Walau telah meraih kemenangan yang sangat besar, tetapi hati kaum Muslimiin tetap juga berdebar-debar, karena sadar bahwa ‘tak lama lagi’ akan berhadapan dengan pasukan Wardan yang sangat banyak. Tapi bagi mereka ‘mati untuk menegakkan Agama Allah’ adalah kemuliaan berbuah surga. Mereka menyadari bahwa mati syahid, justru mati yang paling enak. Walau secara lahiriah sangat mengerikan, namun sebetulnya rasanya justru hanya seperti dicubit. Selanjutnya mendapat Fasilitas dari Allah yang melimpah. Justru orang yang mati biasa itulah yang sangat sakit. Lebih sakit daripada jika ‘seluruh kulitnya’ dikelupas.
Al-Qur’an melukiskan bahwa hidup berbahagia adalah hidupnya kaum Mati Syahid di dalam surga.
Allah berfirman:
“Justru mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi fasilitas. Mereka berbahagia karena Pemberian Tuhan mereka,
berbentuk Kefadholan-Nya. Bahkan mereka mengirim berita pada kaum di belakang
mereka, yang belum menyusul mereka, bahwa: ‘tak ada lagi kekhawatiran
menimpa mereka, dan mereka takkan susah’." [1]
Khalid dan pasukannya telah
berserah pada Allah sepenuhnya, dengan harapan ‘Allah memberi Pertolongan’ yang
lebih besar lagi. Mereka bergerak dengan penuh semangat.
Al-Waqidi menulis dalam kitabnya yang masyhur, Futuchus Syam :
Al-Waqidi menulis dalam kitabnya yang masyhur, Futuchus Syam :
Dari Sinan bin Amir Al-Yarbu’i:
Saya pernah mendengar Chabib bin
Mush’ab (حبيب
بن مصعب) berkata, “Ketika
pasukan Petrus telah berhasil melarikan wanita-wanita Arab, yang di dalamnya
ada saudara perempuan Dhirar, Petrus membawa mereka turun ke sungai. Dan
berkata ‘saya akan di sini terus hingga tahu pasti, nasib saudara laiki-laki
saya (Paulus)’.
Beberapa orang mengecek keadaan
para wanita tawanan. Mereka, tak ada satupun yang menarik bagi Petrus,
kecuali Khaulah bintu Al-Azwar (خولة
بنت الأزور) saudara perempuan
Dhirar. Petrus berkata ‘yang ini hanya untuk saya. Tak boleh seorangpun
mengambil perempuan ini!’.
Semua pasukan menjawab ‘memang dia
khusus untuk kau’.
Akhirnya semua berebut
wanita-wanita Muslimaat selain Khaulah. Dan berkata ‘yang ini untuk
saya’.
Harta hasil perampokan juga
dibagi.
Mereka tinggal di sarang itu,
sambil sekali waktu, beberapa orang diutus agar mengecek keadaan Paulus dan
pasukannya.
Ada beberapa wanita teman Khaulah
yang ditawan, berasal dari Himyar dan Tubak. Mereka kaum bangsawan keturunan
Amaliqoh dan Tababi’ah (Tubak), yang terlatih naik kuda. Walau usia mereka
tergolong telah tua, namun masih memiliki kekuatan dan keberanian.
Khaulah berkata, “Hai putri-putri
Himyar penerus kaum Tubak! Masyak kalian sudi akan ditiduri kaum Romawi? Itu
berarti anak kalian nantinya menjadi budak kaum Musyrikiin. Kemanakah
keberanian bangsa kalian yang selama ini menjadi sejarah yang diperbincangkan manusia.
Hai kaum Arab dan siapa saja yang menjadi tawanan seperti saya! Kalau kalian
tidak memiliki keberanian, berarti bukan lagi sebagai golonganku! Saya berpandangan
lebih baik mati terbunuh! Dari pada ditawan yang akhirnya ditiduri dan beranak!
Yang berarti terkena musibah beruntun! Daripada menjadi pelayan anjing-anjing
Romawi!.”
Teman-teman tawanan Khaulah mendengarkan dan membenarkan ucapan Khaulah. Keberanian mereka menyala dan berkobar-kobar.
Teman-teman tawanan Khaulah mendengarkan dan membenarkan ucapan Khaulah. Keberanian mereka menyala dan berkobar-kobar.
[1] {بَلْ
أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ () فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ
أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ} [آل عمران: 169، 170].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar