Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2011/09/25

KW 133: Dakwah ke Baitul-Maqdis


 (Bagian ke-133 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Serangan empat bulan

Al-Waqidi tidak menjelaskan kenapa pasukan Muslimiin mengepung Baitul-Maqdis, dengan perasaan bahagia sekali? Mungkin karena mereka telah berhasil mengalahkan lautan pasukan Romawi di Yarmuk. Atau karena mereka tahu bahwa Baitul-Maqdis yang istimewa itu telah berkali-kali diperebutkan oleh bangsa-bangsa besar. Banyak sekali nabi AS yang asalnya dari kota itu.[1]

Semua pimpinan Muslimiin ingin bersama pasukannya menaklukkan penduduk Baitul-Maqdis.
Waktu longgar mereka habiskan untuk shalat dan melihat jejak para nabi AS. Terkadang di dalam benak mereka terbayang peperangan Musa AS melawan kaum Jabbaariin (Amaliqah), sehingga di pagi yang indah itu; semua pimpinan mengimami shalat subuh pada pasukannya, di beberapa tempat, dengan bacaan yang sama, “يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ [المائدة/21].”
Baca: Yaa qaumidkhulul ardhal muqaddasatal latii kataba Allaahu lakum walaa tartadduu ‘alaa adbaarikum fatanqalibuu khaasiriin.[2] 
Padahal mereka tidak pernah berjanjian akan membaca ayat itu, di dalam shalat mereka.

Pengaruh dari ayat yang dibaca di dalam shalat subuh itu luar biasa, sehingga orang-orang berkata, “Ayo kita mulai menyerbu! Hai pasukan berkuda!.”

Yang pertama kali menyerang, orang-orang Chimyar (حمير) dan sejumlah lelaki dari Yaman. Setelah itu banyak sekali yang menyerbu dengan sengit.

Penduduk Baitul-Maqdis telah siaga sepenuhnya. Dengan sengit mereka meluncurkan anak panah bertubi-tubi yang ditangkis oleh Muslimiin dengan perisai. Peperangan dengan panah berlangsung mulai pagi hingga matahari tenggelam. Kericuhan berdarah itu benar-benar mengusir sepi.

Malam itu pasukan Muslimiin melaksanakan shalat, istirahat, dan makan malam. Dan menyalakan api dengan bahan bakar kayu yang mudah didapatkan di sana. Banyak di antara mereka yang membaca Al-Qur’an; banyak pula yang berdoa. Yang tidur pulas karena terlalu capek juga banyak.

Di pagi yang cerah itu pasukan Muslimiin menyerbu lagi dengan menyebut dan menyanjung Allah, dan membaca sholawat untuk nabi, sebanyak-banyaknya. Pasukan berpanah maju dan meluncurkan anak panah bertubi-tubi, sambil menyerukan Nama Allah bersama-sama.

Peperangan dengan panah berlangsung hingga beberapa hari. Penduduk Baitul-Maqdis menampakkan diri seakan-akan berbahagia karena beberapa hari serangan pasukan Muslimiin atas mereka dipatahkan.

Telah sebelas hari peperangan berkecamuk dengan sengit.
Tiba-tiba panji Abu Ubaidah muncul dibawakan oleh Salim pelayan Abu Ubaidah. Di belakang panji itu arak-arakan pasukan berkuda dan Pahlawan Tauhid Muslimiin berjumlah banyak sekali.
Di bagian depan barisan, Abu Ubaidah diapit oleh Khalid bin Al-Walid di kanannya, Abdur Rohman bin Abi Bakr di kirinya. 
Mereka memekikan tahlil dan takbir bersama-sama.

Arak-arakan pasukan di belakang mereka; dan Pasukan Muslimiin lain di beberapa tempat yang berbeda, menirukan membaca tahlil dan takbir hingga suara mereka menggemuruh, seakan-akan menggetarkan langit.

Hati penduduk Baitul-Maqdis ketakutan, tokoh-tokoh dan bathriq-bathriq mereka memasuki gereja teragung yang disebut Al-Qumamah.[3] Gereja kebanggaan itu peninggalan ibu suri Raja Qusthanthin bernama Hilanah yang hidup sekitar tahun 300 M.
Mereka menemui pimpinan yang mereka agung-agungkan, karena ledakan takbir dari 35.000 Pasukan Berkuda Muslimiin itu, seakan-akan menggoncang langit. “Wahai Bapa kami, pimpinan kaum itu telah datang kemari. Gema yang membahana ini suara mereka,” kata mereka.
Wajah pimpinan itu memerah dan menjawab, “Inilah, inilah.”
Mereka bertanya, “Apa maksud Bapa yang agung?.”
Dia menjawab, “Demi kebenaran Injil, jika pimpinan mereka telah datang, kita akan segera menderita.”
Mereka terkejut dan bertanya, “Kenapa?.”
Dia menjawab, “Menurut ilmu yang kami terima dari orang-orang dulu, yang akan merebut panjang dan lebarnya dunia, lelaki agak hitam, sahabat Nabi Muhammad SAW bernama Umar RA. Jika dia telah datang, kalian takkan mampu melawan. Akan saya periksa dulu bagaimanakah perawakan dan ciri-ciri orang yang datang itu. Jika betul dia orangnya, saya harus berdamai dengannya, untuk mengabulkan keinginannya. Namun jika dia bukan yang saya maksud, saya takkan sudi menyerahkan kota itu padaya. Karena yang akan mampu menaklukkan kota ini hanya orang yang telah saya jelaskan pada kalian barusan. Wassalaam.”[4]

Pimpinan yang selalu menjadi pusat perhatian itu bangkit di hadapan ulama Nashrani, para rahib, dan para tokoh agama yang disebut Syamamisah (الشمامسة).
Mereka menaungi pimpinan agung itu dengan Salib; yang lain sama membaca Injil. Dia bergerak, dikawal sejumlah bathriq menuju benteng yang di luarnya ada Abu Ubaidah. Dari atas benteng; lelaki itu mengamati Abu Ubaidah yang dilindungi dan diagung-agungkan oleh pasukan Muslimiin.

Beberapa saat kemudian pasukan Muslimiin menyerbu lagi dengan sengit menakutkan. Serangan mereka yang ganas berhenti setelah ada seruan, “Pasukan Muslimiin semuanya! Berhenti! Ada pertanyaan penting yang harus segera dijawab!.”
Ketika peperangan berhenti, lelaki dari Romawi berteriak dengan bahasa Arab, “Ketahuilah bahwa keterangan lelaki yang akan mampu menaklukkan kota ini! Berada di tangan kami! Kalau lelaki yang kami maksud adalah piminan kalian, kota ini akan kami serahkan pada kalian. Tapi kalau bukan, kami takkan sudi menyerahkan kota ini untuk kalian!.”

Beberapa pasukan Muslimiin memacu kuda menuju Abu Ubaidah untuk melaporkan teriakan yang telah mereka dengar dari atas benteng.

Abu Ubaidah memacu kudanya, mendekati benteng yang di atasnya ada penguasa Baitul-Maqdis itu.
Penguasa itu mengamati Abu Ubaidah lalu berteriak, “Bukan ini orang yang mampu menaklukkan kita. Berbahagialah! Dan seranglah mereka untuk membela negeri, agama, dan wanita kalian!.”
Penduduk Baitul-Maqdis bersorak menggemuruh, “Yaa!.”
Sebagian mereka berteriak, “Hore!” Dengan bersuka ria.
Sebagian yang lain meneriakkan lafal syirik, lalu melancarkan serangan dengan sengit.

Penguasa Baitul-Maqdis kembali lagi pada Gereja Qumamah (القمامة), tidak menggubris Abu Ubaidah. Dia perintah pasukannya agar menyebu Pasukan Muslimiin dengan panah.

Pada Abu Ubaidah yang datang dengan berkuda, Khalid bertanya, “Bagaimana khabarnya?.”
Abu Ubaidah menjawab, “Yang saya ketahui hanya ketika saya muncul di bawah benteng, ternyata di atasnya ada syaitan yang menyesatkan penduduk Baitul-Maqdis. Orang itu hanya mengamati saya lalu menoleh pada kaumnya. Setelah itu sorak-sorai orang-orang di dalam benteng riuh menggemuruh, dan dia menghilang dari pandangan.”
Khalid berkata, “Sebentar lagi akan kita saksikan akan ada apa,” lalu berteriak, “Serbu!,” pada Pasukan Muslimiin. 

Peperangan yang bergolak pada musim dingin itu sangat seru. Awalnya kaum Baitul-Maqdis mengira Pasukan Muslimiin takkan mampu bertahan menghadapi cuaca yang sangat dingin sekali. 
Namun ternyata mereka mampu bertahan dalam waktu yang lama. Pasukan Muslimiin pembawa panah berasal dari Yaman. Mereka tidak banyak berbicara, tetapi panah mereka meluncur bertubi-tubi bagai hujan.
Pasukan Baitul-Maqdis terkejut dan berjatuhan dari atas benteng setelah tertembus anak panah mematikan. Yang lain sama menangkiskan perisai mereka dari serangan anak panah yang mematikan.

Dhirar bin Al-Azwar bergerak mendekati pintu gerbang terbesar yang di atasnya ada seorang bathriq agung bernaung di bawah Salib dari jauhar. 
Sejumlah pemuda membawa busur mengawal bathriq yang menggerakkan pasukan Baitul-Maqdis agar menyerang.
Dhirar bersembunyi dan menarik busur sekuat tenaga sambil membidikkan anak panahnya yang segera melesat sangat cepat, keatas dinding sangat tinggi. 
Muhalhil yang mengamati meluncurnya anak panah itu terheran-haran, saat menyaksikan anak panah itu menembus tepat pada mulut bahtriq yang sedang terbuka. Bathriq terhuyung lalu jatuh kebawah benteng. Lafal, “Haa?!“ Yang keluar dari mulut pasukannya hampir serempak.

Sebetulnya Abu Ubaidah dan semua Pasukan Muslimiin sangat kedinginan. Namun mereka bertahan dan menyerang dengan garang.
Peperangan telah berkecamuk selama 4 bulan penuh. Saat itu pasukan Baitul-Maqdis telah berputus asa. Mereka datang ke Gereja teragung bernama Qumamah atau Qiyamah, untuk menemui dan bersujud pada penguasa mereka. Mereka berkata, “Wahai Bapa, hentikanlah serangan mereka dengan kekuatanmu. Kami ingin kau mengajukan permohonan bala-bantuan pada Raja Hiraqla. Meskipun kami menyadari bahwa yang mulia Raja Hiraqla sedang bersusah, karena barusan menderita kekalahan yang sangat besar di dalam Perang Yarmuk. Kami menyadari bahwa pasukan Arab sangat hobi berperang. Kami tidak sudi berbicara dengan mereka, karena kami jijik melihat mereka. Tapi ternyata serangan mereka sangat dahsyat. Kami mohon agar engkau mendatangi mereka untuk bertanya apa tujuan mereka. Kalau kemauan mereka bisa kita kabulkan, kami akan mengabulkan permintaan mereka. Tapi kalau permintaan mereka berat, kami akan membuka pintu-pintu gerbang untuk menyerang mereka mati-matian, agar mereka segera menyingkir atau mampus.”

Bathriq yang menjadi penguasa Baitul-Maqdis mengenakan busana kebesaran lalu bergerak menuju benteng, dikawal sejumlah pasukan.
Yang berada di depan barisan, sama membawa Salib. Para pendamping yang di sekelilingnya adalah para Ulama Nashrani dan para Rahib. Sejumlah Injil dibuka untuk dibaca, dan aroma parfum Bakhur semerbak menyengat hidung.

Arak-arakan panjang itu mengantar penguasa Baitul-Maqdis untuk naik benteng yang lurus di bawahnya; diperkirakan ada Abu Ubaidah. Seorang utusan menyeru dengan bahasa Arab fasih, “Hai orang Arab semuanya! Tokoh agama kami yang mengatur urusan kami telah datang kemari. Pimpinan kalian juga agar kemari!.”

Beberapa Muslimiin memacu kuda menuju Abu Ubaidah untuk menyampaikan laporan. Abu Ubaidah menjawab, “Ya, demi Allah saya akan datang.”
Abu Ubaidah dikawal oleh sejumlah tokoh, sahabat, dan penerjemah, untuk mendatangi panggilan bathriq.

Seorang berteriak, “Apa tujuan kalian datang ke negeri Muqaddasah yang mulia ini?. Orang yang menyerang kami berarti akan dimurkai dan dibinasakan oleh Allah!.”
Yang diperintah agar menjawab oleh Abu Ubaidah adalah penerjemahnya: “Katakan pada mereka ‘memang benar negeri ini mulia. Dari negeri inilah nabi kami dinaikkan kelangit dan mendekat pada Tuhannya kira-kira berjarak dua busur atau lebih dekat.[5] Dan negeri ini juga tempat tinggal dan tempat dikuburnya para nabi AS. Kami lah yang lebih berhak menguasai wilayah ini. Allah akan memberikan negeri ini pada kami sebagaimana Allah telah telah menyerahkan negeri lainnya pada kami.”
Penguasa Baitul-Maqdis bertanya, “Katakan yang jelas, apa tujuan kalian kemari?.”
Abu Ubaidah menjawab, “Pilihlah di antara tiga: 1), Katakan ‘laa Ilaaha illaa Allah wahdahu laa syariika laH. Wa inna Muhammadan AbduHu wa RasuuluH. Jika kalian mengabulkan ajakan ini, kalian memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kami’.”
Dia menyela, “Itu merupakan kalimat agung yang telah kami ucapkan. Tetapi mengenai kerasulan Muhammad, kami tidak mengakui.”
Abu Ubaidah membentak, “Kau bohong! Hai Musuh Allah! Kau belum bertauhid. Allah yang menjelaskan pada kami di dalam Kitab-Nya bahwa kalian mengatakan ‘Al-Masih Putra Allah’. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah yang jauh lebih suci dan lebih kuasa daripada yang dijelaskan oleh orang-orang aniaya.”
Dia menjawab, “Permintaan yang ini, kami tidak akan mengabulkan, lalu apa yang kedua?.”
Abu Ubaidah berkata, “Kalian berdamai dengan kami dengan syarat kalian memberikan pajak pada kami dalam keadaan hina, seperti penduduk kota Syam selain ini.”
Dia menjawab, “Yang ini lebih berat lagi, sejak dulu kami tak mau dihinakan.”
Abu Ubaidah berkata, “Kalau begitu kami akan menyerang kalian hingga Allah memberi kami kemenangan, untuk memperbudak anak dan istri kalian. Dan untuk memerangi orang yang fahamnya berbeda dengan faham Tauhid.” 
Dia menjawab, “Kami tidak mungin menyerahkan kota ini pada kalian, meskipun kami harus mati semuanya. Kau jangan bermimpi! Peralatan perang telah kami persiapkan semuanya, pahlawan kami yang gagah berani juga telah kami kerahkan. Kemampuan kami di atas kaum yang telah kalian taklukkan, hingga mereka menyerahkan pajak pada kalian itu. Mereka itu kaum-kaum yang pernah dimurkai oleh Al-Masih. Sedangkan kami adalah kaum yang tinggal di kota suci yang dulu; jika Al-Masih berdoa di dalamnya pasti dikabulkan.”
Abu Ubaidah membentak, “Demi Allah kau bohong! Hai Musuh Allah! Al-Masih bin Maryam adalah seorang Rasul. Sebelum beliau juga pernah ada Rasul-Rasul. Ibu beliau wanita yang sangat jujur. Mereka berdua juga makan makanan seperti umumnya manusia.”[6]
Dia bersumpah, “Saya bersumpah bahwa meskipun kalian memerangi kami mati-matian hingga 20 tahun, tetap takkan mampu merebut negeri ini. Yang akan mampu merebut negeri ini adalah lelaki yang sifatnya tertulis di dalam kitab kami. Dan orang itu bukanlah kau.”
Abu Ubaidah terperangah dan bertanya, “Bagaimana sifatnya orang itu?.”
Dia menjawab, “Sebetulnya kami keberatan membuka rahasia ini pada kalian. Dia sahabat Muhammad SAW yang bernama Umar, yang disebut-sebut sebagai Al-Faruq. Dia sangat tegas, tak peduli dicaci dan dicela. Di sini tidak ada orangnya.”
Abu Ubaidah berpikir sambil tersenyum, lalu berkata, “Demi Tuhan Ka’bah, negeri ini akan kami rebut.”
Abu Ubaidah bertanya, “Apakah jika kau melihat orangnya akan mengenalnya?.”
Dia menjawab, “Pasti. Bagaimana mungkin kami tidak mengenal dia yang sifatnya, umurnya; dalam jumlah tahun dan hari, tertulis di dalam kitab kami?.”
Abu Ubaidah bersumpah, “Demi Allah beliau adalah Khalifah dan sahabat nabi kami SAW.”
Dia berkata, “Jika perkataanmu benar, berarti kau juga tahu bahwa ucapan kami juga benar. Hentikan peperangan kita! Sekarang undanglah pimpinanmu itu agar kemari. Jika kami telah menyaksikan dia yang tertulis di dalam kitab kami, kami akan membukakan negeri kami untuknya. Kalian tidak perlu bersusah payah, negeri ini akan kami serahkan pada kalian, bahkan kami akan menyerahkan pajak pada kalian.”
Abu Ubaidah berkata, “Saya akan memohon agar beliau datang kemari. Sebelumnya peperangan kita lanjutkan apa kita hentikan?.”
Dia menjawab dengan geregetan, “Kau ini bagaimana tho?! Saya menjelaskan rahasia dengan jujur ini bertujuan agar peperangan kita berhenti! Tapi kenapa kalian justu masih ingin menyerang?.”
Abu Ubaidah menjawab, “Memang kami lebih senang berperang daripada hidup, karena berharap diberi ampunan oleh Tuhan.”
Abu Ubaidah bertriak, “Hai semuanya! Hentikan serangan kalian!.”

Dia dan seluruh pengawalnya kembali pulang.

Abu Ubaidah mengumpulkan dan memberi tahu parah tokoh mengenai ucapan pimpinan Baitul-Maqdis. Pasukan Muslimiin memekikkan tahlil dan takbir karena terlalu bahagia. 
Lalu mereka berkata, “Yang mulia, laksanakan permintaan dia. Berilah tahu pada Amirul Mukminiin mengenai ini semua. Agar beliau mau datang kemari untuk merebut negeri ini untuk kita.”
Mereka diam ketika Syurachbil berkata, “Sabar dulu! Kami akan berkata pada mereka bahwa sesungguhnya sang Khalifah telah berada di pertengahan kami. Setelah itu kita menyuruh agar Khalid yang maju menghadapi mereka. Kalau mereka telah menyaksikan Khalid yang mirip sekali dengan tuan Umar, pasti mereka segera membukakan pintu gerbang untuk kita. Itulah cara paling mudah untuk menipu, agar kita dapat memasuki negeri ini dengan mudah.”

Di pagi yang indah itu seorang penerjemah datang untuk berteriak, “Khalifah telah datang!.”
Arak-arakan Pasukan Berkuda Muslimiin panjang sekali datang mendekati pintung gerbang sambil berteriak, “Lelaki yang kalian tunggu-tunggu telah datang!.”

Beberapa orang di dalam benteng itu berlari untuk memberi tahu penguasa mereka. Bathriq penguasa negeri itu menaiki benteng untuk berteriak, “Mintalah agar beliau maju! Agar kami bisa melihat beliau!.”
Khalid maju kedepan, diamati oleh penguasa Baitul-Maqdis. 
Setelah mengamati dengan seksama, dia berkata, “Dia mirip sekali, tetapi tanda-tanda lainnya tidak dia miliki.”
Lalu bersumpah, “Demi kebenaran agamamu, siapakah kau?.”


[1] Kajian di bawah ini bisa disimak di Futuchussyam (فتوح الشام - (ج 1 / ص 181)).
[2] Artinya: Ya kaumku,  masuklah bumi Muqaddasah yang telah Allah tulis untuk kalian, dan jangan kembali atas pantat-pantat kalian, karena berarti kalian kembali dalam keadaan rugi.  
[3] Bathriq (Patriak).
[4] Al-Waqidi menulis dalam kitabnya tentang itu: فتوح الشام - (ج 1 / ص 181)
قالوا: وكيف ذلك؟ قال: لأنا نجد في العلم الذي ورثناه عن المتقدمين أن الذي يفتح الأرض في الطول والعرض هو الرجل الأسمر الأحور المسمى بعمر صاحب نبيهم محمد، فإن كان قد قدم فلا سبيل لقتاله ولا طاقة لكم بنواله ولا بد لي أن أشرف عليه وأنظر إليه وإلى صورته، فإن كان إياه عمدت إلى مصالحته وأجبته إلى ما يريد، وإن كان غيره فلا نسلم إليه قط لأن مدينتنا لا تفتح إلا على يد من ذكرته لكم والسلام
[5] Abu Ubaidah dan Anas RA menyangka yang diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Lalu dia mendekat berjarak dua busur atau lebih dekat,” adalah nabi mendekat pada Allah. Sedangkan Aisyah dan lainnya RA meyakini, “Itu nabi mendekat pada Jibril SAW.”
Bukhari meriwayatkan ucapan Aisyah RA: صحيح البخاري - (ج 11 / ص 12)
2996 - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ ابْنِ الْأَشْوَعِ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَأَيْنَ قَوْلُهُ{ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى } قَالَتْ ذَاكَ جِبْرِيلُ كَانَ يَأْتِيهِ فِي صُورَةِ الرَّجُلِ وَإِنَّهُ أَتَاهُ هَذِهِ الْمَرَّةَ فِي صُورَتِهِ الَّتِي هِيَ صُورَتُهُ فَسَدَّ الْأُفُقَ
Arti (selain isnad)nya:
Masruq bertanya pada Aisyah RA, “Lalu di mana kedudukan FirmanNya ‘lalu dia mendekat. Maka konon (saat itu) berjarak dua busur atau lebih dekat?’.”
Aisyah berkata, “Itu Jibril AS. Sebelumnya Jibril datang pada nabi RA di dalam bentuk lelaki. Namun kali ini sungguh dia di dalam bentuknya yang fisiknya memenuhi ufuk (langit).”
[6] مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ [المائدة/75].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar