(Bagian ke-46 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Peperangan yang panjang itu melelahkan penduduk Damaskus. Raja Damaskus menyerahkan negrinya pada Abu Ubaidah. Abu Ubaidah menerima penyerahan negri Damaskus, ditentang keras oleh sebagian pasukan Muslimiin. Karena itulah tokoh-tokoh Muslimiin berkumpul untuk mempertimbangkan lagi kebijakan Abu Ubaidah menerima kota itu dengan damai.
Masih banyak pasukan Muslimiin yang bersikeras akan melanjutkan peperangan atas penduduk Damaskus. Dalam musyawarah itu Mu’adz, Yazid bin Abi Sufyan, dan sejumlah pendukung mereka berkata, “Sebaiknya kita menyetujui keputusan Abu Ubaidah bin Jarrah. Hentikanlah memerangi mereka, karena penduduk kota ini belum pernah ditaklukkan oleh suatu kaum. Artinya kita mendamai mereka ini sudah merupakan kemenangan besar. Selain itu kita tidak perlu takut Raja Hiraqla yang berada di Anthokiyah (انطاكية). Kalau dia tahu kita telah mendamai lalu kita berkhianat, justru kemungkinan kota ini takkan kita taklukkan secara damai selamanya. Yang pasti kalian mendamai akan lebih baik daripada kalian membunuh mereka.”
Beberapa tokoh berkata pada Khalid, “Semua penduduk yang telah kau taklukkan dengan pedangmu silahkan kau kuasai. Tetapi Abu Ubaidah akan bergabung dalam kemenangan itu. Adapun mengenai penerimaan negri ini, kalian berdua agar menulis surat pada Khalifah Abu Bakr untuk minta petunjuk. Petunjuk beliau lah yang harus diterima.”
Khalid menjawab, “Okay! Saya setuju! Tetapi dua orang laknat Tuma dan Harbis harus dikecualikan. [1] Dia harus keluar dari kota ini. Dan semoga Allah selalu melaknat di manapun mereka berdua pergi.”
Harbis adalah pejabat yang diberi wenang memerintah setengah dari negri Damaskus oleh Raja Tuma.
Abu Ubaidah berkata pada Khalid: “Justru dua orang ini yang pertama kali minta damai. Semoga Allah menyayangmu, tapi jangan merusak kebijakanku.”
Khalid menjawab, “Kalau bukan kamu yang melindungi, dua orang itu telah saya bunuh semuanya.”
Abu Ubaidah berkata, “Persyaratan inilah yang diminta oleh dua orang itu dalam perjanjian damai.”
Tuma dan Harbis tokoh besar Damaskus tampak ketakutan sekali karena Khalid belum menyetujui kebijakan Abu Ubaidah sepenuhnya. Takut kalau-kalau akan dibunuh. Dua orang itu menghadap Abu Ubaidah membawa penerjemah. Mereka berdua bertanya pada penerjemah, “Apa yang dikatakan oleh lelaki ini (Khalid)?.”
Penerjemah bertanya pada Abu Ubaidah, “Bagaimana kami harus menyikapi keputusan tuan dan sahabat tuan? Sahabat tuan ini akan mengkhianati kami, padahal kami dan seluruh penduduk negri ini telah bersepakat minta damai. Sebetulnya khianat bukanlah perbuatan kalian kan? Begini saja: bebaskanlah saya dan kaum saya untuk keluar kota melewati jalan yang kami pilih.”
Abu Ubaidah berkata pada Tuma melaui penerjamah, “Kamu di dalam jaminan keamananku. Silahkan pergi melewati jalan manapun yang kau pilih. Namun jika kau telah berani memerintah kaum di suatu tempat, berarti kamu telah lepas dari jaminan keamananku; begitu pula orang-orangmu.”
Tuma dan Harbis berkata melalui penerjemah, “Kami di dalam jaminan keamanan tuan hanya selama tiga hari, selebihnya sudah tidak lagi. Artinya jika telah lebih dari tiga hari kami boleh diserang dan ditangkap dijadikan budak atau dibunuh.”
Khalid menjawab, “Saya setuju! Tetapi jangan membawa apapun dari kota ini kecuali sekedar untuk perbekalan!.”
Abu Ubaidah mengingatkan, “Ini ucapan orang yang menjurus pada merusak perjanjian damai. Boleh saja mereka keluar membawa siapa saja dan harta kekayaan mereka.”
Khalid berkata, “Okay saya mengalah! Tapi jangan membawa pedang, yang ini saya melarang.”
Setelah Tuma diberi tahu mengenai maksud Khalid oleh penerjemahnya, protes, “Nggak bisa! Kami harus membawa pedang! Karena untuk membela diri jika ada serangan penjahat!? Agar bisa sampai tujuan dengan selamat. Mumpung kami masih di sini putuskanlah kebijakan untuk kami.”
Abu Ubaidah berkata, “Semua saya perbolehkan membawa senjata, tapi yang membawa pedang tidak boleh membawa tombak. Yang membawa tombak jangan membawa pedang. Yang membawa busur jangan membawa belati.”
Setelah memahami kalimat itu melalui penerjamah, Tuma berkata, “Okay lah! Saya bisa menerima keputusan ini. Sepertinya kami semua nanti hanya akan membawa pedang saja,” lanjutnya, “saya takut lelaki bernama Khalid bin Al-Walid ini. Mintalah agar dia menulis pernyataannya.”
Abu Ubaidah berkata, “Kamu ini bagaimana? Kami semua bangsa Arab! Tidak akan berkhianat maupun menipu! Biasa dia itu omongannya memang begitu, tapi selalu melaksanakan ucapan dan janjinya. Dan takkan berkata kecuali yang benar.”
Raja Tuma dan Harbis mengumpulkan rakyat yang mau mengikuti mereka berdua berpindah ke luar kota. Penduduk Damaskus sibuk bersiap-siap mengikuti Raja Tuma dan Harbis untuk berpindah ke luar kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar