(Bagian ke-89 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Di luar beteng telah dipenuhi deretan tenda pasukan Muslimiin. Kuda dan unta mereka sama makan rumput. Hamba sahaya mereka sama mencari kayu bakar. Beberapa orang menyalakan api untuk memasak makanan. Mereka agak lega karena Harbis dan pasukannya telah pergi jauh ke gunung.
Pasukan Balbek yang berada di atas beteng masih banyak, mereka berselisih pendapat. Banyak di antara mereka yang menampar pipi dan berteriak dengan bahasa mereka. Kebanyakan pasukan Muslimiin tidak tahu bahasa mereka.
Abu Ubaidah bertanya pada penerjemah, “Mereka berkata apa?.”
Seorang penerjemah menjawab, “Mereka berkata ‘oh celaka ini. Betapa musibah yang menimpa kita sangat besar. Kampung kita akan segera rusak dan kaum lelaki kita akan tewas’.”
Sore itu sangat dingin; Abu Ubaidah memanggil seorang agar menyampaikan pesan, “Katakan pada Sa’id bin Zaid: ‘hai putra Zaid! Suruhlah pasukanmu agar waspada dan agar semangat dalam berjihad! Semoga Allah menyayangmu! Jangan kau biarkan seorang dari pasukan Balbek lepas dan kabur!.”
Utusan berlari kencang dengan kuda menuju Sa’id untuk menyampaikan perintah Abu Ubaidah. Setelah Sa’id menerima pesan, perintah pada pasukan, “Kepung mereka jangan ada yang kabur!.”
Sa’id membatasi agar yang mencari kayu bakar hanya 100 orang berpedang saja. Malam itu beberapa pasukan Muslimiin sama menyalakan tumpukan kayu bakar sambil bertahlil dan bertakbir.
Pertempuran hampir berakhir; yang gelisah tidak hanya pasukan Balbek, bahkan panglima perang mereka bernama Harbis juga berputus asa. Dia berkata pada pasukannya, “Celaka kalian! Usaha kita sia-sia dan tak mungkin ada bala-bantun yang datang kemari! Kalau kita melawan pasti juga akan kalah, karena kita telah kehabisan tenaga, karena terlalu lapar dan haus. Kalau pengepungan ini diperpanjang sehari atau dua hari lagi kita bisa mati kelaparan. Siasat kita keliru, kalau kita melawan juga justru kita akan tewas.”
Pertanyaan beberapa bathriq menyeruak, “Lalu sebaiknya bagaimana tuan?.”
Harbis menjawab, “Saya akan menipu mereka dengan cara pura-pura mengajukan permohonan damai sebagaimana yang pernah mereka tawarkan. Sebagai jaminan kita, kita membukakan pintu gerbang kota untuk mereka, namun jika kita telah masuk ke kota, mereka segera kita serang. Selain itu kesempatan tersebut kita gunakan untuk minta bantuan pada penguasa kota Ainul-Jauz (عين الجوز) dan penguasa kota Jausiyah (جوسية) agar mereka menyerang pasukan Arab dari luar kota; kita menyerang pasukan Arab dari atas beteng. Melalui siasat ini Al-Masih akan menolong hingga kita menang.”
Beberapa bathriq menjawab, “Ketahuilah wahai tuan: selamanya penguasa kota Jausiyah takkan menolong tuan, karena sedang sibuk dengan urusannya sendiri yang banyak. Bisa jadi mereka juga sedang diserang pasukan Muslimiin seperti kita. Kami mendengar berita bahwa penduduk Jausiyah sedang mengajukan permohonan damai pada pasukan Arab juga. Sedangkan penduduk Ainul-Jauz sedang berdagang ke Syam. Saya yakin mereka juga sudah mengajukan permohonan damai pada kaum Arab. Sekarang silahkan mempertimbangkan kebijakan yang tepat. Sebaiknya kita mengajukan permohonan damai pada mereka.”
Harbis menerima usulan para bathriq. Ketika subuh telah datang; rasa lapar dan haus menyerang hingga mereka sangat menderita. Harbis naik di atas tebing untuk berteriak keras, “Hai semua orang Arab! Ada nggak di antara kalian yang memahami bahasaku? Sayalah Bathriq Harbis! Saya ingin berbicara dengan pimpinan kalian.”
Beberapa penerjemah menghadap Sa’id untuk berkata, “Tuan! Orang kafir bernama Harbis ini adalah penguasa kota Balbek. Dia memohon agar tuan sudi berbicara dengan dia.”
Sa’id perintah, “Dekatilah untuk ditanya apa maunya!?.”
Seorang penerjemah dari Muslimiin datang mendekat untuk bertanya Harbis, “Bagaimana maksudmu?.”
Harbis menjawab, “Saya ingin pimpinan kalian dan seluruh pasukannya menjamin keselamatan agar saya bisa berbicara penting mengenai perdamaian yang akan saya tawarkan padanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar