian mereka, dia pulang untuk mengajak kaumnya memerangi mereka. Ternyata kaumnya tidak ada yang bisa mengabulkan ajakannya, karena sama repot.
Damis sangat menguasai jalan yang sesulit apapun. Bahkan dia juga bisa mengendalikan perahu. Damis memasuki rumahnya untuk mengumpulan perbekalan yang dimasukkan ke dalam kantong besar, lalu diangkat di atas pundaknya.
Seorang lelaki terkejut dan bertanya pada Damis yang akan pergi jauh, “Mau kemana membawa bekal banyak?.”
Damis menjawab, “Hai kaumku, saya sendiri yang akan mencari keluarga Syaar (الشعر) (wilayah bagian Mahrah) untuk membalaskan keluarga kita yang dianiaya mereka.”
Beberapa orang tua berkata, “Kau ini luar biasa, jumlah lelaki yang akan kau lawan 70 orang. Kami belum pernah tahu ada seorang yang sanggup melawan 70 orang kecuali kau ini. Sebaiknya kau mengendarai kuda yang bagus. Kuda yang bagus hanya dimiliki oleh keluaga besar Chayas (حياس) yang kampungnya di wailayah Asfal (أسفل).”
Seorang lelaki terkejut dan bertanya pada Damis yang akan pergi jauh, “Mau kemana membawa bekal banyak?.”
Damis menjawab, “Hai kaumku, saya sendiri yang akan mencari keluarga Syaar (الشعر) (wilayah bagian Mahrah) untuk membalaskan keluarga kita yang dianiaya mereka.”
Beberapa orang tua berkata, “Kau ini luar biasa, jumlah lelaki yang akan kau lawan 70 orang. Kami belum pernah tahu ada seorang yang sanggup melawan 70 orang kecuali kau ini. Sebaiknya kau mengendarai kuda yang bagus. Kuda yang bagus hanya dimiliki oleh keluaga besar Chayas (حياس) yang kampungnya di wailayah Asfal (أسفل).”
Damis singgah di Asfal. Di situ Damis mengumpulkan harta rampokan berupa kuda dan unta yang makin lama makin banyak.
Damis berkata, “Demi Allah, saya jago berkelahi, kalian percaya nggak? Saya yakin kalian akan tahu bahwa saya bukanlah murni penjahat karena semua tindakanku atas alasan yang kuat.”
Damis berkata, “Demi Allah, saya jago berkelahi, kalian percaya nggak? Saya yakin kalian akan tahu bahwa saya bukanlah murni penjahat karena semua tindakanku atas alasan yang kuat.”
Beberapa tetangga sempat menengok Damis di Asfal, tapi lalu meninggalkan.
Damis juga menengok kampungnya sambil mengambil pedang dan perisai. Dia pergi menyusuri jalan hingga sehari semalam, hingga sampai jurang.
Di malam yang hampir pagi itu, dia mendekamkan dan mengikat untanya di jurang. Lalu bersembunyi di antara dua batu besar, untuk mengamati kaum yang akan diserang. Malam berikutnya dia berpindah untuk mengamati lebih cermat, kaum yang akan diserang. Dia menaiki perbukitan, untuk mengamati kaum itu, menyalakan api unggun.
Bersambung.
Damis juga menengok kampungnya sambil mengambil pedang dan perisai. Dia pergi menyusuri jalan hingga sehari semalam, hingga sampai jurang.
Di malam yang hampir pagi itu, dia mendekamkan dan mengikat untanya di jurang. Lalu bersembunyi di antara dua batu besar, untuk mengamati kaum yang akan diserang. Malam berikutnya dia berpindah untuk mengamati lebih cermat, kaum yang akan diserang. Dia menaiki perbukitan, untuk mengamati kaum itu, menyalakan api unggun.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar