Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2016/12/13

PS 182: Pembebasan Syam



Image result for ‫الجيوش الاسلام في القديم‬‎




Di medan perang di Qabail, 
Maisarah dan pasukannya dikepung dan diserang dengan garang, oleh lautan musuh. Suara dentingan pedang, benturan perisai, teriakan, derap kaki kuda, bentakan, dan hiruk-pikuk, membisingkan telinga. 
Ketika pasukan Romawi telah capek dan gerak mereka mulai melambat, tokoh besar mereka Bathriq (Patriarch) muncul dengan berkuda, mengenakan baju perang dari besi, dan berhelm besi yang berkilauan. Di sisinya ada lelaki berkuda yang menaungkan Salib di atas kepalanya. Bathriq yang memimpin 10.000 pasukan itu memegang tongkat besi sebesar lengan unta. Dia memacu kudanya agar maju, dan menantang berkelahi dengan bahasa yang tidak dimengerti, oleh Maisarah dan pasukannya.
Pada penerjamahnya, Maisarah bertanya, “Apa yang dia katakan?.”
Penerjemah menjawab, “Dia mengaku sebagai jagoan yang tak terkalahkan, dan menantang berkelahi pada kalian yang merasa jago.” 
Maisarah berteriak, “Siapa berani melawan?!.”
Seorang lelaki dari suku Annakha (النخع) bergegas memacu kuda, untuk mendekat dan melayani berkelahi. Baju perang yang dikenakan bermodel Romawi. Beberapa Muslimiin berkata, “Dia dulu memang orang Nashrani, lalu masuk Islam.” 
Sang bathriq membentak-bentak dengan kasar, tetap lelaki dari Annakha itu hanya diam, meskipun tahu maksudnya. Sang bathriq marah dan mengayunkan tongkat besi sekuat tenaga ke arahnya. Tetapi yang terpukul, “Prak! Grubyuk!” hingga hancur, justru kepala kuda. Karena kuda ditarik dengan cepat. 
Kuda roboh dan tewas, otak dan darahnya berhamburan. Yang mengendarai bergerak cepat untuk berdiri.
Maisarah berteriak, “Mundurlah!.” 
Lelaki dari Annakha itu mundur teratur, lalu lari cepat sekali, dikejar bathriq berkendaraan kuda.
Abdullah bin Chudzafah muncul untuk melindungi lelaki yang sedang berlari untuk bergabung padanya. Abdullah bergerak cepat, memukulkan pedang atas bathriq yang telah menyiapkan tangkisan dan serangan. Berkali-kali tusukan pedang Abdullah membentur baju besi sang bathriq. 
Sambaran tongkat besi sang bathriq berkali-kali ditangkis dengan perisai oleh Abdullah, yang makin lama makin payah, karena tongkat besi yang ditangkis sangat berat. Pedang Abdullah terayun menebas cepat ke leher sang bathriq yang ditarik ke belakang. Tetapi tetap saja putus dan terlempar bersama kepalanya yang terbungkus helm besi, bersimbah darah, ke arah pasukan Romawi. Abdullah menangkap, sebelum kepala jatuh ke tanah. 
Tubuh bathriq terbungkus baju besi terhuyung jatuh, “Bleg!” Tongkat besinya juga jatuh, “Blang!.”
Pasukan Romawi marah karena tokoh besar mereka tewas. Apa lagi ketika mereka melihat kuda dan harta yang melekat pada bathriq itu, diambil oleh Abdullah. 
Dalam waktu cepat, berita kematian tokoh besar itu sampai ke telinga Raja Hiraqla.

Setelah Abdullah pergi, seorang bathriq lainnya maju untuk membentak, “Kurang ajar! Yang kau bunuh ini orang dekat Raja Hiraqla! Kau harus saya bunuh atau saya tangkap untuk saya serahkan pada raja, agar dihukum!.” 
Matanya berkaca-kaca, lalu menumpahkan air mata, bersama ledakan tangisan, ketika melihat kepala sahabatnya tergolek bermandi darah. Dia berteriak, “Hai kaum Arab! Kalian pasti akan ditindak oleh Allah, karena telah menganiaya kami! Yang telah membunuh teman saya ini kemarilah! Akan saya beri hukuman!.”

Pandangan seluruh pasukan terarah pada sang bathriq yang marah dan menantang perang. 
Abdullah telah memacu kuda untuk mendekati sang batriq. Tetapi Maisarah mencegah, “Jangan! Saya saja yang melawan!” karena dia sudah lelah.
Abdullah memohon, “Yang mulia, yang ditantang adalah saya. Kalau anda yang melawan berarti saya dianggap tidak berani.” 
Maisarah berkata, “Kau sudah terlalu capek. Saya kasihan.” 
Abdullah memohon, “Masyak yang mulia mengasihani saya justru karena terlalu capek, untuk menyelamatkan diri dari api neraka? Demi kehidupan yang pernah dijalani oleh Rasulillah SAW, siapapun tidak boleh melawan dia, kecuali saya.” 
Abdullah memacu kuda rampasan, mendekati sang bathriq yang menantang berkelahi. Sang bathriq terkejut ketika melihat kuda, helm, dan pedang temannya yang tewas, telah dikuasai oleh Abdullah. “Berarti kau yang telah membunuh teman saya!” geramnya. 
Pedang Abdullah berkali-kali mematuk dada sang bathriq yang dilindungi baju besi. Tangan sang bathriq bergerak cepat sekali untuk menangkap dan menarik tangannya. 
Pedang Abdullah lepas, hingga dia diringkus, untuk diserahkan pada pasukan Romawi. “Ikatlah tanganya dengan rantai! Dan serahkan pada Raja Hiraqla sekaran juga!” perintah sang bathriq. 
Beberapa orang bergerak untuk mengikat tangan Abdullah dengan rantai, untuk dilarikan dan diserahkan pada Raja Hiraqla.

Sang bathriq belum puas. Dia kembali ke medan perang untuk menantang berkelahi lagi. Tiga orang Muslimiin telah bergerak untuk melawan sang bathriq, tetapi Maisarah berteriak, “Jangan! Yang akan melawan orang laknat ini saya sendiri.” 
Maisarah menyerahkan panjinya, “Peganglah panji ini! Saya akan melawan dia. Jika menang panji ini akan saya pegang lagi! Jika kalah, saya justru akan mengambil Pahala Allah!” pada Said bin Zaid.
Said memegang panji; Maisarah keluar dari barisan sambil membaca syair:
Sungguh yang Maha mengintai dan Maha Pemaksa
Tahu bahwa “Hati saya
Terbakar api ketika”
Pemuda yang rutin shalat ketika
Senyum fajar menyapa
Ditangkap oleh musuhnya
Akulah yang akan membalaskannya

Kaum Romawi mengamati dan mendoakan kemenangan untuk sang bathriq. 

Bathriq terperanjat, saat melihat kepulan debu di kejauhan makin mendekat. Dan bertanya, “Demi kebenaran agamamu, siapa yang berdatangan membawa panji itu?.” 
Maisarah tidak menoleh, tetapi menjawab, “Demikian itu bagi Allah, hal yang remeh.”  
Bathriq bersumpah, “Demi agamaku, ucapanmu benar.” 
Sebetulnya bathriq berkata begitu, dengan tidak tulus.


In syaa Allah bersambung




[1] Meskipun beberapa riwayat Hadits tentang Wasilah seperti ini ada. Namun kebanyakan kita tidak mengamalkan, karena takut Allah.

Mulungan Sleman Yogyakarta Indonesia Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar