Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2015/04/02

PS 98: Pembebasan Syam






Di saat Abu Ubaidah mempersiapkan pasukan untuk pulang ke Chimsh(Homs), penguasa kota Ainul-Jauz (عين الجوز) datang menghadap, untuk mengajukan permohonan damai. Abu Ubaidah mengabulkan permohonan dengan syarat, mereka menyetorkan upeti setengah dari yang dibebankan atas penduduk Balbek.
Abu Ubaidah mengangkat Salim bin Dzuaib As-Sulami (سالم بن ذؤيب السلمي) agar memerintah dan mengurusi kota Ainul-Jauz (عين الجوز). Pesan dia yang disampaikan pada Salim bin Dzuaib, sama dengan yang disampaikan pada Rafi bin Abdillah As-Sahmi (رافع ابن عبد الله السهمي).

Abu Ubaidah dan pasukannya berangkat menuju kota Chimsh (Homs). Ketika sampai di antara kota Ros (الرأس) dan kota Kafilah (الكفيلة), dia dan pasukannya berhenti untuk menerima kedatangan penguasa kota Jausiyah, yang membawa hadiyah berjumlah banyak sekali. Abu Ubaidah menerima hadiyah, dan memperbaharui perjanjian damai dengannya. Selanjutnya meneruskan perjalanan ke Chimsh.

Setelah Abu Ubaidah pergi, Rafi bin Abdillah mulai memimpin pasukannya di luar beteng kota Balbek. Yang sangat diwaspadai oleh mereka, jalan pantai yang kemungkinan akan dilewati oleh bala tentara dari Romawi, yang akan membantu pasukan Balbek. Di antara pasukan Rafi bin Abdillah, ada tentara penting bernama Chiban bin Tamim Ats-Tsaqafi (حبان بن تميم الثقفي). Rafi bin Abdillah dan pasukannya menyerang kaum Arab Nashrani tetangga kota Balbek, yang tidak mengajukan permohonan damai. Saat yang paling menyenangkan penduduk Balbek, jika pasukan Muslimiin akan pergi meninggalkan kota untuk menyerang. Pasukan Muslimiin ‘menjual barang-barang dengan harga murah’. Yang menambah penduduk Balbek senang, karena mereka tidak pernah bohong, curang, atau aniaya.

Di masa perdamaian itu, ekonomi penduduk Balbek melonjak naik, sehingga mereka berbahagia. Pasukan Muslimiin yang melindungi mereka dari luar beteng, sangat menguntungkan secara ekonomi, hingga Harbis yang merasa belum mendapatkan keuntungan ‘iri’. 




Lautan Manusia

Pada waktu yang telah ditentukan, Harbis mengumpulkan rakyat di Gereja kota yang sangat besar. Di pertengahan lautan jamaah Nashrani itu, Harbis berkata pada para pedagang, “Kalian tahu sendiri bahwa sesungguhnya yang telah ‘memprakarsai perdamaian’ ini adalah saya. Kini kalian menjadi orang-orang kaya dan aman dari musuh, karena dijaga oleh kaum Arab di luar beteng. Saya yang telah mengorbankan harta dalam jumlah banyak, demi perdamaian ini. Bahkan demi ini semua, senjataku telah dirampas dan pelayanku banyak yang mati terbunuh. Demikian pula orang-orang dan keluargaku. Yang paling beruntung justru kalian, karena mendapat laba dan kekayaan yang banyak dari kaum Arab! Betul kan?.”
Rakyatnya menjawab, “Betul,” menggemuruh. Banyak juga yang berkata, “Yang tuan katakan semuanya benar, lalu apa keinginan tuan?.”
Harbis menjawab, “Saya sebagai penguasa kalian, ingin sekali menarik harta, untuk mengganti sebagaian hartaku, yang telah kuserahkan pada kaum Arab, untuk perdamaian ini.”
Mereka menjawab, “Maksudnya bagaimana?.”
Harbis menjawab, “Saya takkan memaksa kalian menyerahkan harta kalian dalam jumlah banyak. Saya hanya ingin dalam kalian berjualan pada kaum Arab, saya diberi sepersepuluh dari laba.”

Tak lama kemudian terjadi percekcokan antara yang setuju dan yang menolak. Kericuhan makin memuncak higga membisingkan telinga. Ada suara keras, “Hai kaumku! Beliau adalah raja kita yang telah melindungi kita dengan mengorbankan harta dan dirinya! Beliau telah berkata jujur! Hormati dan taatilah!.”  

Mereka pulang setelah menyetujui permintan Harbis raja mereka.
Harbis mengangkat beberapa petugas yang akan menarik uang dari para pedagang. Dan perintah agar orang-orangnya menarik uang dari para pedagang selama 40 hari. Ternyata hasilnya sangat banyak. Hari-hari setelah itu perekonomian rakyat tetap dalam keadaan melambung tinggi.

Harbis berkata, “Sungguh rakyatku bergembira, karena bisa membeli apa saja. Sejak dulu mereka belum pernah mendapat rizqi sebanyak ini.”
Harbis mengumpulkan rakyat di Gereja besar di tengah kota, untuk berkata, “Saya juga ingin berbahagia seperti kalian! Sepersepuluh yang kalian berikan padaku belum seberapa, dibanding harta kekayaan yang kuserahkan pada kaum Arab ‘untuk perdamaian ini!’ Tambahilah agar hartaku segera pulih seperti dulu, dengan cepat! Saya juga telah rugi karena kehilangan senjata, dan pelayan-pelayan saya terbunuh dalam peperangan kemarin.”
Karena Harbis bersikeras, kaumnya sama membantah dengan suara keras pula. Karena orang-orang Harbis mengamuk membela dia, rakyat yang berjumlah banyak sekali itu melawan dengan garang. Hiruk pikuk dan jeritan serta gertakan, berceloteh keras mengusir sepi. Sejumlah rakyat membunuh dan memutilasi orang-orang Harbis yang semena-mena pada mereka. Terjadi keributan dan kericuhan berdarah ‘menggila’ menggemparkan kota.

Pasukan Muslimiin di luar beteng menyesal kenapa kebaikan mereka justru berdampak kericuhan berdarah, walau tak tahu persis kejadian lengkapnya. Mereka berkumpul untuk berkata di hadapan Rafi bin Abdillah pimpinan mereka, “Yang mulia! Apakah kau tak mendengar suara gaduh, tangisan, dan teriakan keras di dalam beteng?.”  
Rafi menjawab, “Saya juga mendengar, tapi kita tidak bisa berbuat banyak, karena kita tidak boleh masuk ke dalam beteng ini. Ini sudah menjadi keputusan yang kita setujui bersama. Kita lah kaum yang paling berhak menetapi aturan yang dibuat di hadapan Allah. Kalau mereka mau keluar dari beteng, kita bisa menolong mereka.” 

Keributan berdarah yang menggila di kota Balbek, berlangsung lama. Rakyat tak mau lagi mengalah pada para pelayan raja yang semena-mena. Korban kematian dari dua belah fihak makin banyak. Raja Harbis diserang dengan garang oleh rakyat yang mestinya menghormat dan mentaati. Raja terkulai bersimbah darah dan tewas, oleh kemarahan rakyatnya.

Tangisan, jeritan dan teriakan bersaut-sautan. Sejumlah rakyat Balbek membuka pintu gerbang untuk keluar dan menjumpai Rafi bin Abdillah. Semakin lama jumlah mereka yang keluar semakin banyak sekali. Di hadapan Rafi bin Abdillah mereka berkata, “Kami memohon Pertolongan Allah dan kepedulian tuan yang mulia.”
Rafi bin Abdillah mendengarkan mereka berkisah mengenai perlakuan raja mereka, dan keributan yang telah terjadi di dalam beteng. Rafi bin Abdillah berkata, “Kami tak mungkin menyerang Harbis, karena ‘perjanjian damai’ yang telah kita sepakati bersama.”
Mereka menjawab, “Kami telah membunuh dia dan semua pelayannya.”
Rafi bin Abdillah dan pasukannya terperangah dan terheran-heran, saat mendengar kaum Balbek berkisah ‘tragedi berdarah’ dan mutilasi gila-gilaan itu.
Rafi bin Abdillah bertanya, “Lalu apa yang kalian kehendaki?.”
Mereka berkata, “Silahkan masuk ke kota kami. Kami telah memperbolehkan tuan dan pasukan tuan memasuki kota kami.”
Rafi bin Abdillah menjawab, “Kami tidak berani masuk tanpa seidzin yang mulia Abu Ubaidah.”

Rafi bin Abdillah menulis ‘surat permohonan idzin’ masuk kota Balbek, pada Abu Ubaidah, dan memberitakan tragedi berdarah itu dengan lengkap.

Abu Ubaidah mengirimkan ‘surat idzin memasuki kota Balbek’ untuk Rafi bin Abdillah dan pasukannya. Rafi dan pasukannya memasuki kota Balbek.

Arak-arakan Abu Ubaidah dan pasukannya yang panjang sekali telah mendekati kota Chimsh (Homs). Tepat di kota Az-Zarra’ah (الزراعة), Abu Ubaidah berhenti untuk istirahat. Dia perintah agar Maisarah bin Masruq Al-Absi (ميسرة بن مسروق العبسي) memimpin barisan paling depan, berjumlah 5.000 pasukan berkuda.
Panji yang dibawa berwarna hitam, diberi gambar berwarna putih. Mereka memacu kuda menuju kota Chimsh, untuk bergabung lagi pada Khalid bin Al-Walid

Khalid dan pasukannya menyambut kedatangan rombongan pertama yang dipimpin oleh Maisarah bin Masruq Al-Absi, dengan mengucapkan salam, bersalaman dan berpelukan. 

Abu Ubaidah perintah agar Dhirar bin Al-Azwar memimpin 5.000 pasukan berkuda, rombongan kedua. Arak-arakan panjang itu berlari kencang menuju kota Chimsh.
Di belakang mereka Amer bin Ma’dikarib dan pasukan berkuda yang panjang sekali.
Paling belakang Abu Ubaidah dan pasukannya yang panjang juga.

Sebelum memasuki kota Chimsh, Abu Ubaidah berdoa, “Ya Allah, cepatkanlah penaklukan kota ini untuk kami, dan hinakanlah kaum musyrik di dalamnya. Aamiin.”  

Abu Ubaidah telah bergabung lagi dengan Khalid, di kota Chimsh. Pekerjaan pertama memperbaharui surat perjanjian damai dengan penduduk Chimsh, yang penguasanya juga bernama Harbis. Kalimat surat itu berbunyi:

بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Abu Ubaidah di Syam, wakil Umar bin Al-Khatthab Amirul Mu’miniin RA
Adapun selanjutnya: Sungguh Allah Ta’ala telah membuat negeri-negeri kalian takluk untuk kami. Kalian jangan bangga oleh besarnya kota dan kokohnya beteng kalian, ataupun jumlah pasukan kalian yang banyak sekali. Jika serangan kami telah melanda, kota kalian ini hanya seperti periuk berisi daging, untuk disantap beramai-ramai, oleh sejumlah pasukan. Pasukan yang kelaparan telah menunggu-nunggu masaknya. Kami mengajak kalian menuju agama yang diridhoi oleh Tuhan kami. Jika kalian mau mengabulkan ajakan kami, kami akan segera memberi guru yang akan mengajar agama pada kalian, lalu kami pergi meninggalkan kalian. Kalau kalian membangakang ‘tidak mau Islam’, kami mewajibkan kalian membayar pajak. Jika kalian membangkang, berarti kita harus berperang untuk menentukan Keputusan Tuhan. Dialah Penentu keputusan paling baik.

Surat dilipat lalu diserahkan pada lelaki Nashrani yang pandai bahasa Arab. “Bawalah ke kota Chimsh! Untuk diserahkan pada penguasanya! Dan suruhlah agar menjawab saya secepatnya!” Perintah Abu baidah.   
Lelaki itu membawa surat Abu Ubaidah dan berlari dengan kuda secepat-cepatnya. Ketika telah mendekai beteng kota Chimsh, pasukan Chims di atas beteng menodongkan anak panah dan batu-batuan ke arahnya. Dia ketakutan dan berteriak dengan bahasa Romawi, “Tahanlah panah dan batu kalian! Saya lelaki ditaklukkan yang membawa surat penting dari kaum Arab itu!.”  
Beberapa orang menurunkan tali agar diikatkan pada tubuh lelaki pembawa surat. Mereka mengangkat ke atas agar lelaki itu memberikan surat, pada bathriq mereka.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar