(Bagian
ke-117 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Lima
tawanan dilepaskan
Terkadang
Mahan membetak, terkadang merayu agar Khalid mau berdamai. Khalid hanya diam
mendengarkan hingga Mahan selesai berbicara. Setelah selesai, Mahan
memperhatikan Khalid berkata, “Sungguh raja telah mengutarakan pernyataan
dengan baik; dan kami telah memperhatikannya. Sekarang gantian kami yang
berbicara dan diperhatikan.” [1]
Khalid
berkata, “Segala puji bagi Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah.”
Mahan
terkejut dan mengangkat tangannya ke arah langit lalu berkata, “Ini sebaik-baiknya
perkataan yang kau tuturkan, hai orang Arab.”
Khalid
melanjutkan, “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali
Allah, dan Muhammad Utusan Allah yang diridhoi, juga Nabi-Nya yang dipilih
SAW.”
Mahan
menyela, “Saya tidak tahu apakah Muhammad Utusan Allah?. Tapi bisa jadi
perkataanmu benar.”
Khalid
berkata, “Amalan dan perkataan seorang akan dinilai.”
Lalu berkata
lagi, “Waktu-waktu paling utama ialah ketika Allah Tuhan seluruh alam muncul.”
Mahan
terkejut lalu berpaling dan berkata, “Ternyata dia orang pintar yang memahami
hikmah.”
Khalid ingin
tahu ucapan Haman yang disampaikan pada bawahannya dengan bahasa Romawi: “Apa
maksudmu?.”
Setelah Mahan
menjelaskan, Khalid berkata, “Kalau saya dianggap pandai Al-Hamdu lillah.
Kami pernah mendengar Muhammad nabi SAW kami bersabda ‘ketika Allah mencipta akal
yang membuat orang pandai. Maksudnya telah membentuk dan merancangnya’,
perintah ‘menghadaplah!’.
Akal
menghadap pada Allah. Allah perintah ‘berpikirlah!’. Akal pun berpikir. Allah
berfirman ‘demi kedahsyatan dan keagunganKu, Aku tidak mencipta ciptaan yang
lebih menyenangkanKu dari pada kau. Sebab engkaulah kau mentaatiKu dan memasuki
surgaKu’.”
Dengan heran,
Mahan bertanya, “Jika kau sepandai ini kenapa membawa orang sebanyak ini?.”
Khalid
menjawab, “Mereka saya ajak bermusyawarah.”
Mahan
bertanya, “Orang sepandai kau masih membutuhkan bermusyawarah dengan orang
lain?.”
Khalid
menjawab, “Iya, karena Allah perintah pada Nabi-Nya agar demikian: ‘Dan ajaklah
mereka bermusyawarah untuk perkara. Namun jika kau telah memutuskan, maka
bertawakkallah pada Allah’. [2]
Nabi SAW juga bersabda ‘orang yang tahu keterbatasannya, takkan merugi. Orang
yang bermusyawarah takkan sia-sia’. Meskipun kau mengatakan saya pandai, namun
saya tetap membutuhkan mereka untuk bermusyawarah.”
Mahan
berkata, “Apa pasukanmu ada yang pandai sepertimu?.”
Khalid
berkata, “Ada lebih dari seribu orang.”
Mahan
berkata, “Tadinya saya tidak menyangka kaummu ada yang pandai. Saya kira kalian
hanyalah kaum yang rakus dan bodoh yang suka berselisih sesama kalian, dan suka
merampok.”
Khalid
berkata, “Dulu kebanyakan kami memang demikian. Lalu Allah mengutus Muhammad
nabi kami agar menunjukkan kami jalan yang benar. Kami pun memahami perbedaan
baik dan jelek, sesat dan benar.”
Mahan
berkata, “Hai Khalid, sungguh saya kagum pada kepandaianmu. Saya ingin kita
bersaudara.”
Khalid
menjawab, “Betapa bahagianya diriku jika ucapanmu kau lanjutkan agar kau
sempurna dan beruntung dan kita menjadi sahabat karib.”
Mahan
bertanya, “Bagaimana caranya?.”
Khalid
menjawab, “Katakan ‘saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah-sembah
kecuali Allah, dan bahwa Muhammad SAW hamba dan Utusan Allah yang dulu pernah
diberitakan oleh Isa bin Maryam AS’. Jika kau mau mengucapkannya kau menjadi
saudara dan orang pilihanku. Kita pun takkan berpisah kecuali ada sesuatu.”
Mahan
berkata, “Mengenai saya meniggalkan agama saya untuk memasuki agamamu, itu tak
mungkin.”
Khalid
menjawab, “Berarti kita juga tak mungkin menjadi saudara, karena kau beragama
sesat.”
Mahan
berkata, “Walau begitu saya ingin pembicaraan kita seperti saudara pada
saudara. Jawablah ucapan yang telah saya katakan tadi!.”
Khalid
menjawab, “Amma badu: yang kau katakan ‘kaummu makmur dan
berkecukupan’ memang benar. Begitu pula ‘pertahanannya yang kuat untuk
menghadapi musuh’. Kami juga tahu hal itu. Mengenai ‘kalian berbuat baik dengan
negri tetangga’ juga kami ketahui. Tetapi itu hanya siasat agar kerajaan kalian
abadi dan bertambah kokoh. Ujungnya agar kalian mampu menaklukkan lawan.
Mengenai ‘kami hanya orang miskin yang menggembala unta dan kambing’ memang
benar, bahkan kami beranggapan yang menjadi penggembala justru lebih utama.
Mengenai ‘tanah kami yang tandus’ juga benar, di sana tidak ada pohon dan
sungai seperti di sini. Dulunya kami memang kaum yang bodoh dan miskin,
hartanya hanya pedang, kuda, unta, dan kambing. Dan kami suka berperang, waktu
aman bagi kami selama setahun hanya empat bulan haram. Dulu yang kami sembah
berhala-berhala yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak bermanfaat.
Kalau saat itu kami meninggal pasti masuk neraka. Beruntung sekali Allah
mengutus nabi yang telah kami ketahui nasabnya. Melalui perjuangannya Islam
makin berjaya dan kekafiran sirna. Ini berkat mukjizat berbentuk Al-Qur’an yang
diturunkan pada terakhirnya para nabi AS. Yang pasti ‘syirik hukumnya dosa
besar. Allah tak beristri dan tak berputra, kepada-Nya lah kita harus
menyembah. Menyembah matahari, bulan, sinar, Salib, dan api, adalah haram’.
Muhammad SAW yang kami ikuti dan kami taati perintah ‘agar kami memerangi orang
yang tidak beragama seperti kami. Tepatnya orang yang tidak menyembah Allah
yang tak pernah mengantuk maupun tidur’. Kalau kau mau Islam berarti kau
saudara kami yang mempunyai hak dan kewajiban seperti kami. Kalau tidak mau
Islam, harus membayar pajak pada kami dengan hina, agar tidak kami serang.
Ajakan kami adalah salah satu dari tiga: 1), Katakan ‘asyhadu an laaa Ilaaha
illaa Allah wahdaH. Laa syaajariika laH. Wa asyhadu anna Muhammadan abduHu wa
RasuluH’. 2), Atau membayarlah pajak tiap tahun pada kami, bagi kalian yang
telah dewasa. Wanita dan rahib di dalam biaranya dikecualikan dari pembayaran
pajak ini.”
Mahan
bertanya, “Setelah berkata ‘laa Ilaaha illaa Allah apa masih ada
kewajiban?’.”
Khalid
menjawab, “Betul, melakukan shalat, memberikan zakat, haji ke Baitullah,
memerangi orang yang mengkufuri Allah, memerintahkan kebaikan, mencegah
kemungkaran. Jika kalian tidak menerima dua pilihan di atas, yang nomer 3),
Kita harus berperang sebagai jalan agar Allah memberikan bumi-Nya pada yang Dia
kehendaki. Dan kejayaan akan diberikan secara khusus pada orang-orang
taqwa.”
Mahan
menggertak, “Silahkan berperang dengan kami! Terus terang kami tidak mau murtad
dari agama kami dan tidak mau membayar pajak sebagai pertanda hina! Memang bumi
ini akan diberikan oleh Allah pada yang dikehendaki! Bumi ini dulunya juga
bukan milik kami! Karena kami dulu kaum yang menetapi kebenaran, maka Allah
memberikan bumi ini untuk kami melalui jalan perang. Kini kita harus berperang,
bersiaplah!.” [3]
Khalid
menggertak, “Dalam peperangan ini kau akan tertawan dan dihadapkan pada Umar
bin Khatthab RA dalam keadaan diikat dan hina. Selanjutnya lehermu akan
dipotong!.”
Mahan
tersinggung dan kemarahannya pada Khalid meledak lagi lebih keras. Sejumlah
pengawal Mahan yang terdiri dari para bathriq dan pejabat tinggi menghunus
pedang untuk menyerang Khalid dan lainnya. Mereka menunggu perintah dari Mahan.
Mahan bersumpah pada Khalid, “Demi kebenaran Al-Masih! Lima sahabatmu akan saya
hadirkan kemari untuk saya potong leher mereka di depan matamu!,” dengan suara
tinggi sekali.
Khalid menggertak,
“Hai Mahan! Justru kau yang hina yang akan lebih dulu putus lehernya! Kau harus
tahu! Kami dengan lima orang yang kau tawan itu satu kesatuan! Kalau kau berani
membunuh lima orang tawananmu itu! Pasti kau akan saya bunuh dengan pedangku
ini! Dan kawan-kawanku ini akan mengamuk untuk memporak-porandakan pasukanmu!.”
Suasana sangat
tegang.
Khalid dan
seratus sahabatnya menghunus pedang sambil membaca, “Laa Ilaah illaa Allah,
Muhammadun Rasulullah,” lalu bersiap-siap menyerang. Tekat mereka harus
membunuh lawan sebanyak-banyaknya meskipun harus berakhir dengan mati syahid.
Mahan bergetar ketakutan.
Rafi bin
Mazin (رافع بن مازن) termasuk di antara seratus pasukan Khalid, berkata, “Ketika
kami menghunus pedang mengikuti Khlid. Kami khawatir akan dikeroyok dan
dipotong-potong oleh lautan pasukan itu. Barang kali kami akan berkumpul di
alam machsyar dari tempat itu.”
Ketika Mahan
tahu bahwa Khalid serius akan membunuh dengan pedangnya, memohon, “Sebentar
jangan marah dulu. Kalau kau mengamuk bisa jadi dikeroyok lautan pasukanku.
Padahal saya tahu kau sebagai utusan Abu Ubaidah yang tidak boleh dibunuh
bahkan harus dihormati. Saya menggertak kau tadi hanya ingin menguji sampai di
mana keteguhan kalian. Sekarang silahkan pulang menuju pasukan kalian,
selanjutnya kita akan segera berperang.”
Khalid
menyarungkan pedangnya dan berkata, “Hai Mahan! Akan kau apakan para
tawananmu?.”
Mahan
menjawab, “Akan saya lepaskan sebagai penghormatan padamu, agar mereka
memperkuat pasukanmu.”
Khalid
tersenyum bahagia dan berkata, “Lepaskan sekarang juga!.”
Lima tawanan
dilepas dan bergabung lagi dengan pasukan Khalid.
Ketika Khalid
bergerak untuk meninggalkan tempat; Mahan berkata, “Hai Khalid! Sebetulnya saya
ingin di antara saya dan kau tidak ada peperangan. Bolehkan saya mengajukan
permintaan?.”
Khalid
menjawab, “Kau menginginkan apa?.”
Mahan
menjawab, “Saya senang tenda merah yang dibawa oleh pelayanmu ini. Bagaimana
kalau saya tukar dengan sejumlah pasukanku yang kau pilih?.”
Khalid
menjawab, “Saya senang kau berterus terang mengenai milikku yang kau sukai.
Silahkan kau ambil, tetapi saya tidak membutuhkan pasukanmu sedikitpun.”
Mahan
berkata, “Kau hebat dan luar biasa.”
Khalid
menjawab, “Saya juga bersyukur karena kau telah melepaskan lima sahabatku ini.”
Khalid dan
pasukannya segera meninggalkan Mahan dan pengawalnya di barak yang megah itu.
Khalid dan arak-arakan pasukannya menaiki kuda dan berjalan, diantar sejumlah
pasukan Mahan hingga sampai tempat Abu Ubaidah dan pasukannya.
Abu Ubaidah
dan pasukannya sangat berbahagia karena lima pahlawan mereka yang ditahan telah
pulang bersama rombongan Khalid. Khalid menemui Abu Ubaidah RA untuk melaporkan
yang telah terjadi di antara dia dan Mahan. Lalu berkata, “Demi Allah yang
membuat Mahan mau melepaskan kawan kita, karena takut pedang kami.” [4]
[1] Mahan adalah
raja bawahan Hiraqla.
[2] وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ [آل عمران/159]. Baca: Wasyaawirhum fil
amri fa idzaa azamta fatawakkal alaa Allah.
[3] Diperkirakan
dulunya wilayah itu milik kaum Yahudi. Lalu diperangi dan direbut oleh Raja
Qusthanthin pada tahun 300 M.
[4] Bagi yang
memiliki kitab Futuchus-Syam di Maktabatus-Samilah, kisah ini
bisa disimak di: فتوح الشام - (ج 1 / ص 145).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar