Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2011/10/12

KW 141: Dakwah ke Negri Chalab (حلب)



(Bagian ke-141 dari seri tulisan Khalid bin Walid)

Abu Ubaidah menangis. Air matanya bercucuran, karena mendengarkan ucapan Dachdach. Lalu membaca, “Inna Allaaha yuchibbul muchsiniin." Yang artinya 'sungguh Allah senang pada orang-orang yang berbuat baik'. [1]
Lalu berdoa, “Ya Allah limpahkanlah shalawat pada Muhammad dan semua nabi SAW. Demi Allah, Allah mengutus nabi kita agar melaksanakan ini. Segala puji bagi Allah atas Petunjuk-Nya pada kita.” 
Pada tokoh-tokoh Muslimiin dari Muhajiriin dan Anshar, Abu Ubaidah berkata, Mereka ini para pedagang lemah yang ditindas. Kami berpandangan sebaiknya kita berbuat baik pada mereka. Dan permohonan damai mereka kita terima, agar hati mereka lega. Jika negeri mereka telah kita kuasai sepenuhnya, merekalah yang menguasai pasar yang menyediakan kebutuhan kita, termasuk di antaranya pakan kendaraan kita. Mereka juga bisa kita beri tugas melaporkan gerak-gerik musuh.”
Seorang lelaki menjawab, “Semoga Allah membalas kebaikan baginda yang berbuat baik pada kaum yang tempat tinggal mereka dekat dengan kerajaannya Yuqana. Hanya kami khawatir mereka akan membocorkan rahasia kita pada raja mereka, sehingga kita akan mudah diserang. Bukankah baginda sendiri tahu bahwa raja mereka telah pergi kemari untuk menyerang kita? Bagaimana mungkin baginda mengabulkan permohonan damai mereka? Bisa jadi ini hanya siasat karena Kaeb dan pasukannya telah meninggalkan kita.”
Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah memperbaiki persangakaanmu. Sungguh Allah akan menolong kita mengalahkan lawan. Semoga Allah merahmati orang yang berkata baik dan yang diam. Kalau begitu, mereka ini akan saya beri syarat harus menolong pasukan Muslimiin.
Ucapan Abu Ubaidah, “Saya ingin dalam perjanjian damai ini, kalian memberi kami seperti yang diberikan oleh kaum Qinasrin.” Mencairkan ketegangan 30 tamu dari Chalab. 
Mereka menjawab, “Yang mulia, kaum Qinasrin kan lebih kaya, dan jumlahnya lebih banyak. Penduduk kami sedikit dan harta kami telah dirampas oleh raja kami. Tetangga kami yang kaya-kaya telah dipaksa berpindah ke dekat kerajaan. Yang bersama kami tinggal yang miskin-miskin. Terus terang kami minta kebijakan dan belas kasiah tuan.”
Abu Ubaidah bertanya, “Lalu kalian akan menyerahkan apa, pada kami?.”
Mereka menjawab, “Kami hanya mampu menyerahkan setengah yang diserahkan kaum Qinasrin.”
Abu Ubaidah menjawab, “Persyaratan ini saya terima, dengan syarat jika kami berperang dengan raja kalian, kalian harus membantu kami dengan bahan makan dan pakan binatang kendaraan. Hubungan jual-beli dengan kami jangan ditutup. Selain itu berita penting yang kami butuhkan, harus kalian sampaikan pada kami. Jika ada yang memata-matai kami, harus kalian halang-halangi. Jika raja kalian lari untuk memasuki kerajaannya harus kalian halang-halangi.”
Mereka menjawab, “Mengenai kami harus menghalang-halangi raja kami yang lari pulang menuju kerajaannya, kami tidak sanggup. Kami takkan mampu melakukannya karena pasukan beliau terlalu banyak dan kuat.”
Abu Ubaidah mengalah, “Ya sudah, tetapi kalian harus disumpah agar tidak membocorkan rahasia yang kita bicarakan di sini. Persyaratan yang tadi kami jelaskan, harus kalian laksanakan.”
Abu Ubaidah menyumpah tigapuluh tamunya, sesuai sumpah yang mereka yakini. Imbalan yang mereka minta dalam sumpah itu; agar binatang, anak-anak, wanita, budak, dan seluruh keluarga mereka, dilindungi oleh pasukan Muslimiin.

Abu Ubaidah berkata, “Kalian telah bersumpah, berarti kita telah damai. Kalau ada seorang kalian yang menyembunyikan keterangan di mana raja kalian berada, akan kami bunuh dan kami rampas hartanya. Selain itu anak-anaknya juga kami tawan. Berarti perjanjian damai kami dengan dia telah batal dengan sendirinya. Jika kalian melanggar persyaratan yang kami sampaikan, berarti perdamaian kita batal. Kalian berkewajiban membayar pajak pada kami, mulai tahun depan.” 
Setelah mereka menyetujui perjanjian damai dan syarat-syaratnya, Abu Ubaidah perintah seorang agar mencatat nama-nama tigapuluh orang itu, karena akan segera berpamitan dan pulang ke kampung halaman mereka. 
Abu Ubaidah menawarkan, “Sebentar. Kalian biar diantar oleh pasukan, agar aman sampai tujuan. Karena kami berkewajiban melindungi kalian.”
Dachdah menjawab, “Yang mulia, kami akan pulang melalui jalan yang telah kami lalui. Kami justru ingin tak ada orang yang mengikuti kami.” 
Abu Ubaidah membiarkan mereka pulang tanpa dikawal. Namun lalu hatinya berdebar-debar, karena memikirkan keselamatan Kaeb dan pasukannya.


[1] إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [البقرة/195].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar