(Bagian ke-37 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Al-Waqidi sejarawan Islam masyhur penulis kitab Futuchus Syam menjelaskan, ”Berita yang sampai padaku:
Penduduk Damaskus berkumpul ke tempat tinggal tokoh-tokoh besar mereka. Di sana mereka berembuk tentang ‘haruskah berdamai dan memberikan yang diminta kaum Arab?’. Musyawarah itu sangat gaduh karena mereka tidak kompak: ada yang setuju berdamai dan memberikan pajak pada kaum Arab; ada yang bersikeras tidak mau mengalah.
Alasan kaum Damaskus ‘kita tidak bisa menuruti permintaan mereka, karena jumlah penduduk kita tidak lebih banyak daripada penduduk Najdin.”
Ada seorang bathriq berwibawa yang pendapatnya diikuti mereka: “Sebaiknya kita pergi ke hadirat menantu Raja Hiraqla, Tuan Tuma, untuk minta petunjuk mengenai keputusan ini. Kita persilahkan beliau memutuskan damai atau berperang.”
Para tokoh itu bebondong-bondong menuju Tuma. Saat itu Tuma berada berada di rumah kediamannya yang mewah. Sejumlah lelaki membawa pedang, menjaga keamanan rumahnya. Para penjaga yang bertampang sangar itu bertanya, “Ada perlu apa datang kemari?.”
Mereka menjawab, “Kami ingin sekali bertemu Tuan Tuma untuk minta petunjuk mengenai urusan yang sangat gawat.”
Tuma perintah, “Biarlah mereka menghadap kemari!.”
Para tamu dipersilahkan masuk melalui pintu gerbang. Mereka masuk lalu menyeberangi aula. Lalu bersujud hormat pada Tuma yang sangat agung di mata mereka.
“Tuan yang mulia,” kata mereka, “pertimbangkanlah musibah yang telah menimpa negri kita. Kami tak mampu lagi menanggung derita ini. Pilihan kami hanya dua: menuruti permintaan kaum Arab, atau tuan memohon bala-bantuan pada Raja Hiraqla, untuk memerangi kaum Arab. Walau mungkin Raja Hiraqla tidak mengabulkan permohonan kita. Yang pasti kami hampir dikalahkan oleh kaum Arab.”
Tuma justru tersenyum lebar dan berkata, “Kalian goblok! Jika mengikuti kemauan mereka! Demi kepala raja! Setahuku mereka tidak ahli berperang! Menurutku mereka sangat remeh! Kalaupun pintu gerbang dibukakan untuk mereka! Dipastikan mereka takkan mampu memasukinya karena serangan pasukan kita yang dahsyat.”
Mereka menjawab, “Tuan jangan meremehkan mereka. Tiap seorang dari pasukan mereka yang muda maupun yang dewasa mampu memerangi 110 orang. Apalagi pimpinan mereka. Kalau memang kehendak tuan berperang, kami juga masih sanggup menghadapi mereka, asalkan tuan yang memimpin langsung pada kita.”
Tuma berkata, “Jumlah kalian lebih banyak dan kota kita dikelilingi benteng. Jumlah senjata kalian banyak sekali. Yang kalian hadapi hanya kaum miskin yang telanjang kaki, pakain mereka juga sama robek.”
Mereka menjawab, “Tuan, sebetulnya barang-barang kita yang mereka rampas ketika Perang Palestin, Perang Bushro, perang dengan tuan Kalus, perang dengan tuan Azazir, Perang Ajnadin, sangat banyak. Selain itu nabi mereka berkata ‘yang mati dari kita maka masuk ke surga’. Karena itulah mereka berpakain ala kadar juga merasa senang, karena akan masuk surga.”
Tuma mentertawakan kaumnya lalu berkata, “Apa karena itu lantas kalian menuruti kemauan mereka untuk merugikan kita sendiri? Kalau kalian berperangnya semangat pasti bisa menaklukkan mereka, karena jumlah kalian berlipat-ganda daripada mereka.”
Mereka berkata, “Tuan yang mulia, terserah bagaimana keputusan tuan. Yang pasti jika tuan tidak segera bertindak, mereka pasti berhasil membobol pintu pintu-gerbang semuanya. Dan kami terpaksa berdamai dengan mereka.”
Tuma diam lama karena mengkhawatirkan jika-jika ucapan mereka menjadi kenyataan. Lalu ucapannya memuaskan mereka: “Akan saya pikirkan mengenai upaya, agar kalian bisa menaklukkan mereka. Saya yang akan membunuh panglima mereka, tapi kalian semua harus mau membantu!.”
Mereka menjawab, “Tentu! Bahkan kami semua mati pun sanggup, jika tuan mau memimpin kami.”
Tuma perintah, “Perintahlah semua pasukan agar besok pagi berperang! Sekarang silahkan pulang!.”
Mereka keluar untuk pulang dengan hati senang bahkan puas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar