Di saat Abu Ubaidah mempersiapkan pasukan untuk pulang ke Chimsh(Homs), penguasa kota Ainul-Jauz (عين الجوز) datang menghadap,
untuk mengajukan permohonan damai. Abu Ubaidah mengabulkan permohonan dengan
syarat, mereka menyetorkan upeti setengah dari yang dibebankan atas penduduk
Balbek.
Abu Ubaidah mengangkat Salim bin Dzuaib As-Sulami (سالم
بن ذؤيب السلمي)
agar memerintah dan mengurusi kota Ainul-Jauz (عين الجوز). Pesan dia yang
disampaikan pada Salim bin Dzuaib, sama dengan yang disampaikan pada Rafi bin
Abdillah As-Sahmi (رافع ابن عبد الله السهمي).
Abu Ubaidah dan pasukannya berangkat menuju kota Chimsh (Homs).
Ketika sampai di antara kota Ros (الرأس) dan kota Kafilah (الكفيلة), dia dan pasukannya
berhenti untuk menerima kedatangan penguasa kota Jausiyah, yang membawa hadiyah
berjumlah banyak sekali. Abu Ubaidah menerima hadiyah, dan memperbaharui
perjanjian damai dengannya. Selanjutnya meneruskan perjalanan ke Chimsh.
Setelah Abu Ubaidah pergi, Rafi bin Abdillah mulai memimpin
pasukannya di luar beteng kota Balbek. Yang sangat diwaspadai oleh mereka,
jalan pantai yang kemungkinan akan dilewati oleh bala tentara dari Romawi, yang
akan membantu pasukan Balbek. Di antara pasukan Rafi bin Abdillah, ada tentara
penting bernama Chiban bin Tamim Ats-Tsaqafi (حبان بن تميم الثقفي). Rafi bin Abdillah
dan pasukannya menyerang kaum Arab Nashrani tetangga kota Balbek, yang tidak
mengajukan permohonan damai. Saat yang paling menyenangkan penduduk Balbek,
jika pasukan Muslimiin akan pergi meninggalkan kota untuk menyerang. Pasukan
Muslimiin ‘menjual barang-barang dengan harga murah’. Yang menambah penduduk
Balbek senang, karena mereka tidak pernah bohong, curang, atau aniaya.
Di masa perdamaian itu, ekonomi penduduk Balbek melonjak naik,
sehingga mereka berbahagia. Pasukan Muslimiin yang melindungi mereka dari luar
beteng, sangat menguntungkan secara ekonomi, hingga Harbis yang merasa belum
mendapatkan keuntungan ‘iri’.
Lautan Manusia
Pada waktu yang telah ditentukan, Harbis mengumpulkan rakyat di
Gereja kota yang sangat besar. Di pertengahan lautan jamaah Nashrani itu,
Harbis berkata pada para pedagang, “Kalian tahu sendiri bahwa sesungguhnya yang
telah ‘memprakarsai perdamaian’ ini adalah saya. Kini kalian menjadi
orang-orang kaya dan aman dari musuh, karena dijaga oleh kaum Arab di luar
beteng. Saya yang telah mengorbankan harta dalam jumlah banyak, demi
perdamaian ini. Bahkan demi ini semua, senjataku telah dirampas dan pelayanku
banyak yang mati terbunuh. Demikian pula orang-orang dan keluargaku. Yang
paling beruntung justru kalian, karena mendapat laba dan kekayaan yang banyak
dari kaum Arab! Betul kan?.”
Rakyatnya menjawab, “Betul,” menggemuruh. Banyak juga yang
berkata, “Yang tuan katakan semuanya benar, lalu apa keinginan tuan?.”
Harbis menjawab, “Saya sebagai penguasa kalian, ingin sekali
menarik harta, untuk mengganti sebagaian hartaku, yang telah kuserahkan pada
kaum Arab, untuk perdamaian ini.”
Mereka menjawab, “Maksudnya bagaimana?.”
Harbis menjawab, “Saya takkan memaksa kalian menyerahkan harta
kalian dalam jumlah banyak. Saya hanya ingin dalam kalian berjualan pada kaum
Arab, saya diberi sepersepuluh dari laba.”
Tak lama kemudian terjadi percekcokan antara yang setuju dan
yang menolak. Kericuhan makin memuncak higga membisingkan telinga. Ada suara
keras, “Hai kaumku! Beliau adalah raja kita yang telah melindungi kita dengan
mengorbankan harta dan dirinya! Beliau telah berkata jujur! Hormati dan
taatilah!.”
Mereka pulang setelah menyetujui permintan Harbis raja mereka.
Harbis mengangkat beberapa petugas yang akan menarik uang dari
para pedagang. Dan perintah agar orang-orangnya menarik uang dari para pedagang
selama 40 hari. Ternyata hasilnya sangat banyak. Hari-hari setelah itu
perekonomian rakyat tetap dalam keadaan melambung tinggi.
Harbis berkata, “Sungguh rakyatku bergembira, karena bisa
membeli apa saja. Sejak dulu mereka belum pernah mendapat rizqi sebanyak ini.”
Harbis mengumpulkan rakyat di Gereja besar di tengah kota, untuk
berkata, “Saya juga ingin berbahagia seperti kalian! Sepersepuluh yang kalian
berikan padaku belum seberapa, dibanding harta kekayaan yang kuserahkan pada
kaum Arab ‘untuk perdamaian ini!’ Tambahilah agar hartaku segera pulih seperti
dulu, dengan cepat! Saya juga telah rugi karena kehilangan senjata, dan
pelayan-pelayan saya terbunuh dalam peperangan kemarin.”
Karena Harbis bersikeras, kaumnya sama membantah dengan suara
keras pula. Karena orang-orang Harbis mengamuk membela dia, rakyat yang
berjumlah banyak sekali itu melawan dengan garang. Hiruk pikuk dan jeritan
serta gertakan, berceloteh keras mengusir sepi. Sejumlah rakyat membunuh dan
memutilasi orang-orang Harbis yang semena-mena pada mereka. Terjadi keributan
dan kericuhan berdarah ‘menggila’ menggemparkan kota.
Pasukan Muslimiin di luar beteng menyesal kenapa kebaikan mereka
justru berdampak kericuhan berdarah, walau tak tahu persis kejadian lengkapnya.
Mereka berkumpul untuk berkata di hadapan Rafi bin Abdillah pimpinan mereka,
“Yang mulia! Apakah kau tak mendengar suara gaduh, tangisan, dan teriakan keras
di dalam beteng?.”
Rafi menjawab, “Saya juga mendengar, tapi kita tidak bisa
berbuat banyak, karena kita tidak boleh masuk ke dalam beteng ini. Ini sudah
menjadi keputusan yang kita setujui bersama. Kita lah kaum yang paling berhak
menetapi aturan yang dibuat di hadapan Allah. Kalau mereka mau keluar dari
beteng, kita bisa menolong mereka.”
Keributan berdarah yang menggila di kota Balbek, berlangsung
lama. Rakyat tak mau lagi mengalah pada para pelayan raja yang semena-mena.
Korban kematian dari dua belah fihak makin banyak. Raja Harbis diserang dengan
garang oleh rakyat yang mestinya menghormat dan mentaati. Raja terkulai
bersimbah darah dan tewas, oleh kemarahan rakyatnya.
Tangisan, jeritan dan teriakan bersaut-sautan. Sejumlah rakyat
Balbek membuka pintu gerbang untuk keluar dan menjumpai Rafi bin Abdillah.
Semakin lama jumlah mereka yang keluar semakin banyak sekali. Di hadapan Rafi
bin Abdillah mereka berkata, “Kami memohon Pertolongan Allah dan kepedulian
tuan yang mulia.”
Rafi bin Abdillah mendengarkan mereka berkisah mengenai
perlakuan raja mereka, dan keributan yang telah terjadi di dalam beteng. Rafi
bin Abdillah berkata, “Kami tak mungkin menyerang Harbis, karena ‘perjanjian
damai’ yang telah kita sepakati bersama.”
Mereka menjawab, “Kami telah membunuh dia dan semua pelayannya.”
Rafi bin Abdillah dan pasukannya terperangah dan terheran-heran,
saat mendengar kaum Balbek berkisah ‘tragedi berdarah’ dan mutilasi gila-gilaan
itu.
Rafi bin Abdillah bertanya, “Lalu apa yang kalian kehendaki?.”
Mereka berkata, “Silahkan masuk ke kota kami. Kami telah
memperbolehkan tuan dan pasukan tuan memasuki kota kami.”
Rafi bin Abdillah menjawab, “Kami tidak berani masuk tanpa
seidzin yang mulia Abu Ubaidah.”
Rafi bin Abdillah menulis ‘surat permohonan idzin’ masuk kota
Balbek, pada Abu Ubaidah, dan memberitakan tragedi berdarah itu dengan lengkap.
Abu Ubaidah mengirimkan ‘surat idzin memasuki kota Balbek’ untuk
Rafi bin Abdillah dan pasukannya. Rafi dan pasukannya memasuki kota Balbek.
Arak-arakan Abu Ubaidah dan pasukannya yang panjang sekali telah mendekati
kota Chimsh (Homs). Tepat di kota Az-Zarra’ah (الزراعة), Abu Ubaidah berhenti
untuk istirahat. Dia perintah agar Maisarah bin Masruq Al-Absi (ميسرة
بن مسروق العبسي) memimpin barisan paling depan, berjumlah 5.000 pasukan berkuda.
Panji yang dibawa berwarna hitam, diberi gambar berwarna putih. Mereka memacu kuda
menuju kota Chimsh, untuk bergabung lagi pada Khalid bin Al-Walid.
Khalid dan pasukannya menyambut kedatangan rombongan pertama
yang dipimpin oleh Maisarah bin Masruq Al-Absi, dengan mengucapkan salam,
bersalaman dan berpelukan.
Abu Ubaidah perintah agar Dhirar bin Al-Azwar memimpin 5.000
pasukan berkuda, rombongan kedua. Arak-arakan panjang itu berlari kencang
menuju kota Chimsh.
Di belakang mereka Amer bin Ma’dikarib dan pasukan berkuda yang
panjang sekali.
Paling belakang Abu Ubaidah dan pasukannya yang panjang juga.
Sebelum memasuki kota Chimsh, Abu Ubaidah berdoa, “Ya Allah,
cepatkanlah penaklukan kota ini untuk kami, dan hinakanlah kaum musyrik di
dalamnya. Aamiin.”
Abu Ubaidah telah bergabung lagi dengan Khalid, di kota Chimsh.
Pekerjaan pertama memperbaharui surat perjanjian damai dengan penduduk Chimsh,
yang penguasanya juga bernama Harbis. Kalimat surat itu berbunyi:
بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Abu Ubaidah di
Syam, wakil Umar bin Al-Khatthab Amirul Mu’miniin RA
Adapun selanjutnya:
Sungguh Allah Ta’ala telah membuat negeri-negeri kalian takluk untuk kami.
Kalian jangan bangga oleh besarnya kota dan kokohnya beteng kalian, ataupun
jumlah pasukan kalian yang banyak sekali. Jika serangan kami telah melanda,
kota kalian ini hanya seperti periuk berisi daging, untuk disantap
beramai-ramai, oleh sejumlah pasukan. Pasukan yang kelaparan telah
menunggu-nunggu masaknya. Kami mengajak kalian menuju agama yang diridhoi oleh
Tuhan kami. Jika kalian mau mengabulkan ajakan kami, kami akan segera memberi
guru yang akan mengajar agama pada kalian, lalu kami pergi meninggalkan kalian.
Kalau kalian membangakang ‘tidak mau Islam’, kami mewajibkan kalian membayar
pajak. Jika kalian membangkang, berarti kita harus berperang untuk menentukan Keputusan
Tuhan. Dialah Penentu keputusan paling baik.
Surat dilipat lalu diserahkan pada lelaki Nashrani yang pandai
bahasa Arab. “Bawalah ke kota Chimsh! Untuk diserahkan pada penguasanya! Dan
suruhlah agar menjawab saya secepatnya!” Perintah Abu baidah.
Lelaki itu membawa surat Abu Ubaidah dan berlari dengan kuda
secepat-cepatnya. Ketika telah mendekai beteng kota Chimsh, pasukan Chims di
atas beteng menodongkan anak panah dan batu-batuan ke arahnya. Dia ketakutan
dan berteriak dengan bahasa Romawi, “Tahanlah panah dan batu kalian! Saya
lelaki ditaklukkan yang membawa surat penting dari kaum Arab itu!.”
Beberapa orang menurunkan tali agar diikatkan pada tubuh lelaki
pembawa surat. Mereka mengangkat ke atas agar lelaki itu memberikan surat, pada
bathriq mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar