(Bagian ke-129 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Abul-Juaid
bersumpah bahwa tidak akan bohong pada pasukan Muslimiin. Abul-Juaid pergi
untuk menempatkan pasukan Romawi di sisi danau yang sangat dalam. Dia berkata,
“Di sinilah yang akan ditempati pasukan Arab. Saya akan menipu agar mereka sama
tewas.”
Abul-Juaid
memposisikan danau Naqushah di antara pasukan
Romawi dan pasukan Muslimiin. Tak seorang pun pasukan Romawi tahu bahwa danau
Naqushah itu sangat dalam. Abul-Juaid heran kenapa perang di Hari Atta’wir itu
pasukan Muslimiin bisa menang, padahal pasukan Romawi yang melaut telah
mengamuk dengan serempak. Akhirnya dia yakin bahwa kemenangan pasukan Muslimiin
pasti akan lebih besar lagi.
Abul-Juaid
menghadap Abu Ubaidah yang sedang ronda malam bersama sejumlah Muhajiriin RA. Abu-juaid bertanya, “Kenapa kalian tidak mengamuk lagi?.”
Abu
Ubaidah menjawab, “Sebaiknya kami harus bagaimana?.”
Dia
menjawab, “Besok malam nyalakanlah obor-obor yang banyak. Saya yang akan
bersiasat agar mereka tewas.”
Abul-Juaid
berangkat untuk menipu pasukan Romawi. Malam itu pasukan Muslimiin sama
menyalakan lebih dari 10.000 obor yang berkobar-kobar.
Abul-Juaid datang lagi untuk mengecek keadaan.
Pasukan
Muslimiin berkata, “Kami telah menyalakan obor-obor sebagaimana usulanmu.”
Dia
menjawab, “Saya minta didampingi 500 pasukan kalian, untuk memancing mereka.”
Di
antara 500 pasukan terpilih itu yang terpenting: 1), Dhirar. 2), Iyadh (عياض). 3), Rafi (رافع). 4), Abdullah
bin Yasir. 5), Abdullah bin Aus. 6), Abdullah bin Umar. 7), Abdur Rohman bin
Abi Bakr. 8), Ghanim bin Abdillah. Dan lainnya.
Mereka
diajak oleh Abul-Juaid untuk mendekati pasukan Romawi. Mereka telah diberi tahu
bahwa danau itu akan dijadikan jebakan untuk membunuh pasukan Romawi. Mereka
disuruh menyerbu sebentar lalu berlari, agar dikejar.
Pasukan
Muslimiin menyerbu lalu berlari dan mencebur ke danau. Pasukan Romawi mengejar
mereka. Abul-Juaid berteriak pada pasukan
Romawi, “Kejar! Mereka yang lari, dan yang sama membawa obor-obor yang banyak
sekali di kejauhan itu adalah pasukan Arab!.”
Sontak
pasukan Romawi mengejar secepat-cepatnya hingga mereka berjumlah banyak sekali sama tercebur
ke danau dan sama karam.
Abul-Juaid
berteriak terus hingga pasukan Romawi yang lain sama
berlari mengejar dengan gugup dan terperosok danau hingga karam bersama kuda
mereka. Pada mereka yang masih di daratan, Abul-Juaid berteriak, “Seberangilah
danau dangkal yang menghalang-halangi kalian dari mereka! Cepat!.”
Pasukan
Romawi sama tercebur danau yang sangat dalam dan luas itu, hingga sama tewas.
Tak ada yang tahu jumlah mereka yang tewas berapa.
Di
pagai buta itu pasukan Romawi terkejut karena jumlah mereka telah berkurang
banyak sekali. Sebagian mereka melaporkan bahwa teman-teman mereka berjumlah banyak
sekali mati terapung di danau.
Sebagian
mereka berkata pada sebagian, “Siapa yang berteriak-teriak semalam?.”
Seorang
lelaki menjawab, “Dia lelaki yang isrtinya kita nikmati dan anaknya kita bunuh.
Dia balas dendam pada kita.”
Pagi
itu Raja Mahan sedih sekali karena jumlah pasukannya berkuarang banyak sekali.
Dia yakin sepenuhnya bahwa pasukan Arab pasti akan menang, dan dirinya akan
menjadi korban. Dia bertanya pada Qurin, “Saya harus berbuat apa lagi?.
Kemenangan mereka telah semakin membesar. Kalau mereka mengamuk pada kita
dengan kompak, kita jelas pasti kalahnya, bahkan kita semua bisa tewas.
Mintalah agar mereka mengistirahatkan perang ini, untuk mempersiapkan tipuan
agar kita selamat!.”
Qurin
menjawab, “Akan segera saya laksanakan.”
Qurin
perintah lelaki dari kota Lakhm agar melaksanakan perintah Mahan, menghubungi
pasukan Muslimiin.
Lelaki
itu datang dan berkata pada pasukan Muslimiin, “Ketahuilah bahwa peperangan
bisa berubah menjadi kami yang menang, dunia juga bergeser. Kalian telah menipu
kami. Jangan melampaui batas agar tidak menyesal!. Kami minta peperangan agar
diistirahatkan sehari. Besok pagi kita tidak berperang.”
Lalu
lelaki utusan itu diperbolehkan menghadap untuk menyampaikan surat Raja Mahan
pada Abu Ubaidah RA. Abu Ubidah hampir mengabulkan permohonan itu, namun Khalid
mencegah, “Jangan kau kabulkan permintaan mereka. Mereka tak memiliki kebaikan
lagi setelah hari ini.”
Abu
Ubaidah perintah pada lelaki itu, “Kembalilah pada pimpinanmu! Katakan ‘kami
takkan mengistirahatkan peperangan ini, bahkan kami akan menyelesaikan
secepatnya’.”
Ketika
lelaki itu datang dan melaporkan pesan Abu Ubaidah, Mahan sedih dan lemas.
Mahan
melakukan amalan kafir dan berkata, “Sungguh tadinya saya berharap pasukan Arab
mau berdamai dengan kita. Demi kebenaran Salib, saya akan menghadapi
mereka.”
Lalu
berteriak, “Hai semuanya dan para pendampingku! Siapkanlah
serangan!.”
Sisa-sisa
pasukan Romawi telah besiap dengan senjata dan perisai. Mahan muncul dengan
kudanya membawa Salib yang diletakkan di depan.
Pagi
itu pasukan Muslimiin juga telah siaga dengan perasaan bahagia, bahkan semakin
yakin bahwa mereka akan menang. Abu Ubaidah menata barisan pembawa panji
bersama Khalid yang mengendarai kudanya yang terkenal bernama Khailu Zachfi
(خيل الزحف) yang artinya, “Kuda pengobrak-abrik.”
Matahari
bersinar seakan-akan tersenyum. Raja Jarjir dan raja lainnya telah muncul
didampingi sejumlah pengawal. Raja Jarjir yang bertubuh tinggi besar itu
menantang perang, “Yang melawan saya harus pimpinan tertinggi!.”
Abu
Ubaidah bergerak untuk menyerahkan panji pada Khalid, dan berkata, “Bawakan
panjiku. Jika saya telah berhasil membunuh dia, panji akan saya ambil lagi.
Jika saya yang mati, bawalah panji ini untuk memimpin pasukan Muslimiin, hingga
Umar menentukan keputusan!.”
Khalid
menjawab, “Justru saya yang akan membunuh dia untuk membela yang mulia.”
Abu
Ubaidah menjawab, “Jangan! Dia menantang saya, saya yang akan menghadapi,
sementara kau akan bergabung dalam pahalanya dalam jihad ini.”
Sebetulnya
semua pasukan Muslimiin tak ada yang tega jika Abu Ubaidah berperang. Mereka
berkata, “Saya saja yang melawan dia,” bersaut-sautan. Tetapi
mereka kalah dengan kemauannya.
Jarjir
bertanya pada Abu Ubaidah yang datang, “Kau kah pimpinan tertinggi?.”
Dia
menjawab, “Betul, dan saya akan mengabulkan tantanganmu. Kalian semua akan saya
amuk, atau kau saya bunuh, begitu pula Mahan.”
Jarjir
menjawab, “Justru Umat Salib yang akan mengalahkan kalian.”
Jarjir
menyerang Abu Ubaidah; Abu Ubaidah menyerang Jarjir. Perkelahian berlangsung
seru dan lama; Khalid dan pasukan Muslimiin mendoakan semoga Abu Ubaidah
selamat dan menang.
Jarjir
meninggalkan Abu Ubaidah lalu kabur
lewat depan barisan pasukannya. Abu Ubaidah mengejar tapi sejumlah pasukan
Romawi telah bergerak untuk melindungi Jarjir. Jarjir berbalik dan menyerang
cepat sekali, tetapi serangan Abu Ubaidah melanda lebih cepat. Tahu-tahu pedang
Abu Ubaidah telah menebas pundak hingga Jarjir rebah bersimbah darah.
Abu
Ubaidah membaca takbir, pasukan Muslimiin juga membaca takbir. Abu Ubaidah
memandangi mayat yang tinggi besar itu bersimbah darah, namun lalu terkejut
oleh permohonan Khalid, “Sebaiknya yang mulia segera memegangi lagi panji
kepemimpinan ini. Kau telah melaksanakan kewajiban dengan baik.”
Abu
Ubaidah masih akan bertanding, namun semua pasukan Muslimiin bersumpah, “Demi
Allah, kembalilah, yang mulia," bersaut-sautan.
Abu
Ubaidah kembali untuk memegang lagi pada panjinya yang dititipkan pada Khalid.
Mahan
terkejut melihat orang sehebat Jarjir tewas, dan wajahnya memucat. Hampir saja
dia berlari dengan kudanya. Tapi ada suara yang memenuhi ruang hatinya, “Saya
akan beralasan bagaimana di hadapan Raja Hiraqla nanti. Saya harus segera
berperang mati-matian untuk mengobati rasa malu. Syukur jika bisa menang agar
punya bukti telah berjuang di sisi Raja Hiraqla.”
Tokoh-tokoh
besar pasukan Romawi telah tahu semua bahwa dia telah bersiap-siap untuk
perang. Dia yang berpakaian gemerlapan itu menjadi pusat perhatian para
petinggi militer, para bathriq, para ulama Nashrni, dan para rahib.
Di
hadapan mereka, dia berkata, “Sungguh sebelum ini Raja Hiraqla telah tahu bahwa
akibatnya akan begini. Sejak sebelum ini beliau ingin berdamai dengan pasukan
Arab, namun kalian semua sama menentang beliau. Semua telah terlanjur, saya
akan berperang melawan mereka.”
Seorang
bathriq yang berkedudukan dekat dengan dia
muncul. Bathriq yang masih kerabat dekat Jarjir ini sangat taat beribadah dan
suka membaca Injil. Kepada Mahan, bathriq berkata, “Saya yang akan mewakili
tuan berperang, meskipun saya harus mati. Saya akan membalaskan dendam tuan
Jarjir.”
Mahan
diam mendengarkan bathriq memohon, “Tuan akan berperang, padahal sayalah yang
lebih berhak. Saya yang akan mewakili tuan.”
Bathriq
itulah yang disebut-sebut sebagai Jirjis, dia mengenakan baju perang dari besi
dan membawa pedang. Baju luarnya gemerlapan oleh emas. Bathriq Jisjis
diupacarakan dengan agung sebelum berperang mati-matian. Sejumlah ulama
Nashrani berdoa agar dia selamat, lalu mengoleskan parfum bakhur (بخور) dari gereja-gereja teragung.
Seorang rahib dari Amuriyah datang untuk memberikan Salib yang menggelayut
pada lehernya dan berkata, “Salib yang selalu di tangan para rahib untuk
diambil barakahnya ini ada sejak Al-Masih AS masih hidup, hingga akhirnya
sampai pada saya. Ambillah agar menolong tuan.”
Bathriq
Jirjis menantang perang dengan bahasa Arab yang fasih, hingga banyak yang
terheran-heran.
Dhirar
datang untuk melawan, tapi lalu terkejut ketika melihat
badannya yang tinggi besar di luar dugaannya. Dhirar berkata, “Apa gunanya saya
berbaju jika saya mati olehnya.”
Lalu
membelokkan kudanya untuk berlari menjauh.
Orang-orang
menyangka Dhirar takut pada Jirjis yang tinggi besar. Bahkan ada yang berkata,
“Ternyata Dhirar takut sebelum bertanding.”
Dhirar
pulang ke tendanya untuk meletakkan baju, sehingga hanya mengenakan celana panjang.
Dia mengambil busur, pedang, dan perisai, untuk melawan Jirjis. Meskipun
jalannya cepat, namu terlambat. Ternyata Jirjis telah berhadap-hadapan dengan
Malik Annakhai (مالك
النخعي).
Malik
yang bertubuh tinggi besar itu berteriak, “Ayo majulah! Hai
musuh Allah! Hai penyembh Salib! Lawanlah lelaki hebat penolong Muhammad yang
agung ini!.”
Jirjis
grogi; Malik menusuk berkali-kali, namun tombaknya tak mempan menembus baju
besi Jirjis. Malik mengayunkan tombaknya sekuat
tenaga hingga menembus perut kuda Jirjis. Kudanya luka berat dan darahnya
bercucuran, namun masih bisa berlari kesakitan.
Malik
menarik tombaknya, namun tak mampu. Tombaknya telah menyatu dengan tubuh kuda
yang berdarah dan sakarat itu. Orang-orang melihat Dhirar bergerak cepat sekali
untuk menebaskan pedangnya sekuat tenaga, hingga kepala Jirjis terbelah menjadi
dua. Otak dan darahnya berhamburan.
Ketika
Dhirar mengambil harta milik Jirjis, Malik menegur, “Kenapa tahu-tahu kau
bergabung menaklukkan lawanku?.”
Dhirar
membantah, “Saya tidak bergabung, saya hanya ingin memiliki harta miliknya.”
Malik
berkata, “Yang membunuh kudanya kan saya?.”
Dhirar
menjawab, “Memang terkadang seorang berusaha, namun yang beruntung justru
lainnya.”
Malik
tersenyum dan berkata, “Silahkan diambil.”
Dhirar
mengaku, “Saya hanya bergurau, ambillah! Saya tidak akan minta sedikitpun. Kau
yang lebih berhak memilikinya.”
Setelah emas dan harta berharga lainnya dikumpulkan untuk diangkat,
ternyata Dhirar keberatan hingga keringatnya bercucuran, karena berat sekali.
Dhirar membawa untuk meletakkan harta rampasan pada tenda Malik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar