Ketika surat Umar RA telah sampai, Abu Ubaidah segera membaca di pertengahan pasukan Muslimiin. Mereka memahami bahwa melalui surat itu Umar menyuruh mereka memerangi kaum musyrikiin. Hal itu membuat Abu Ubaidah menyesali kebijakannya berupa mendamai penduduk Qinasrin yang telah berjalan hampir setahun.
Tangisan Abu Ubaidah berpengaruh besar pada semua pasukan Muslimiin. Semua pasukan Muslimiin menangis sedih cukup lama, karena menyesali perbuatan yang kurang utama. Di antara mereka banyak yang berkata, “Wahai pemimpin! Apa lagi yang akan membuat kau duduk tenang-tenang meninggalkan jihad? Biarkan saja penduduk Syaizar (شَيْزَرَ) dan Qinasrin (قنسرين)! Marilah kita serbu kaum Chalab (Aleppo) dan Anthakiyah (انطاكية) yang tak mau menyembah Allah! Semoga Allah memberi kita kemampuan untuk menaklukkan mereka! Perjanjian damai kita dan penduduk Qinasrin hampir berakhir! Yang abadi adalah yang dikehendaki oleh Allah Raja yang Maha Agung.”
Abu Ubaidah bersiap-siap menyerang kota Chalab. Dia menyerahkan dua panji pada Sahl bin Amer (سهل بن عمرو) dan Mush’ab bin Mucharib Al-Yasykari (مصعب بن محارب اليشكري).
Abu Ubaidah perintah Iyadh bin Ghonim agar berjalan di barisan paling depan. Barisan di belakangnya dipimpin Khalid bin Al-Walid. Pasukan berkuda Muslimiin yang panjang sekali itu mendebarkan penduduk yang dilewati. Abu Ubaidah menggiring mereka memasuki dan menduduki kota Rasyin (الرشين) yang penduduknya segera mengajukan perjanjian damai.
Ketika pasukan Abu Ubaidah sampai kota Hamah, penduduknya sama keluar membawa kitab Injil. Para rahib mengangkat kitab Injil; pimpinan mereka yang disebut-sebut sebagai Qiss (artinya pimpinan yang pandai agama) berada di depan mereka. Mereka ingin mengajukan permohonan damai pada Abu Ubaidah. Abu Ubaidah bertanya, “Apa tujuan kalian?.”
Mereka menjawab, “Wahai pimpinan! Kami ingin berdamai dengan kalian. Kami lebih senang menjadi kaum Dzimi.”
Abu Ubaidah mengabulkan permohonan damai dengan syarat mereka menyerahkan sejumlah harta. Lalu menyuruh sejumlah pasukannya agar tinggal kota Hamah. Abu Ubaidah menggiring pasukannya menuju kota Syaizar. Arak-arakan pasukannya yang panjang sekali itu membuat penduduk Syaizar ketakutan sehingga mereka mengajukan permohonan damai.
Abu Ubaidah mengabulkan permohonan damai dengan syarat mereka menyerahkan sejumlah harta pada pasukan Muslimiin. Abu Ubaidah bertanya pada penduduk Syaizar, “Apakah kalian mendengar berita mengenai thagiah (طاغية) Hiroqla?.” [2]
Mereka menjawab, “Kami tidak tahu. Hanya saja kami mendengar berita Bathriq Qinasrin mengajukan permohonan bala bantuan pada Raja Hirqla untuk melawan kalian.”
Raja Hiraqla telah mengutus raja bawahannya bernama Jabalah bin Al-Aiham Al-Ghasani (جبلة بن الأيهم الغساني) yang pernah masuk Islam di hadapan Umar. Dan sejumlah kaum Arab Nashrani.[3]
Mereka mengatakan, “Yang mendampingi Raja Jabalah adalah seorang bathriq dari kota Ammuriyyah (عَمُّورِيَّةُ) yang membawa 10.000 pasukan berkuda. Arak-arakan pasukan berkuda yang sangat panjang sekali itu telah melewati Jisrul-Chadid (jembatan besi). Waspadalah pada mereka wahai pimpinan!.”
Abu Ubaidah membaca, “Chasbunallaahu wa ni’ma Al-Wakiil.”[4]
[1] Kelanjutan dari: http://mulya-abadi.blogspot.com/2011/06/kw-73-surat-umar-untuk-abu-ubaidah.html
Artinya: Semoga Allah membereskan (urusan) kami dan sebaik-baiknya yang diserahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar