Yang menarik dalam kajian Bukhari adalah, “5426 - حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَيْفُ بْنُ أَبِى سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ مُجَاهِدًا يَقُولُ حَدَّثَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِى لَيْلَى أَنَّهُمْ كَانُوا عِنْدَ حُذَيْفَةَ فَاسْتَسْقَى فَسَقَاهُ مَجُوسِىٌّ . فَلَمَّا وَضَعَ الْقَدَحَ فِى يَدِهِ رَمَاهُ بِهِ وَقَالَ لَوْلاَ أَنِّى نَهَيْتُهُ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ . كَأَنَّهُ يَقُولُ لَمْ أَفْعَلْ هَذَا ، وَلَكِنِّى سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « لاَ تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ وَلاَ الدِّيبَاجَ وَلاَ تَشْرَبُوا فِى آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِى صِحَافِهَا ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِى الدُّنْيَا وَلَنَا فِى الآخِرَةِ » . أطرافه 5632 ، 5633 ، 5831 ، 5837 - تحفة 3373.”
Hadits ini menjelaskan yang berkaitan dengan saat kejayaan Islam. Saat itu Chuczaifah yang mulia dilayani seorang pejabat (kepala-suku), dalam Hadits diistilahkan, “Dihqan.” Namun orang tersebut justru dilempar dengan wadah yang harganya mahal tersebut. Mungkin tujuan dia mengagungkan sahabat Nabi yang menjadi penguasa kota tersebut dengan pelayanan sebaik mungkin; sementara Chudzaifah juga bertujuan lebih baik yaitu agar orang-orang memberlakukan larangan Rasulillah SAW. Kejadian tersebut di kota Madain, sebelah atas sungai Dajlah, tujuh farsakh dari Baghdad. Kota yang sebelumnya tempat tinggal raja-raja Persi tersebut termasuk kota terbesar di dunia saat itu. Chuczaifah sendiri saat itu dikelilingi orang banyak sekali. Dia berkata, “Kalau tidak hanya sekali dua kali saya melarang dia, pasti saya tidak melempar dia. Sungguh saya pernah mendengar Nabi bersabda ‘لاَ تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ وَلاَ الدِّيبَاجَ وَلاَ تَشْرَبُوا فِى آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِى صِحَافِهَا ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِى الدُّنْيَا وَلَنَا فِى الآخِرَةِ – Jangan mengenakan pakaian sutra Harir maupun Dibaj, dan jangan minum di dalam wadah-emas-dan-perak, juga jangan makan di dalam piring-emas-dan-perak. Karena itu untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat’.
Ibnu Hajar dan ulama lainnya menganggap Kitab paling shahih setelah Al-Qur’an adalah Bukhari dan Muslim. Dia menulis:
أَوَّلُ مَنْ صَنَفَ فِي الصَّحِيْحِ الْبُخاَرِيُّ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْماَعِيْلَ وَتَلاَهُ أَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجاَّجِ الْقُشَيْرِيُّ وَمُسْلِمٌ مَعَ أَنَّهُ أَخَذَ عَنِ الْبُخاَرِيِّ وَاسْتَفاَدَ مِنْهُ فَإِنَّهُ يُشاَرِكُ الْبُخاَرِيَّ فِيْ كَثِيْرٍ مِنْ شُيُوْخِهِ وَكِتاَباَهُماَ أَصَحُّ الْكُتُبِ بَعْدَ كِتاَبِ اللهِ الْعَزِيْزِ وَأَماَّ ماَ رَوَيْناَهُ عَنِ الشاَّفِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قاَلَ مَا أَعْلَمُ فِي اْلأَرْضِ كِتاَباً فِي الْعِلْمِ أَكْثَرَ صَوَابًا مِنْ كِتَابِ ماَلِكٍ قاَلَ وَمِنْهُمْ مَنْ رَواَهُ بِغَيْرِ هَذاَ اللَّفْظِ يَعْنِيْ بِلَفْظِ أَصَحَّ مِنَ الْمُوَطَّأِ فَإِنَّماَ قاَلَ ذَلِكَ قَبْلَ وُجُوْدِ كِتاَبَيْ الْبُخاَرِيِّ وَمُسْلِمٍ ثُمَّ اِنَّ كِتاَبَ الْبُخاَرِيِّ أَصَحُّ الْكِتاَبَيْنِ صَحِيْحاً وَاَكْثَرُهُماَ فَواَئِدَ وَأَماَّ ماَ رَوَيْناَهُ عَنْ أَبِيْ عَلِى الْحاَفِظِ النَّيْساَبُوْرِيِّ أُسْتاَذِ اْلحَاكِمٍ أَبِي عَبْدِ اللهِ الْحاَفِظِ مِنْ أَنَّهُ قاَلَ ماَ تَحْتَ أَدِيْمِ الَّسمَاءِ كِتاَبٌ أَصَحُّ مِنْ كِتاَبِ مُسْلِمِ بْنِ الْحَجاَّجِ فَهَذاَ وَقَوْلُ مَنْ فَضَّلَ مِنْ شُيُوْخِ الْمَغْرِبِ كِتاَبَ مُسْلِمٍ عَلَى كِتاَبِ الْبُخاَرِيِّ إِنْ كَانَ اْلمُراَدُ بِهِ أَنَّ كِتاَبَ مُسْلِمٍ يَتَرَجَّحُ بِأَنَّهُ لَمْ يُماَزِجُهُ غَيْرُ الصَّحِيْحِ فَإِنَّهُ لَيْسَ فِيْهِ بَعْدَ خُطْبَتِهِ اِلاَّ اْلحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ مَسْرُوْداً غَيْرَ مَمْزُوْجٍ بِمِثْلِ ماَ فِي كِتاَبِ الْبُخاَرِيِّ فِي تَرَاجِمِ أَبْواَبِهِ مِنَ اْلأَشْياَءِ الَّتِيْ لَمْ يُسْنِدْهاَ عَلَى الْوَصْفِ اْلمَشْرُوْطِ فِي الصَّحِيْحِ فَهَذاَ لاَ بَأْسَ بِهِ وَلَيْسَ يَلْزَمُ مِنْهُ أَنَّ كِتاَبَ مُسْلِمٍ أَرْجَحُ فِيْماَ يَرْجِعُ إِلَى نَفْسِ الصَّحِيْحِ عَلَى كِتاَبِ الْبُخاَرِيِّ وَإِنْ كاَنَ الْمُراَدُ بِهِ أَنَّ كِتاَبَ مُسْلِمٍ أَصَحُّ صَحِيْحاً فَهَذَا مَرْدُوْدٌ عَلَى مَنْ يَقُوْلُهُ وَاللهُ أَعْلَمُ
Artinya:
Awalnya orang yang menyusun tentang Hadits shahih adalah Al-Bukhari yang nama panjangnya Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il. Abul-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi telah membaca kitab tersebut. Disamping Muslim yang nama panjangnya Abul-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi tersebut telah berguru dan menerima faidah dari Bukhari, dia juga menyamai Bukhari di dalam memilih Syaikh-Syaiknya. Kitab mereka berdua adalah lebih shahihnya kitab setelah Kitab Allah yang mulia. Adapun yang kami riwayatkan dari Syafi’i رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ “Saya tidak mengetahui kitab di dalam bumi yang lebih banyak benarnya dari pada kitab Imam Maliki.” Sebagian ulama meriwayatkan dengan selain ini lafadl, yakni dengan lafadl “Saya (Syafi’i) tidak mengetahui kitab di dalam bumi yang lebih banyak benarnya dari pada kitab Al-Muwattha’.” Sungguh Imam Syafi’i mengatakan demikian itu karena belum terwujudnya dua kitab: Bukhari dan Muslim. Setelah itu kitab Bukhari-lah lebih shahihnya dan lebih banyaknya faidahnya dua kitab tersebut.
Adapun yang kami riwayatkan dari Abi Ya’la Al-Hafidl An-Naisaburi, Ustadznya Al-Hakim yang panggilannya Abi Abdillah Al-Hafidl: “Di bawah langit tidak ada kitab yang lebih shahih dari pada kitabnya Muslim bin Hajjaj (kitab Muslim).”
Perkataan ini dan perkataan para Syaikh dari Al-Maghribi yang menilai kitab Muslim lebih utama mengungguli kitab Bukhari, jika yang dimaksud:
“Kitab Muslim lebih berbobot karena tidak tercampur Hadits yang tidak shahih: setelah khuthbah muqaddimah Muslim tidak ada lagi Hadits kecuali shahih yang terus-menerus yang tidak keruh semisal yang di dalam Bukhari: di dalam menjelaskan bab-bab Bukhari terdapat riwayat-riwayat yang tidak di-isnadkan dengan persyaratan shahih,” maka tidak apa-apa (boleh-boleh saja).
Namun dalam hal ini seharusnya dia tidak melazimkan bahwa kitab Muslim lebih berbobot mengungguli kitab Bukhari sepenuhnya. Kalau yang dimaksud, “Kitab Muslim lebih shahih secara nyata,” jelas ditolak (kebenaran ucapan tersebut). Sementara Allah lebih tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar