(Bagian ke-131 dari seri tulisan
Khalid bin Walid)
Bermimpi melihat nabi SAW
Abu Ubaidah melipat dan mengecap surat, lalu
menyerahkannya pada Chudzaifah bin Al-Yaman (حذيفة بن
اليمان). Sepuluh orang dari
Muhajirin dan Anshar diperintah oleh Abu Ubaidah agar menemani Chudzaifah
mengantar surat pada Umar di Madinah. “Antarkanlah berita kemenangan ini pada
Amirul mukminiin! Yang akan memberi upah kalian adalah Allah!,” perintahnya.
Chudzaifah menerima surat itu, lalu bersama
teman-temannya pergi untuk mengantarkan surat.
Ketika pasukan Romawi kalah di dalam Perang Yarmuk,
Umar di Madinah hatinya justru sedang masgul. Malam itu Umar tidur dan bermimpi
melihat Rasulallah SAW bersama Abu Bakr di Roudhah (الروضة). Umar mengucapkan salam pada mereka
berdua dan berkata, “Ya Rasulallah, sungguh hati saya sedang masgul memikirkan
pasukan Muslimiin dan perlakuan Allah pada mereka di Yarmuk. Berita yang sampai
pada saya jumlah pasukan berkuda Romawi 1.060.000 orang.”
Nabi SAW bersabda, “Ya Umar, berbahagialah. Sungguh
Allah telah menolong pasukan Muslimiin, dan membuat musuh mereka porak poranda,
yang terbunuh sekian sekian.”
Lalu Rasulullah membacakan dalil yang artinya, “Itu
kampung akhirat akan Kami pastikan khusus untuk orang-orang yang tidak
menghendaki kesombongan maupun kerusakan.”[1]
Di pagi yang indah itu Umar mengimami shalat subuh,
lalu memberitakan mimpinya pada Jamaah. Jamaah Muslimiin berbahagia karena tahu
bahwa mimpi itu jelas bukan dari syaitan. Syaitan takkan mampu menjelma
Rasulallah SAW. Mereka mengingat-ingat malam Umar mimpi itu malam apa tanggal
berapa.
Ternyata betul sabda nabi SAW yang disampaikan pada
Umar melalui mimpi itu. Begitu Chudzaifah dan rombonganya datang membawa berita
kemenangan, Umar bersujud syukur.
Umar membuka surat untuk dibacakan pada Jamaah.
Seusai surat dibaca, Jamaah memekikkan tahlil dan takbir dan membaca sholawat
untuk nabi SAW karena terlalu berbahagia. Dunia pun berubah menjadi indah
sekali, dan janji Allah yang sebelumnya dirasakan terlalu agung telah terwujud
menjadi kenyataan.
Umar bertanya dengan berbahagia, “Ya Chudzaifah,
apakah Abu Ubaidah telah membagi rampasan perang?.”
Chudzaifah menjawab, “Ya Amiral mukminiin, dia
sedang menunggu surat jawaban dan perintah tuan.”
Umar minta tinta dan lembaran untuk menulis surat
jawaban untuk Abu Ubaidah:
بسم الله الرحمن الرحيم
Dari hamba Allah, Umar bin Al-Khatthab untuk
pegawainya yang di Syam
سلام عليك
Amma ba’du: Sungguh saya memuji Allah satu-satunya Tuhan yang harus
disembah. Saya juga berdoa semoga sholawat melimpah pada nabi-Nya bernama
Muhammad SAW. Saya sungguh berbahagia atas anugrah Allah untuk kaum Muslimiin
berupa kemampuan menaklukkan lawan. Jika surat saya telah sampai padamu, segera
bagilah rampasan perang untuk pasukan!. Utamakan mereka yang duluan masuk
Islam. Semua yang berhak supaya mendapatkan haknya. Lindungilah dan syukurilah
kesabaran pasukan Muslimiin. Jangan meninggalkan tempatmu sehingga surat
perintahku datang padamu!.
والسلام عليك وعلى جميع المسلمين
ورحمة الله وبركاته
Surat dilipat lalu diberikan pada Chudzaifah agar segera
diantar pada Abu Ubaidah yang berada di Damaskus (Dimasyqa/دمشق).
Chudzaifah bersama sepuluh temannya datang dan mengucapkan
salam pada Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin, lalu menyerahkan surat Umar. Abu
Ubaidah membacakan surat pada pasukan Muslimiin, lalu membagi rampasan perang
menjadi lima bagian. Tiap pasukan berkuda mendapatkan 24.000 mitsqal emas dan
24.000 mitsqal perak.
Tiap pasukan berjalan kaki mendapat 8.000 mitsqal
emas dan 8.000 mitsqal perak. Pembagian harta sebanyak itu menghabiskan waktu
yang cukup lama.
Kuda yang dikendarai untuk perang juga mendapat bagian
rampasan. Kuda yang bagus diberi dua bagian, yang jelek diberi satu bagian.
Orang-orang yang kendaraannya himar sama protes,
karena merasa bagiannya kurang.
Abu Ubaidah berkata, “Saya sudah membagi rampasan
perang ini seperi nabi SAW membagi pada para sahabatnya.”
Namun mereka tidak menerima keputusannya. Abu
Ubaidah melaporkan mereka yang tidak mau menerima kebijakannya pada Umar.
Umar menjawab melalui surat, “Sungguh kau telah
mengamalkan sunnah Rasulullah SAW, kau tidak melanggar hukumnya. Kuda yang baik
berilah dua bagian, yang jelek berilah satu bagian. Ketauilah bahwa sungguh
Rasulullah SAW mengutamakan yang Arab di atas lainnya di zaman Perang Khaibar.”
Abu Ubaidah membacakan surat Umar pada mereka lalu
menjelaskan, “Abu Ubaidah bukannya meremehkan sebagian kalian, tetapi mengikuti
sunnah Rasulillah SAW.”
Pembagian rmpasan perang telah hampir selesai.
Khalid berkata pada Abu Ubaidah, “Ada lelaki yang minta tolong saya agar
bagiannya ditambahi lagi.”
Namun Abu Ubaidah tidak mengabulkan permintaan itu.
Zubair berkata, “Kenapa kau tidak memperlakukan
saya seperti Rasulallah di Perang Khaibar?. Saat itu saya membawa dua kuda dan
diberi lima bagian. Yang empat bagian untuk kuda saya, yang sebagian untuk
saya?.”
Abu Ubaidah belum menjawab. Miqdad berkata pada Abu
Ubaidah, “Saya dan kau di zaman Perang Badar dulu membawa dua kuda. Rasulullah
memberi dua bagian pada kuda.”
Abu Ubaidah menjawab, “Kau betul. Saya juga akan
mengikuti Rasulallah SAW.”
Lalu memberi dua bagian pada Zubair.
Jabir bin Abdillah Al-Anshari menyampaikan
persaksian bahwa dulu Rasulullah memberi lima bagian pada Zubair. Ketika Abu
Ubaidah memberikan lima bagian pada Zubair; beberapa orang berdatangan membawa
empat kuda, ada yang lima kuda, dan berkata, “Kami juga minta diperlakukan
seperti Zubair.”
Abu Ubaidah tidak mau memperlakukan mereka seperti
pada Zubair. Walau begitu Abu Ubaidah minta idzin melalui surat pada Umar untuk
mengabulkan permintaan mereka.
Umar menjawab melalui surat, “Bedakan Zubair yang
benar dengan mereka! Jangan kau perlakukan mereka seperti Zubair!.”
Di hari itu Zubair menemukan budaknya dari rampasan
Perang Oman, yang telah kabur. Budak itu ditangkap, mumpungung belum dibagi.
Al-Muwakkil (الموكل) menegur, “Jangan mengambil budak
duluan!.”
Perdebatan Zubair dan Al-Muwakkil berhenti setelah
Abu Ubaidah datang dan bertanya, “Ada apa ini?.”
Zubair menjawab, “Pemuda ini tadinya budak saya
dari rampasan Perang Oman yang berlari, kini saya tangkap lagi.”
Abu Ubaidah mendamaikan, “Putra bibi Rasulillah SAW
ini telah benar. Dia memang budak Zubair, pemberian dari saya dari tawanan Perang
Oman.”
Zubair mengambil lagi pada budak itu.
Zaid Al-Muradi melaporkan pada Abu Ubaidah mengenai
budak perempuannya yang kabur, ditemukan lagi di dalam tawanan Perang Yarmuk.
Sebelum Abu Ubaidah mengembalikan budak itu,
bertanya pada Umar melalui surat.
Umar menjawab melalui surat, “Kalau budak itu ikut
melawan, harus diperlakukan seperti tawanan lainya. Kalau nggak ikut melawan,
harus dikembalikan pada Zaid.”
Banyak orang yang gaduh untuk memohon agar budak
itu dikembalikan pada Zaid yang mereka cintai. Mereka diam ketika Abu Ubaidah
bersumpah, “Demi Allah satu-satnya Tuhan yang harus disembah, ini keputusan
Umar di dalam suratnya!.”
Hiraqla sangat sedih karena pasukan berkudanya berjumlah
1.060.000 orang yang dikirimkan ke Yarmuk itu telah dikalahkan oleh pasukan
Muslimiin yang jumlahnya hanya 41.000 orang. Apa lagi panglimanya yang bernama
Mahan juga gugur. Jarjir dan raja lainnya juga sama gugur.
Dengan lunglai dia berkata, “Sebelumnya saya sudah
yakin bahwa akhirnya nasib kami pasti akan begini.”
Dan hatinya berdebar-debar, karena khawatir pasukan
Muslimiin akan melakukan tindakan lainnya yang lebih mengerikan.[2] Di
hari itu seakan-akan dunia gelap-gulita atas Hiraqla dan seluruh rakyatnya.
[1] تِلْكَ
الدَّارُ الْآَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي
الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ [القصص/83]
[2] Hiraqla pernah membaca kitab, “Nabi terakhir bernama Muhammad. Jika telah
wafat, kepemimpinannya akan berpindah pada asmar, artinya orang yang
agak hitam, bernama Abu Bakr. Di masa itu ada sahabat nabi bernama Khalid yang
akan merebut sejumlah wilayah Hiraqla. Jika Abu Bakr telah wafat, akan diganti
oleh shachibul futuch, artinya pemborong kemenangan, maksudnya Umar.
Saat itu wilayah kekuasaannya yang luas sekali akan direbut oleh pasukan
Muslimiin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar