(Bagian
ke-141 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Abu Ubaidah menangis. Air matanya bercucuran, karena mendengarkan ucapan Dachdach.
Lalu membaca, “Inna Allaaha yuchibbul muchsiniin." Yang artinya 'sungguh
Allah senang pada orang-orang yang berbuat baik'. [1]
Lalu berdoa, “Ya Allah limpahkanlah shalawat pada Muhammad dan semua nabi SAW. Demi
Allah, Allah mengutus nabi kita agar melaksanakan ini. Segala puji bagi Allah
atas Petunjuk-Nya pada kita.”
Pada tokoh-tokoh Muslimiin dari Muhajiriin dan Anshar, Abu Ubaidah berkata, “Mereka ini para pedagang lemah yang ditindas. Kami berpandangan sebaiknya kita berbuat baik pada mereka. Dan permohonan damai mereka kita terima, agar hati mereka lega.
Jika negeri mereka telah kita kuasai sepenuhnya, merekalah yang menguasai pasar yang menyediakan kebutuhan kita, termasuk di antaranya pakan kendaraan kita.
Mereka juga bisa kita beri tugas melaporkan gerak-gerik musuh.”
Seorang lelaki menjawab, “Semoga Allah membalas kebaikan baginda yang berbuat baik pada
kaum yang tempat tinggal mereka dekat dengan kerajaannya Yuqana. Hanya kami
khawatir mereka akan membocorkan rahasia kita pada raja mereka, sehingga kita
akan mudah diserang. Bukankah baginda sendiri tahu bahwa raja mereka telah
pergi kemari untuk menyerang kita? Bagaimana mungkin baginda mengabulkan
permohonan damai mereka? Bisa jadi ini hanya siasat karena Kaeb dan pasukannya
telah meninggalkan kita.”
Abu
Ubaidah berkata, “Semoga Allah memperbaiki persangakaanmu. Sungguh Allah akan
menolong kita mengalahkan lawan. Semoga Allah merahmati orang yang berkata baik
dan yang diam. Kalau begitu, mereka ini akan saya beri syarat harus menolong
pasukan Muslimiin.”
Ucapan
Abu Ubaidah, “Saya ingin dalam
perjanjian damai ini, kalian memberi kami seperti yang diberikan oleh kaum
Qinasrin.” Mencairkan ketegangan 30 tamu dari Chalab.
Mereka
menjawab, “Yang mulia, kaum Qinasrin kan lebih kaya, dan jumlahnya lebih banyak.
Penduduk kami sedikit dan harta kami telah dirampas oleh raja kami. Tetangga
kami yang kaya-kaya telah dipaksa berpindah ke dekat kerajaan. Yang bersama
kami tinggal yang miskin-miskin. Terus terang kami minta kebijakan dan belas
kasiah tuan.”
Abu
Ubaidah bertanya, “Lalu kalian akan menyerahkan apa, pada kami?.”
Mereka
menjawab, “Kami hanya mampu menyerahkan setengah yang diserahkan kaum
Qinasrin.”
Abu
Ubaidah menjawab, “Persyaratan ini saya terima, dengan syarat jika kami
berperang dengan raja kalian, kalian harus membantu kami dengan bahan makan dan
pakan binatang kendaraan. Hubungan jual-beli dengan kami jangan ditutup. Selain
itu berita penting yang kami butuhkan, harus kalian sampaikan pada kami. Jika
ada yang memata-matai kami, harus kalian halang-halangi. Jika raja kalian lari
untuk memasuki kerajaannya harus kalian halang-halangi.”
Mereka
menjawab, “Mengenai kami harus menghalang-halangi raja kami yang lari pulang
menuju kerajaannya, kami tidak sanggup. Kami takkan mampu melakukannya karena
pasukan beliau terlalu banyak dan kuat.”
Abu
Ubaidah mengalah, “Ya sudah, tetapi kalian harus disumpah agar tidak
membocorkan rahasia yang kita bicarakan di sini. Persyaratan yang tadi kami
jelaskan, harus kalian laksanakan.”
Abu
Ubaidah menyumpah tigapuluh tamunya, sesuai sumpah yang mereka yakini. Imbalan
yang mereka minta dalam sumpah itu; agar binatang, anak-anak, wanita, budak,
dan seluruh keluarga mereka, dilindungi oleh pasukan Muslimiin.
Abu
Ubaidah berkata, “Kalian telah bersumpah, berarti kita telah damai. Kalau ada
seorang kalian yang menyembunyikan keterangan di mana raja kalian berada, akan kami bunuh dan kami rampas hartanya. Selain itu anak-anaknya juga
kami tawan. Berarti perjanjian damai kami dengan dia telah batal dengan
sendirinya. Jika kalian melanggar persyaratan yang kami sampaikan, berarti
perdamaian kita batal. Kalian berkewajiban membayar pajak pada kami, mulai tahun
depan.”
Setelah
mereka menyetujui perjanjian damai dan syarat-syaratnya, Abu Ubaidah perintah
seorang agar mencatat nama-nama tigapuluh orang itu, karena akan segera
berpamitan dan pulang ke kampung halaman mereka.
Abu
Ubaidah menawarkan, “Sebentar. Kalian biar diantar oleh pasukan, agar aman
sampai tujuan. Karena kami berkewajiban melindungi kalian.”
Dachdah
menjawab, “Yang mulia, kami akan pulang melalui jalan yang telah kami lalui.
Kami justru ingin tak ada orang yang mengikuti kami.”
Abu
Ubaidah membiarkan mereka pulang tanpa dikawal. Namun lalu hatinya
berdebar-debar, karena memikirkan keselamatan Kaeb dan pasukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar