Setelah membaca surat, Umar RA senang, karena tahu bahwa pasukan Muslimiin menang. Namun sedih karena Abdullah bin Chudzafah yang sangat dicintai ditawan oleh lawan. Umar bersumpah, “Demi kehidupan yang pernah dijalani oleh Rasulullah SAW, saya akan mengirimi surat pada Hiraqla, agar Abdullah dikembalikan kemari. Jika membangkang, saya akan mengirimkan pasukan untuk menyerang mereka.”
Surat dilipat lalu dikirimkan pada Abu Ubaidah. Dan akan
mengirimkan, diberi pesan,
“Surat ini agar segera dikirimkan pada Hiraqla!.”
Pada pengantar surat, Hiraqla bertanya, “Ini dari siapa?.”
Dia menjawab, “Dari Amirul Mu’miniin bernama Umar bin Al-Khatthab
RA.”
Setelah dibuka, ternyata benar dari Umar. Hiraqla
perintah agar Abdullah didatangkan untuk ditanya, “Kau siapa?.”
Abdullah menjawab, “Lelaki Muslim dari Quraisy.”
Hiraqla bertanya, “Kau keluarga nabimu?.”
Dia menjawab, “Saya putra pamannya.”
Hiraqla merayu, “Kau mau memasuki agama kami? Dengan
imbalan saya nikahkan dengan putri batriq saya yang cantik? Dan kau akan saya
jadikan orang khususku?.”
Abdullah menjawab, “Demi Allah satu-satunya Tuhan yang
harus disembah, saya tidak mau keluar dari Islam dan ajaran Muhammad SAW hingga
kapanpun.”
Hiraqla
berkata, “Kalau mau memasuki agama kami, kau akan saya beri harta berjumlah
sekian, dan pelayan lelaki sejumlah sekian, dan pelayan wanita sejumlah
sekian.”
Hiraqla perintah agar sejumlah mutiara didatangkan untuk ditawarkan, “Kalau kau mau masuk agama kami, akan kami beri ini.”
Abdullah berkata, “Demi Allah, kalau kau memberikan kerajaanmu padaku pun, saya tetap tidak mau keluar dari Islam.”
Hiraqla mengancam, “Jika kau tetap
membangkang, akan saya siksa hingga mampus dalam keadaan yang mengerikan.”
Abdullah menjawab tegas, “Meskipun kau memotong-motong
atau membakar, saya tetap bersikeras tidak mau murtad. Hukumlah saya!
silahkan!.”
Hiraqla marah-marah dan membentak, “Sujudlah pada
Salib ini sekali saja! Kau akan saya bebaskan!.”
Abdullah membantantah, “Saya takkan mau!.”
Hiraqla membentak, “Makanlah daging babi! Kau akan
saya lepaskan!.”
Abdullah membantah, “Subhanallah! Saya takkan mau!.”
Abdullah membantah, “Subhanallah! Saya takkan mau!.”
Hiraqla membentak lebih keras, “Minumlah
arak seteguk saja! Kau akan saya lepaskan!.”
Abdullah menjawab, “Saya takkan mau.”
Dia bersumpah, “Demi agamaku, kau akan
saya paksa sungguh!.”
Dia perintah agar Abdullah dimasukkan
ke dalam tahanan yang di dalamnya ada hidangan dari daging babi dan arak. Dia berkata, “Jika dia telah kelaparan, pasti mau mencicipi! Kuncilah pintunya!.”
Sebetulnya Hiraqla sudah wafat dalam keadaan Islam setelah negeri Anthaqiyah direbut oleh pasukan Muslimiin, setelah Perang Qabail. Hiraqla yang ini, putra Hiraqla, bernama Nastius (نسطيوس) yang gelarnya juga Hiraqla.
Di hari keempat, Hiraqla menanyakan, “Bagaimana? Apa dia telah makan dan minum yang di dalam penjara?.”
Para pelayannya berkata, “Dia tidak mau makan dan
minum meskipun sebetulnya kelaparan dan kehausan.”
Staf Hiraqla berkata, “Yang mulia, dia itu tokoh besar
kaumnya. Kalau selain dia yang diperlakukan begini, pasti telah
makan dan minum.”
Hiraqla memanggil untuk bertanya pada Abdullah, “Kau apakan daging yang lezat itu?.”
Abdullah menjawab, “Utuh tidak saya sentuh.”
Dia
bertanya,
“Kenapa tidak kau makan?.”
Abdullah menjawab, “Takut Allah dan taat pada
RasulNya. Sebetulnya ketika saya kelaparan selama tiga hari, hukumnya sudah
menjadi halal karena terpaksaa, tetapi saya tidak mau kalian tertawakan.”
Surat Umar dibaca lagi, lalu Abdullah diberi uang, mutiara, dan pakaian berjumlah banyak. Agar diberikan pada Umar RA. Abdullah diantar oleh arak-arakan pasukan berkuda, menuju negeri Chalab (Aleppo). Pasukan Muslimiin di sana menyambut dengan pekikan, “Allahu akbar” menggelegar membuat hati bergetar.
Abdullah diantar oleh arak-arakan pasukan Muslimiin, untuk menyerahkan harta pemberian Hiraqla pada Umar RA, di Madinah. Ketika melihat Abdullah dan rombongannya datang, Umar bersujud sebagai tanda syukur pada Allah. Lalu menyambut kedatangannya dan bertanya, tentang khabarnya ketika ditahan.
Umar menyerahkan mutiara pada sejumlah saudagar, yang menjawab, “Kami kesulitan menjual mutiara seindah dan
sebanyak itu.”
Para pendaping Umar berkata, “Yang mulia saja yang memiliki.”
Para pendaping Umar berkata, “Yang mulia saja yang memiliki.”
Umar menjawab, “Laa Ilaaha illaa Allah, Muhamadun Rasulullah SAW. Kalian rela saya memakai ini, tetapi orang yang tidak di
sini? Belum calon kaum Islam yang masih di dalam rahim ibu
mereka, atau di dalam tulang punggung ayah mereka?
Orang-orang yang berjihad di Jalan Allah? Kalau Umar di hari kiamat
nantinya dituntut oleh mereka, pasti takkan mampu berkutik. Dijual
saja!.”
Dan uang dari penjualannya diserahkan ke Baitul-Mal.
Umar tokoh yang luar biasa. Hidupnya diserahkan untuk Allah, dan agar umat Islam menjadi baik. Beliau tak mau ada orang iri padanya, karena fasilitas yang berlebih. Kalau ada tokoh yang seperti dia, dipastikan seluruh rakyatnya mencintai. Sebetulnya di zaman
sekarang, juga banyak tokoh yang baik. Jika
disempurnakan, in syaa Allah mereka pasti akan menyenangkan
rakyat.
Siapakah yang berkewajiban menyempurnakan mereka? Kalau mereka tidak
tersinggung, peringatan rakyat cukup menjadi pelajaran bagi mereka.
Seri sebelumnya, klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar