(Bagian ke-132 dari seri tulisan
Khalid bin Walid)
Baitul-Maqdis wilayah yang sejak zaman kuno diperebutkan oleh
berbagai bangsa. Hanya Allah yang tahu secara pasti telah berapa kali wilayah
itu diperebutkan oleh manusia. Nabi Musa AS juga pernah diperintah oleh Allah
agar berdakwah dan memerangi kaum Jabbaariin (Amaliqah) yang tinggal di sana.
Nabi Yusya (Yosua) pengganti Nabi Musa AS juga pernah memerangi kaum Jabbaariin yang tinggal di sana dengan sengit. Waktu itu Yusya
berkata pada matahari yang hampir tenggelam, “Hai matahari! Kau hamba yang
diberi tugas oleh Allah seperti diriku.” Lalu berdoa, “Ya Allah hentikan
matahari agar tidak tenggelam dulu.”
Subhanallah, matahari benar-benar berhenti selama satu jam.
Telah satu bulan tinggal di Damaskus (Dimasqa/دمشق), Abu Ubaidah
mengumpulkan para tokoh Muslimiin utuk berkata, “Sebaiknya apa yang saya
lakukan setelah ini?.”
Mereka menjawab, “Sebaiknya berdakwah ke Qaisariyah
(قَيْسَارِيَّة).”[1]
Banyak juga yang menjawab, “Sebaiknya berdakwah ke
Baitul-Maqdis.”
Abu Ubaidah bertanya, “Jawablah yang kompak, kemana?.”
Beberapa orang menjawab, “Kau orang kepercayaan, ke
manapun kau pergi kami pasti akan ikut.”
Banyak orang yang memperhatikan Muadz bin Jabal
berkata pada Abu Ubaidah, “Bertanyalah pada Umar Amiral mukminiin, mengenai kau
harus ke mana?. Laksanakan perintahnya dan berdoalah agar Allah memberi
pertolongan.”
Abu Ubaidah membenarkan Muadz, “Usulanmu tepat!.”
Lalu dia mengirimkan surat untuk bertanya pada Umar
RA.
Yang diperintah agar mengantarkan surat, Afrajah bin Nashich Annakhai (عفرجة بن ناصح النخعي).
Dengan senang hati Afrajah dan teman-temannya
mengantar surat Abu Ubaidah ke Madinah.
Seusai membaca surat itu, Umar RA mengajak
Muslimiin bermusyawarah mengenai penentuan tugas yang harus dilaksanakan oleh
Abu Ubaidah.
Ali RA mengusulkan, “Ya Amiral Mukminiin, tugaskanlah dia agar berdakwah dan mengepung Baitul-Maqdis, dan memerangi penduduknya yang tidak mengesakan Allah. Ini yang paling tepat. Jika Baitul-Maqdis telah direbut, baru pergi ke Qaisariyah. In syaa Allah Qaisariyah akan segera direbut setelah itu. Rasulullah SAW pernah bersabda padaku tentang itu.”
Ali RA mengusulkan, “Ya Amiral Mukminiin, tugaskanlah dia agar berdakwah dan mengepung Baitul-Maqdis, dan memerangi penduduknya yang tidak mengesakan Allah. Ini yang paling tepat. Jika Baitul-Maqdis telah direbut, baru pergi ke Qaisariyah. In syaa Allah Qaisariyah akan segera direbut setelah itu. Rasulullah SAW pernah bersabda padaku tentang itu.”
Umar membenarkan, “Kau benar, Ayah Chasan.” Lalu
menulis:
بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Hamba Allah, Umar bin Khatthab untuk Abu
Ubaidah, pegawainya yang di Syam. Ammaa bakdu:
Sungguh saya memuji Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah. Dan
berdoa semoga Shalawat Allah melimpah pada Nabi-Nya. Pertanyanmu padaku tentang
kau harus kemana?. Menurut usulan putra paman Rasulillah SAW supaya kau pergi berdakwah
dengan pedang menuju Baitul-Maqdis. Sungguh Allah akan memberi kau kemenangan
berkat perjuanganmu.
والسلام عليك
Surat dilipat lalu diberikan pada Arfajah, agar
segera diantarkan pada Abu Ubaidah yang
saat itu sedang di Jabiyah (الجابية).
Abu Ubaidah membuka dan membaca surat pada pasukan
Muslimiin.
Mereka berbahagia karena diperintah agar ke Baitul-Maqdis. Abu Ubaidah memanggil Khalid untuk diperintah membawa panji dan memimpin 5.000 pasukan berkuda andalan yang disebut pasukan Zachf (الزحف). Mereka diperintah agar segera pergi ke Baitul-Maqdis.
Mereka berbahagia karena diperintah agar ke Baitul-Maqdis. Abu Ubaidah memanggil Khalid untuk diperintah membawa panji dan memimpin 5.000 pasukan berkuda andalan yang disebut pasukan Zachf (الزحف). Mereka diperintah agar segera pergi ke Baitul-Maqdis.
Di hari berikutnya Abu Ubaidah memanggil dan
menyerahkan panji pada Yazid bin Abi Sufyan, lalu menyuruh dia agar membawa
5.000 pasukan berkuda untuk menyusul Khalid bin Al-Walid. Sebelum mereka
berangkat, Abu Ubaidah berpesan, “Hai putra Abu Sufyan yang baik hati, jika kau
telah sampai Iliyak (إيلياء /Baitullah) bertahlil dan bertakbirlah.
Dan berdoalah dengan berwasilah pada wajah nabi, para nabi SAW, dan para orang
shalih, agar Allah mempermudahkan menaklukkan penduduknya untuk pasukan
Muslimiin.”
Yazid mengiyakan perintah dan menerima panji dari
Abu Ubaidah, selanjutnya menggiring arak-arakan pasukannya menuju Baitul-Maqdis
menyusul Khalid dan pasukannya.
Di hari ketiga Abu Ubaidah memanggil Syurachbil bin
Chasanah penulis wahyu Rasulillah SAW untuk diperintah membawa panji dan dan
memimpin 5.000 pasukan berkuda dari Yaman. Abu Ubaidah berpesan pada Yazid,
“Ajaklah pasukan ini menuju Baitul-Maqdis. Tapi kau jangan bergabung dengan
pasukan sebelummu!.”
Arak-arakan pasukan berkuda di bawah pimpinan
Syurachbil mengalir membuat debu-debu beterbangan.
Di hari keempat Abu Ubaidah memanggil Marqal bin
Hasyim bin Utbah untuk diserahi panji dan agar memimpin lebih dari 5.000 pasukan berkuda.
Abu Ubaidah berpesan pada Marqal, “Kau bertugas mengepung benteng di sana, dan jangan bergabung dengan pasukan sebelummu!.”
Abu Ubaidah berpesan pada Marqal, “Kau bertugas mengepung benteng di sana, dan jangan bergabung dengan pasukan sebelummu!.”
Marqal dan pasukan berkudanya berarak-arakan panjang
sekali. Derap kaki kuda mereka mengusir sepi dan menerbangakan debu-debu yang
tadinya diam.
Panji kelima diserahkan pada Musayyab bin Najiyah
Al-Fazari para hari kelima. Musayyab diperintah memimpin 5.000 pasukan
berkuda untuk menyusul pasukan sebelumnya. Pasukan dia yang berasal dari
Annakha (النخع) dan kabilah lainnya itu,
berak-arak panjang sekali menyusul pasukan-pasukan sebelumnya.
Di hari keenam, panji keenam dipasang oleh Abu
Ubaidah untuk diserahkan pada Qais bin Hubairah yang akan diperintah memimpin
5.000 pasukan berkuda, menyusul pasukan yang telah berangkat ke Baitul-Maqdis.
Qais dan pasukannya mengalir berkelok-kelok menyusuri jalan, dan derap kaki kuda mereka menggemuruh.
Di hari ketujuh Abu Ubaidah menyerahkan panji pada
Urwah bin Muhalhil (عروة بن مهلهل) yang akan disuruh memimpin 5.000 pasukan berkuda.
Urwah dan pasukannya memacu kuda mereka hingga kaum
sepanjang jalan yang dilewati terperangah takjub atau takut.
Yang pertama kali sampai ke Baitul-Maqdis adalah
Khalid dan pasukannya yang menggemakan takbir dengan bahagia. Penduduk
Baitul-Maqdis terkejut takut saat mendengar pekikan takbir dari 5.000 pasukan
berkuda. Mereka memanjat benteng untuk menengok pasukan Khalid yang akhirnya mereka anggap sangat sedikit. Mereka menyangka pasukan Muslimiin hanya sejumlah itu.
Khalid membawa pasukannya menuju pintu gerbang
Baitul-Maqdis yang bernama Aricha (أريحاء).
Di hari kedua penduduk Baitul-Maqdis terkejut lagi oleh
datangnya Yazid dan 5.000 pasukannya yang berbondong-bondong, memekikkan takbir dan tahlil yang menggemuruh.
Di hari ketiga mereka makin terkejut karena Syurachbil
dan 5.000 pasukan berkudanya mengalir berdatangan dengan takbir yang menggemuruh.
Di hari keempat mereka bertambah panik karena
arak-arakan Marqal dan 5.000 pasukan berkudanya berdatangan dengan membaca takbir yang menggetarkan hati.
Di hari kelima napas mereka menjadi sesak karena
ketakutan saat melihat Musayyab bin Najiyah dan 5.000 pasukan berkudanya yang
gagah berani berdatangan untuk meledakkan takbir.
Telah beberapa hari pasukan Muslimiin mengepung,
namun tak seorang pun dari penduduk Baitul-Maqdis datang untuk menanyakan
tujuan kedatangan mereka. Tetapi penduduk Baitul-Maqdis memasang alat pelempar
batu yang disebut Majaniq (المجانيق), membawa pedang dan perisai, dan berhelm
perang yang diberi pelindung leher dari anyaman besi.
Baitul-Maqdis yang indah, meskipun penduduknya panik
dan ketakutan, tetapi bergaya tidak takut. Tidak seperti kaum-kaum Syam sebelumnya
yang tampak panik ketika melihat pasukan Muslimiin berdatangan. Bahkan pasukan
Baitul-Maqdis menambah jumlah pasukan bersenjata yang berjaga.
Seorang Muslim dari kampung bertanya pada
Syurachbil, “Wahai pimpinan kami, sepertinya penduduk kota ini tuli, bisu, dan
buta. Sebaiknya mereka segera kita serbu.”
Namun Syurachbil tidak mengabulkan permintaannya.
Di pagi yang cerah itu telah lima hari
Baitul-Maqdis dikepung oleh pasukan Muslimiin. Yazid bin Abi Sufyan menghunus
pedang dan memacu kudanya untuk menyeru penduduk Baitul-Maqdis. Melalui penerjemahnya
dia berkata, “Katakan pada mereka ‘pimpinan kaum Arab menanyakan maukah kalian
diajak Islam dan benar? Dan mengucapkan kalimah laa Ilaaha illaa Allah,
Muhammadun Raulullah?. Agar Tuhan kita mengampuni kesalahan kalian yang
telah lalu, dan agar darah kalian aman. Jika kalian menolak, maka ajukanlah permohonan damai pada kami seperti
penduduk-penduduk kota lainnya yang pertahan mereka lebih kuat daripada kalian.
Jika keduanya ini kalian tolak maka kalian berhak dirusak dan akan terjerumus
ke neraka’.”
Penerjemah mendatangi penduduk Damaskus untuk berkata,
“Siapa yang akan mewakili menjawab kalian?.”
Seorang alim Nashrani berbaju dari bulu berkata, “Saya
yang akan mewakili! Apa maumu?.”
Penerjemah berkata, “Pimpinan Arab ini berpesan
begini-begini. Dan menyuruh kalian agar memilih di antara tiga: 1), Masuk
Islam. 2), Menyerahkan pajak. 3), Berperang.”
Alim Nashrani itu segera menyampaikan pesan Yazid pada
kaumnya. Kaum yang berada di dalam benteng itu ricuh menggemuruh karena marah.
Mereka melafalkan kalimat kafir dan berkata, “Kami takkan murtad dari agama
kami yang luhur. Kami lebih baik mati daripada murtad!.”
Penerjemah menyampaikan jawaban kaum Baitul-Maqdis
pada Yazid.
Yazid mendatangi pimpinan Muslimiin lainnya untuk membicarakan jawaban kaum Baitul-Maqdis. Lalu bertanya pada mereka, “Kenapa kalian hanya diam, tidak segera menyerang mereka?.”
Yazid mendatangi pimpinan Muslimiin lainnya untuk membicarakan jawaban kaum Baitul-Maqdis. Lalu bertanya pada mereka, “Kenapa kalian hanya diam, tidak segera menyerang mereka?.”
Rekan-rekan Yazid menjawab, “Karena Abu Ubaidah tidak
perintah agar kita menyerang mereka. Beliau kita tanya dulu melalui surat, kita
harus bagaimana? Jika beliau perintah agar kita menyerbu, baru kita menyerbu.”
Yazid menulis surat untuk Abu Ubaidah. Melalui surat
itu dia menjelaskan jawaban kaum Baitul-Maqdis, dan bertanya, “Selanjutnya kau
perintah kami agar bagaimana?.”
Setelah surat Abu Ubaidah dibacakan, pasukan Muslimiin
bergembira. Mereka menunggu datangnya subuh.
Di hari keenam itu hati kaum Baitul-Maqdis kacau balau
karena melihat Qais dan 5.000 pasukan berkudanya berdatangan sambil meneriakkan takbir.
Di hari ketujuh mereka hampir tak percaya saat
melihat Urwah dan 5.000 pasukan berkudanya memenuhi jalan yang panjang sekali
menuju kota mereka yang bernama Ramlah (الرملة). Mereka memekikkan takbir yang menggelegar.[2] Semua pasukan Muslimiin telah berdoa agar Allah
menolong mengalahkan musuh.
[2] Kota Ramlah ini masyhur di kalangan Muhadditsiin, karena Achmad meriwayatkan
nama itu di dalam kitabnya: مسند أحمد - (ج 32 / ص 290)
15493
- حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَاه أَبِي عَنْهُ وَهُوَ
حَيٌّ قَالَ حَدَّثَنَا حُجْرُ بْنُ الْحَارِثِ الْغَسَّانِيُّ مِنْ أَهْلِ
الرَّمْلَةِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْنٍ الْكِنَانِيِّ وَكَانَ عَامِلًا
لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَلَى الرَّمْلَةِ أَنَّهُ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar