(Bagian
ke-140 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Pasukan
Muslimiin yang berperang mati-matian mengerikan dari Kindah. Dari mereka
yang gugur berjumlah 100 orang.
Pasukan
Yuqana yang serangannya ganas sekali, muncul dari persembunyian.
Walau
begitu Kaeb memacu semangat pasukannya agar tidak mundur. Dia membawa panji
sambil berteriak, “Ya Muhammad! Ya Muhammad! Ya Nashrallah! Muslimiin
semua jangan berlari! Sebentar lagi kita akan mendapat pertolongan hingga
menang!.”[1]
Pasukan Muslimiin berkumpul lagi dalam keadaan luka-luka. Yang gugur telah bertambah menjadi 170 orang. Di antara mereka yang terpenting: Abad bin Ashim, Zufar bin Umi Radhi, Chazim bin Syihab, Sahl bin Asy-yam (سهل بن أشيم), Rifaah bin Michshan, Ghanim bin Bard. Dan Suhail bin Muflij (veteran Perang Salasil, Tabuk, dan Yamamah).
Gugurnya
Suhail yang menyandang 40 luka oleh senjata, dan bermandi darahnya
sendiri, membuat Muslimiin sangat sedih. Sebelum sama gugur,
pasukan Muslimiin mengamuk dan membunuh beberapa lawan dengan garang. Serangan mereka yang
menggila membuat pasukan Yuqana grogi hingga hampir saja berlari. Langkah
mereka terhenti oleh bentakan Yuqana, “Celaka kalian! Mereka hanya seperti
lalat, kalau diserang pasti lari, kalau dibiarkan pasti sombong!.”
Kaeb
sangat sedih karena melihat pasukannya yang gugur sangat banyak. Dia turun dari
kuda untuk mendobeli baju perang dan mengenakan ikat pinggang, untuk persiapan
perang mati-matian. Dia mengusap wajah dan hidung kudanya yang akan dibunuh
agar tak berharap pulang lagi. Kuda tampan yang pernah dibawa berperang
berkali-kali bernama Hatthal (الهطال) itu ditebas lehernya dan roboh.
Pada kudanya yang sakarat, Kaeb berkata, “Hai Hatthal, inilah harimu yang baik.”
Pada kudanya yang sakarat, Kaeb berkata, “Hai Hatthal, inilah harimu yang baik.”
Lalu
bergerak untuk berperang mati-matian, mencari Perhatian Allah. Walau
kelihatan menakutkan, sebetulnya dia sedih karena kawannya banyak yang gugur.
Pasukan
Abu Ubaidah yang ditunggu-tunggu belum tampak, karena Abu Ubaidah sedang menerima tamu penduduk Chalab yang memohon damai. Para tamu itulah tokoh-tokoh
Chalab bagian ujung, dan tokoh-tokoh Rusia yang telah berembuk sebelumnya. “Kalian tahu sendiri bahwa kaum Arab yang akan menyerang ini, telah menundukkan
pemeluk agama Nashrani penyembah Salib. Kini banyak kaum Nashrani yang
mengikuti agama mereka, karena orang yang melawan kaum Arab pasti merugi.
Sebaiknya kita menghadap pada Amiral Mukminiin, untuk memohon damai, untuk
keluarga dan bangsa kita. Beliau minta harta seberapa, kita beri. Jika nantinya
kaum Arab menaklukkan Bathriq Yuqana; kita telah aman sebelumnya. Kalau Bathriq
Yuqana berdamai dengan kaum Arab; kita telah duluan berdamai sebelumnya,” kata
mereka.
Utusan
kaum berjumlah 30 lelaki, direncanakan datang pada Umar melalui jalan yang tidak
dilalui oleh Yuqana dan pasukannya, tetapi terlambat: Umar telah pergi.
Di
depan pasukan Muslimiin, mereka berteriak, “Al-Ghouts! Al-Ghouts!.” Maksud
mereka minta diamankan.
Abu
Ubaidah berpesan, “Mereka yang mengatakan ‘Al-Ghouts! Al-Ghouts’ jangan
dibunuh! Agar di hari kiamat nanti, kalian tidak disidang oleh Allah. Dan tidak
dikecam oleh Umar!.”
Tigapuluh
orang Chalab itu akan diantar oleh Muslimiin, menuju Abu Ubaidah yang didampingi
oleh Khalid.
Khalid berkata, “Tujuan mereka minta damai untuk keluarga dan bangsanya.”
Khalid berkata, “Tujuan mereka minta damai untuk keluarga dan bangsanya.”
Abu
Ubaidah menjawab, “Kalau memang mereka minta damai, akan saya kabulkan, in
syaa Allah.”
Abu
Ubaidah tidak tahu, bahwa Kaeb dan pasukannya kesulitan menghadapi
serangan pasukan Yuqana yang sangat banyak, karena sedang menerima
rombongan tamu pembawa obor yang dimatikan itu. Beberapa Muslimiin membaca
Al-Qur’an di dalam shalat mereka. Beberapa lainnya berkata, “Dengan amalan
inilah kita akan ditolong oleh Allah.”
Sejumlah
penerjemah melaporkan pada Abu Ubaidah, mengenai maksud tujuan para tamu.
Abu Ubaidah berkata, “Kami kaum yang ditolong oleh Allah Sesembahan kami, dan kami senang berperang.”
Abu Ubaidah berkata, “Kami kaum yang ditolong oleh Allah Sesembahan kami, dan kami senang berperang.”
Penerjemah
menyampaikan jawaban Abu Ubaidah pada mereka.
Abu
Ubaidah bertanya, “Kalian ini siapa?.”
Mereka
menjawab, “Kami tokoh-tokoh dan saudagar negeri Chalab. Tujuan kami kemari untuk
minta damai.”
Abu
Ubaidah menjawab, “Bagaimana mungkin kami mengabulkan permohonan damai kalian?
Padahal raja kalian telah mempersiapkan serangan untuk kami. Dia telah
memperkuat pertahanan istananya, bahkan telah menimbun bahan makan untuk hidup
bertahun-tahun? Bahkan telah mengumpulkan pasukan berjumlah sangat banyak?
Kami tidak bisa mengabulkan permintaan damai kalian.”
Mereka
menyerahkan sumbangan informasi penting, “Raja kami telah pergi untuk memerangi
kalian" Karena berharap permohonan damai mereka dikabulkan.
Abu
Ubaidah terkejut dan bertanya, “Kapan dia berangkat?.”
Mereka
menjawab, “Di pagi buta beliau berangkat bersama pasukan. Kami kesini
setelah beliau pergi. Dan melewati jalan yang tidak beliau lewati. Sesungguhnya
kami justru ingin raja kami terbunuh dalam peperangan ini, karena dia jahat dan
tidak senang berdamai. Bahkan beliau lebih senang mengikuti hawa-nafsunya.”
Abu
Ubaidah terkejut karena teringat Kaeb yang diutus membawa pasukan, agar
berdakwah pada Raja Yuqana.
Abu Ubaidah membaca, “Laa chula walaa quwwata illaa billaahil Aliyyil Adziim’. Yang artinya: tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali oleh karena Allah yang Maha Tinggi Maha Agung. Demi Allah apakah Kaeb dan pasukannya sama terancam?.”
Abu Ubaidah membaca, “Laa chula walaa quwwata illaa billaahil Aliyyil Adziim’. Yang artinya: tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali oleh karena Allah yang Maha Tinggi Maha Agung. Demi Allah apakah Kaeb dan pasukannya sama terancam?.”
Abu
Ubaidah menundukkan wajah.
Beberapa
tamu berkata pada para senior mereka, “Mintalah pada beliau agar permohonan
damai kita dikabulkan.”
Dengan gertakan, “Tidak ada perdamaian untuk kalian!" Abu
Ubaidah menjawab permohonan damai mereka.
Tokoh
para tamu terkejut ketakutan. Dan memohon, “Kami mewakili orang berjumlah
sangat banyak. Kalau baginda mengabulkan permohonan kami, kami akan merumat
sawah ladang untuk baginda, agar kami menikmati keadilan dan pengayoman
baginda. Kalau baginda menolak permohonan damai kami, pasti orang-orang akan
menjauhi baginda dan berpindah mencari tempat aman di ujung negeri ini. Dan
berita bahwa baginda tidak mau mendamai kami akan segera tersebar. Itu akan berakibat
baginda dijauhi oleh manusia.”
Seorang
penerjemah menyampaikan keinginan mereka pada Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah mengamati mereka yang merendah ketakutan.
Tiba-tiba ada lelaki berkulit merah yang pandai dalam bidang hukum dan hikmah, berdiri. Lelaki bernama Dachdach (دحداح) itu berkata, “Yang mulia! Terimalah masukan yang akan saya sampaikan pada yang mulia, yang telah diberikan pada para nabi SAW.”
Abu Ubaidah mengamati mereka yang merendah ketakutan.
Tiba-tiba ada lelaki berkulit merah yang pandai dalam bidang hukum dan hikmah, berdiri. Lelaki bernama Dachdach (دحداح) itu berkata, “Yang mulia! Terimalah masukan yang akan saya sampaikan pada yang mulia, yang telah diberikan pada para nabi SAW.”
Abu
Ubaidah berkata, “Katakan! Kalau betul itu ilmu para nabi, pasti kami
mengetahuinya. Jika bukan dari para nabi, kami takkan menggubris, apalagi
mengamalkannya.”
Dia
memohon, “Yang mulia, sungguh Allah Taala menurunkan Wahyu pada para nabi AS:
‘Aku
Tuhan Maha Penyayang. Aku telah membuat Rahmat lalu Kutempatkan pada hatinya
orang-orang iman. Aku takkan menyayang orang yang tidak bisa menyayang. Aku
berbuat baik pada orang yang berbuat baik, dan mengampuni orang yang mau
mengampuni. Barang siapa mencari Aku, pasti akan mendapatkan. Barang siapa melindungi
orang yang membutuhkan perlindungan, pasti Aku menyelamatkan dia di hari kiamat
nanti, rizqinya Aku bentangkan, umurnya Aku barakahi, pendukungnya
Aku perbanyak, dan dia Aku tolong mengalahkan musuhnya. Barang siapa mensyukuri
kebaikan orang yang berjasa, berarti dia telah bersyukur padaKu’.
Kami semua yang kebingungan ini,
benar-benar membutuhkan perlindungan. Saya menganjurkan sebaiknya permohonan
kami baginda kabulkan, agar kami lega dan tenang. Dalam kesempatan baik ini,
berbuatlah baik pada kami.” [2]
[1] Teriakan
dia, “Ya Muhammad! Ya Muhammad! Ya nashrallah!,” adalah sandi.
[2] Al-Waqidi
mencatat perkataan Dachdach di atas: فتوح الشام - (ج 1
/ ص 199)
فقال: أيها الأمير اسمع ما ألقيه إليك من
العلم الذي أنزل الله في الصحف على الأنبياء. قال أبو عبيدة: قل لنسمع فإن كان
حقاً علمناه، وإن كان غير حق لا نسمعه ولا نعمل به وكان اسمه دحداح. فقال: أيها
الأمير إن الله سبحانه وتعالى أنزل على أنبيائه يقول: أنا الرب الرحيم خلقت الرحمة
وأسكنتها في قلوب المؤمنين وإني لا أرحم من لا يرحم من أحسن أحسنت إليه ومن تجاوز تجاوزت
عنه ومن عفا عفوت عنه ومن طلبني وجدني ومن أغاث ملهوفاً أمنته يوم القيامة وبسطت
له في رزقه وباركت له في عمره وأكثرت له أهله ونصرته على عدوه ومن شكر المحسن على
إحسانه فقد شكرني وإنا قد أتيناك ملهوفين خائفين فأقل عثراتنا وآمن روعاتنا وأحسن
إلينا.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar