Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2015/06/04

PS 132: Pembebasan Syam






Dia pergi untuk menempatkan pasukan Romawi di sisi danau sangat dalam. Dia berkata, “Di sinilah yang akan ditempati pasukan Arab. Saya akan menipu agar mereka tewas.”
Abul-Juaid berupaya memposisikan danau Naqushah di antara pasukan Romawi dan pasukan Muslimiin. Tak seorang pun pasukan Romawi tahu bahwa danau itu ‘sangat dalam’. Dia heran kenapa perang di Hari Atta’wir itu, pasukan Muslimiin bisa menang? Padahal pasukan Romawi yang melaut telah mengamuk dengan serempak. Akhirnya dia yakin bahwa kemenangan pasukan Muslimiin pasti akan lebih besar lagi.

Abul-Juaid menghadap Abu Ubaidah yang sedang ronda malam bersama sejumlah kaum Muhajiriin RA. Abu-Juaid bertanya, “Kenapa kalian tidak mengamuk lagi?.”
Abu Ubaidah menjawab, “Sebaiknya kami harus bagaimana?.”
Dia menjawab, “Besok malam nyalakan obor-obor yang banyak. Saya yang akan bersiasat agar mereka tewas.”

Abul-Juaid berangkat untuk menipu pasukan Romawi. Malam itu pasukan Muslimiin menyalakan lebih dari 10.000 obor yang berkobar-kobar. Dia datang lagi untuk mengecek keadaan.
Pasukan Muslimiin berkata, “Kami telah menyalakan obor-obor sebagaimana pesanmu.”
Dia menjawab, “Saya minta didampingi 500 pasukan kalian, untuk memancing mereka.”

Di antara 500 pasukan terpilih yang terpenting:
1.     Dhirar.
2.     Iyadh (عياض).
3.     Rafi (رافع).
4.     Abdullah bin Yasir.
5.     Abdullah bin Aus.
6.     Abdullah bin Umar.
7.     Abdur Rohman bin Abi Bakr.
8.     Ghanim bin Abdillah.
9.     Dan lainnya.
Mereka diajak oleh Abul-Juaid, untuk mendekati pasukan Romawi. Mereka telah diberi tahu bahwa danau akan dijadikan jebakan membunuh. Mereka disuruh menyerbu sebentar lalu berlari, agar dikejar.

Pasukan Muslimiin menyerbu, lalu berlari dan mencebur ke danau. Dikejar oleh pasukan Romawi. 
Pada pasukan Romawi, Abul-Juaid berteriak, “Kejar! Mereka yang lari! Yang sama membawa obor-obor banyak sekali di kejauhan itu! Pasukan Arab!.”
Sontak pasukan Romawi mengejar secepat-cepatnya, hingga mereka berjumlah sangat banyak, tercebur ke danau, sama karam.

Abul-Juaid berteriak terus, hingga pasukan Romawi yang lain, berlari mengejar dengan gugup, dan terperosok ke danau hingga karam, bersama kuda mereka. Pada mereka yang masih di daratan, Abul-Juaid berteriak, “Seberangi! Danau dangkal! Yang menghalang-halangi kalian dari mereka! Cepat!.”
Pasukan Romawi sama tercebur danau yang sangat dalam dan luas, hingga sama tewas. Tak ada yang tahu ‘jumlah mereka yang tewas.

Di pagai buta itu, pasukan Romawi terkejut, karena jumlah mereka telah berkurang sangat banyak. Sebagian mereka melaporkan bahwa teman-teman mereka tewas dan terapung di danau. 
Sebagian mereka berkata, “Siapa yang berteriak-teriak semalam?" pada sebagian.
Seorang  lelaki menjawab, “Dia lelaki yang istrinya kita nikmati dan anaknya kita bunuh. Dia balas dendam pada kita.”


Pagi itu, Raja Mahan sedih sekali, karena jumlah pasukannya berkuarang sangat banyak. Dia yakin sepenuhnya bahwa pasukan Arab pasti akan menang, dan dirinya terancan. Pada Qurin, dia bertanya, “Saya harus berbuat apa lagi? Kemenangan mereka telah semakin membesar. Kalau mereka mengamuk dengan kompak, kita jelas pasti kalah, bahkan kita semua bisa tewas. Mintalah agar mereka mengistirahatkan perang ini, untuk mempersiapkan tipuan, agar kita selamat!.”
Qurin menjawab, “Akan segera saya laksanakan.”
Qurin perintah agar lelaki dari kota Lakhm, menghubungi pasukan Muslimiin.
Lelaki itu datang dan berkata, “Ketahuilah bahwa peperangan bisa berubah menjadi 'kami yang menang', dunia juga bergeser. Kalian telah menipu kami. Jangan melampaui batas! Agar tidak menyesal! Kami minta agar peperangan diistirahatkan sehari. Besok pagi kita tidak berperang.”

Lelaki utusan itu diperbolehkan menghadap, untuk menyampaikan surat Raja Mahan, pada Abu Ubaidah RA yang hampir mengabulkan permohonan itu. Namun Khalid mencegah, “Jangan kau kabulkan permintaan mereka. Mereka tak memiliki kebaikan lagi setelah hari ini.”
Pada lelaki itu, Abu Ubaidah perintah, “Kembalilah pada pimpinanmu! Katakan ‘kami takkan mengistirahatkan peperangan ini, bahkan kami akan menyelesaikan secepatnya’.”


Ketika lelaki itu datang dan melaporkan pesan Abu Ubaidah, Mahan sedih dan lemas.
Mahan melakukan amalan kafir dan berkata, “Sungguh tadinya saya berharap pasukan Arab mau berdamai dengan kita. Demi kebenaran Salib, saya akan menghadapi serangan mereka.”
Lalu berteriak, “Hai semuanya! Dan para pendampingku! Siapkan serangan!.”
Sisa-sisa pasukan telah besiap dengan senjata dan perisai. Mahan muncul dengan kudanya, membawa Salib yang diletakkan di depan.


Pagi itu, pasukan Muslimiin juga telah siaga dengan perasaan bahagia, bahkan semakin yakin bahwa mereka akan menang. Abu Ubaidah menata barisan pembawa panji, bersama Khalid yang mengendarai kudanya yang terkenal, bernama Khailu Zachfi (خيل الزحف), yang artinya, “Kuda Pengobrak-Abrik.”

Matahari bersinar seakan-akan tersenyum. Raja Jarjir dan raja lainnya telah muncul, didampingi sejumlah pengawal. Raja Jarjir bertubuh tinggi besar, menantang, “Yang melawan saya! Harus pimpinan tertinggi!.”

Abu Ubaidah bergerak, untuk menyerahkan panji pada Khalid, dan berkata, “Bawakan panjiku! Jika saya telah berhasil membunuh dia, panji akan saya ambil lagi. Jika saya yang mati, bawalah panji ini untuk memimpin pasukan Muslimiin, hingga Umar menentukan keputusan!.”
Khalid menjawab, “Justru saya yang akan membunuh dia, untuk membela yang mulia.”
Abu Ubaidah menjawab, “Jangan! Dia menantang saya, saya yang akan menghadapi. Kau akan bergabung dalam pahala jihad ini.”

Sebetulnya semua pasukan Muslimiin, tak ada yang tega, jika Abu Ubaidah berperang. Mereka berkata, “Saya saja yang melawan dia,” bersaut-sautan. Tetapi mereka kalah dengan kemauannya.

Pada Abu Ubaidah yang datang, Jarjir bertanya, “Kau kah pimpinan tertinggi?.”
Dia menjawab, “Betul, dan saya akan mengabulkan tantanganmu. Kalian semua akan saya amuk, atau kau saya bunuh, begitu pula Mahan.”
Jarjir menjawab, “Justru umat Salib yang akan mengalahkan kalian.”

Jarjir menyerang Abu Ubaidah yang menangkis dan menyerang. Perkelahian berlangsung seru dan lama. Khalid dan pasukan Muslimiin mendoakan semoga Abu Ubaidah selamat dan menang.

Jarjir meninggalkan Abu Ubaidah lalu kabur, lewat depan barisan pasukannya. Abu Ubaidah mengejar, tapi sejumlah pasukan Romawi telah bergerak untuk melindungi Jarjir. 
Jarjir berbalik dan menyerang cepat sekali. Tetapi serangan Abu Ubaidah melanda lebih cepat. Tahu-tahu pedangnya telah menebas pundak, hingga Jarjir rebah bersimbah darah.
Abu Ubaidah membaca takbir, pasukan Muslimiin juga membaca takbir.

Abu Ubaidah memandangi mayat tinggi besar bersimbah darah, namun lalu terkejut oleh permohonan Khalid, “Sebaiknya yang mulia segera memegangi panji kepemimpinan ini! Baginda telah melaksanakan kewajiban dengan baik.”

Abu Ubaidah masih akan bertanding. Namun semua pasukan Muslimiin bersumpah, “Demi Allah! Kembalilah! Yang mulia," bersaut-sautan.
Abu Ubaidah kembali untuk memegang lagi, pada panjinya yang dititipkan pada Khalid.

Ketika melihat orang sehebat Jarjir tewas, Mahan terkejut dan wajahnya memucat. Hampir saja Mahan berlari dengan kudanya. Tapi ada suara yang memenuhi ruang hatinya, “Saya akan beralasan bagaimana di hadapan Raja Hiraqla nanti. Saya harus segera berperang mati-matian untuk mengobati rasa malu. Syukur jika bisa menang, agar punya bukti telah berjuang di sisi Raja Hiraqla.”

Tokoh-tokoh besar pasukan Romawi telah tahu semua bahwa ‘dia telah bersiap-siap’ untuk perang. Dia berpakaian gemerlapan, menjadi pusat perhatian para bathriq, para ulama Nashrni, dan para rahib.
Di hadapan mereka, dia berkata, “Sungguh sebelum ini, Raja Hiraqla telah tahu bahwa akibatnya akan begini. Sejak sebelum ini, beliau ingin berdamai dengan pasukan Arab, namun kalian semua sama menentang beliau. Semua telah terlanjur, saya akan berperang melawan mereka.”

Seorang bathriq yang berkedudukan dekat dengan dia muncul. Bathriq yang masih kerabat dekat Jarjir ini sangat taat beribadah, dan suka membaca Injil. Kepada Mahan, bathriq berkata, “Saya yang akan mewakili tuan berperang, meskipun saya harus mati. Saya akan membalaskan dendam tuan Jarjir.”
Mahan diam mendengarkan bathriq memohon, “Tuan akan berperang, padahal saya yang lebih berhak. Saya yang akan mewakili tuan.”
Bathriq itulah yang disebut-sebut sebagai Jirjis’. Dia mengenakan baju perang dari besi, membawa pedang. Baju luarnya gemerlapan oleh emas. Bathriq Jirjis ‘diupacarakan’ dengan agung, sebelum berperang mati-matian. Sejumlah ulama Nashrani berdoa agar dia selamat. Lalu padanya, mereka mengoleskan parfum bakhur (بخور) dari beberapa gereja teragung.

Seorang rahib dari Amuriyah datang untuk memberikan Salib yang menggelayut pada lehernya, dan berkata, “Salib keramat yang selalu di tangan para rahib, untuk diambil barakahnya ini, ada sejak Al-Masih AS masih hidup, hingga akhirnya sampai pada saya. Ambillah agar menolong tuan.”

Dengan bahasa Arab fasih, Bathriq Jirjis menantang perang, hingga banyak yang terheran-heran.
Dhirar datang untuk melawan, tapi lalu terkejut ketika melihat lawannya ‘tinggi besar’ di luar dugaan.
Dhirar berkata, “Apa gunanya saya berbaju? Jika saya mati olehnya.”
Lalu membelokkan kudanya untuk berlari menjauh.
Orang-orang menyangka Dhirar takut pada Jirjis yang tinggi besar. Bahkan ada yang berkata, “Ternyata Dhirar takut sebelum bertanding.”

Dhirar pulang ke tendanya untuk meletakkan baju, sehingga hanya mengenakan celana panjang. Dia mengambil busur, pedang, dan perisai, untuk melawan Jirjis. Meskipun jalannya cepat, namun terlambat. Jirjis telah berhadap-hadapan dengan Malik Annakhai (مالك النخعي).
Malik bertubuh tinggi besar berteriak, “Ayo majulah! Hai Musuh Allah! Hai penyembah Salib! Lawanlah lelaki hebat penolong Muhammad yang agung ini!.”
Jirjis grogi. Malik menusuk berkali-kali, namun tombaknya tak mempan menembus baju besi Jirjis.
Malik mengayunkan tombak sekuat tenaga, hingga menembus perut kuda Jirjis. Kudanya luka berat dan darahnya bercucuran, namun masih bisa berlari dengan kesakitan.
Malik menarik tombaknya, namun tak mampu. Tombaknya telah menyatu dengan tubuh kuda berdarah dan sakarat. 
Orang-orang melihat Dhirar bergerak cepat sekali, menebaskan pedangnya sekuat tenaga, hingga kepala Jirjis terbelah menjadi dua. Otak dan darahnya berhamburan.

Ketika Dhirar mengambil harta peninggalan Jirjis, Malik menegur, “Kenapa tahu-tahu kau bergabung menaklukkan lawanku?.”
Dhirar membantah, “Saya tidak bergabung, saya hanya ingin memiliki harta miliknya.”
Malik berkata, “Yang membunuh kudanya kan saya?.”
Dhirar menjawab, “Memang terkadang seorang berusaha, namun yang beruntung justru lainnya.”
Malik tersenyum dan berkata, “Silahkan diambil.”
Dhirar mengaku, “Saya hanya bergurau, ambillah! Saya tidak akan minta sedikitpun. Kau yang lebih berhak memiliki.”

Setelah emas dan harta berharga lainnya dikumpulkan untuk diangkat, ternyata Dhirar keberatan, hingga keringatnya bercucuran. Berat sekali. Dhirar membawa untuk meletakkan harta rampasan, pada tenda Malik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar