Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2012/03/09

Pasukan Tempur Hiraqla Dikalahkan

Related image



Mengirimkan pasukan tempur berjumlah satu juta enampuluh ribu, pada tahun sekitar 15 Hijriah tidaklah mudah. Hanya raja terbesar sejagad bernama Hiraqla yang bisa melakukan demikian. Ini bukan khayalan, tetapi merujuk kitab Futuchussyam karya Al-Waqidi yang sering dirujuk oleh Muarrikhiin (Ulama Sejarah) karena shahih.

Awalnya Hiraqla hanya mengirimkan 800.000 pasukan berkuda untuk menggempur kekuatan Islam yang dipimpinan oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrach, yang didampingi oleh Khalid bin Walid RA, di dalam Perang Yarmuk itu. Tetapi lalu ditambahi lagi hingga menjadi satu juta enampuluh ribu, karena dua pertimbangan:
1.     Tidak yakin bahwa jumlah pasukan sebanyak itu akan mampu menaklukkan 41.000 pasukan Muslimiin.
2.     Arak-arakan Pasukan putra Hiraqla bernama Qusthanthin yang menyerbu pasukan Muslimiin dari belakang, diobrak-abrik oleh pasukan elit Khalid yang bernama Jaisyuzzachf  (Pasukan Obrak-Abrik).

Hiraqla yakin bahwa pasukan yang jumlahnya banyak sekali, dan telah terlatih itu, akan kalah. Karena telah membaca kitab kuno bahwa, kerajaannya akan direbut oleh umat Muhammad SAW. Oleh karena itu, ketika lautan pasukan tersebut telah mengalir menuju Yarmuk, Hiraqla berbisik Pasukan kita tetap akan kalah pada Panglima Besar yang memimpin mereka.


Panglima Besar Raja Mahan Gundah 

Mahan kembali menuju lautan pasukan yang telah bertambah lebih dari sejuta pria. Dalam dewan perang itu, sejumlah pejabat tinggi, para Bathriq, para Rahib, dan para Ulama Nasrani, berkumpul untuk menemani makan Mahan. Di pesta mewah yang dihadiri oleh pejabat tinggi itu, Mahan tak menyentuh makanan sama sekali. Hatinya gundah karena mimpi yang dialami dan disampaikan dengan berbisik oleh bathriq itu, terus hadir dalam benaknya.

Sebetulnya sejak awal, Mahan lebih senang jika tidak ditunjuk sebagai Panglima Besar, yang harus memimpin Perang Akbar (dalam Hadits disebut Malhamah). Dia lebih senang berdamai dengan kaum Arab, meskipun harus membayar pajak dan hina. Tetapi hampir semua petinggi militer memohon, agar peperangan melawan kaum Arab dilaksanakan. Sejumlah petinggi militer dan tokoh besar agama, memberanikan diri mendekati, untuk bertanya, “Apa yang membuat yang Mulia tidak berselera makan? Kalau karena pasukan tuan berjumlah banyak, yang gugur, besok kita akan mengamuk agar menang. Memang terkadang perang dimulai kalah duluan. Kalau pasukan kita telah menyerbu dengan serempak, pasti mereka akan tewas semuanya" pada Raja Mahan.
Perkataan Mahan sangat berwibawa, “Saya juga yakin kalian bisa menang. Karena di antara kalian, ada yang tidak memurnikan agama dan berbuat aniaya, maka pasukan Arab bisa mengalahkan pasukan kita.”

Lelaki bertangan buntung menyela mengejutkan, “Yang mulia, saya telah hidup lama, beragama seperti tuan. Saya pemilik 100 ekor kambing yang digembala oleh anak laki-laki saya. Seorang Bathriq bawahan tuan, telah memukulkan tiang pagar rumahnya, pada kambing saya, untuk dirampas. Untuk memenuhi kebutuhannya. Pasukan si Bathriq itu menyerang sisa-sisa kawanan kambing saya yang sedang merumput. Istri saya melaporkan pada anak laki-laki saya, bahwa semua kambing dirampas oleh pasukan Bathriq. Si Bathriq aniaya itu menangkap istri saya untuk dimasukkan ke rumahnya. Karena lama tidak keluar, anak laki-laki saya mendekati rumah itu. Ternyata si Bathriq itu memperkosa istri saya. Anak saya berteriak minta tolong, namun justru dihajar untuk dibunuh. Saya datang untuk menyelamatkan anak dan istri, namun saya justu ditebas dengan pedang. Tangan saya putus ketika menangkis pedang itu. Lihat ini potongan tangan saya.”
Lelaki itu menunjukkan potongan tangannya pada Raja Mahan.
Kemarahan Mahan meledak menakutkan hadirin. Pada lelaki yang tergolong kaum Taklukan beragama Nashrani itu, Mahan bertanya, “Kau tahu Bathriq mana yang telah menganiaya kau?!.”  
Lelaki itu berkata, “Ini orangnya!” Sambil menunjuk seorang.
Mata Mahan melotot mengamati si Bathriq dengan marah. 

Si Bathriq marah karena dilaporkan pada atasannya. Sejumlah Bathriq juga marah karena membela atasan mereka dan karena juga dilaporkan. 
Lelaki malang  itu dihajar oleh kawanan Bathriq. Meskipun telah terkulai dan bermandi darah, lelaki itu ditebas pedang, bahkan dipotong-potong oleh kawanan Bahriq yang kesetanan.  

Mahan menyaksikan kekejaman itu dengan matanya. Kemarahannya memuncak dan meledak-ledak, “Kalian hina! Demi kebenaran Al-Masih kalian akan rusak! Kalian ingin mengalahkan pasukan Arab, namun perbuatan kalian memalukan! Tak takutkah kalian jika besok di hari Kiamat dikisos? Allah juga akan menindak dan mengambil kebaikan kalian, diberikan pada kaum yang memerintahkan kebaikan dan menghalang-halangi kemungkaran? Demi Allah derajat kalian di hadapanku, seperti anjing-anjing! Kalian akan merasakan akibat penganiayaan kalian ini semuanya, hingga kalian akan mendapatkan kehinaan!.”

Mahan berpaling dari mereka dengan wajah dan mata merah. 
Majlis itu telah sepi, tinggal seorang bathriq yang mendekat dan berbicara pada Mahan, “Yang mulia, demi Allah pasukan ini akan bernasib seperti yang tuan katakan. Kita akan kalah. Sungguh semalam saya telah bermimpi melihat sejumlah lelaki turun dari langit, berkendaraan kuda kelabu. Mereka mengelilingi pasukan Arab, dengan membawa pedang istimewa yang terhunus. Kita berada di dekat mereka. Pasukan kita yang keluar dari barisan, ditebas pedang oleh mereka, hingga kebanyakan pasukan kita tewas.”
Mahan terperangah karena sebelumnya juga ada seorang Bahriq, yang bermimpi seperti itu. Mulai dari sejak itu hingga malam kelam, dia kesulitan tidur karena berpikir keras, mengenai yang harus dilakukan atas pasukan Muslimiin.

Di pagi yang gelap itu, barisan pasukan Muslimiin telah rapi. Mereka melihat pasukan Romawi bimbang dan grogi. Keyakinan mereka Akan Menang semakin besar menguat. Walau begitu Abu Ubaidah RA mengingatkan, “Biarkan, jangan diserang! Menyerang orang lemah, kelakuan orang rendah!.

Empat raja bawahan Raja Mahan berkumpul:
1.     Raja Qanathir.
2.     Raja Jarjir.
3.     Raja Dirjan.
4.     Raja Qurin.
Empat raja itulah yang diperintah oleh Raja Mahan, agar memimpin pasukan berjumlah lebih sejuta. Mereka berempat menunggu kehadiran Raja Mahan yang akan dimintai Ijin Segera Menyerang, atas pasukan Arab. 
Jawaban Mahan mengejutkan, “Bagaimana mungkin saya akan menyerang kaum, dengan pasukan Aniaya? Jika kalian hebat! Seranglah mereka untuk membela kerajaan dan menyelamatkan wanita kalian!.”
Mereka menjawab, “Hari ini kami bertekat akan menyerang mereka. Demi kebenaran Al-Masih! Mereka semua, akan kami sapu dari kota Syam! Meskipun untuk itu, kami harus mati! Sumpah dan utuslah kami sekarang juga, agar menyerang mereka! Jika tuan ingin melihat siapa kami berempat yang lebih lihai dalam memimpin perang, utuslah kami bergantian! Agar bisa dinilai. Jika pasukan Arab kalah, harta mereka akan kami rampas untuk dikembalikan lagi pada tempat semula. Hanya untuk sementara peperangan diistirahatkan, biar pasukan Arab sengsara.”  
Mahan berkata, “Ya! Usulan kalian saya terima. Sekarang istirahatlah hingga saya kirim surat pada Raja Hiraqla mengenai rencana ini.”

Amma ba’du: Yang mulia, saya berdoa semoga Allah menolong tuan dan dan memberi kejayaan. Tuan telah mengutus saya memimpin pasukan yang jumlah mereka tidak bisa dihitung. Saya telah bergerak menuju halaman pasukan Arab untuk memberi makanan, namun mereka tidak mau menerima. Saya telah minta damai, namun mereka tidak mau. Saya telah menyuap agar mereka pergi, namun mereka bersikeras. Sungguh pasukan raja grogi sekali melihat mereka. Saya takut jika rasa grogi ini berkembang, karena pasukan kami telah melakukan sejumlah penganiayaan. Saya telah mengumpulkan orang-orang pandai demi abadinya kerajaan tuan, untuk menyatukan tekat bulat. Akhirnya kami sepakat:
1.     Akan menyerbu mereka dengan serempak, dengan serbuan bertubi-tubi, sehari penuh.
2.     Kami tidak boleh lari, meskipun harus mati menerima Keputusan Allah. Jika Allah nanti membuat musuh menglahkan kami, maka terimalah keputusan Allah itu. Sadarilah bahwa dunia pasti akan menjauhi tuan. Jangan menyesali yang lepas dari kekuasaan tuan. Jangan merasa memiliki sepenuhnya pada yang tuan kuasai. Sekarang silahkan tuan mengungsi ke kastil dan negeri tuan yang di Qusthanthiniyah (القسطنطينية). Lindungilah rakyat tuan dengan baik, niscaya Allah berbuat baik pada tuan. Sayangilah rakyat tuan, niscaya Allah menyayang tuan. Merendahlah karena Allah, niscaya Allah mengangkat derajat tuan. Allah tidak senang kaum Sombong. Sebetulnya pimpinan Arab bernama Khalid telah saya panggil untuk dibunuh, tapi akhirnya saya menyadari bahwa pelaku kecurangan justru akan celaka. Akhirnya saya menyadari bahwa pasukan Arab akan menang, karena menegakkan Keadilan dan Kebenaran.
والسلام


Surat dilipat, lalu diberikan sejumlah orang, agar diantarkan pada Raja Hiraqla.

Telah seminggu peperangan istirahat. Abu Ubaidah menyuruh sejumlah mata-mata, agar mempelajari penyebab pasukan Romawi tidak melancarkan serangan.
Selama sehari semalam mata-matanya pergi ke kubu Romawi. 
Mata-mata melaporkan, “Karena Raja Mahan telah kirim surat pada Raja Hirqla, dan sedang menunggu jawabannya.”
Khalid berkata, “Itu berarti Mahan takut kita! Sekarang mari kita serbu!.”
Pasukan Muslimiin menyaksikan Abu Ubaidah RA menjawab, “Jangan tergesa-gesa! Tergesa-gesa pengaruh Syaitan.”
Sejak dulu, Abu Ubaidah RA sangat penyabar, dan mementingkan kesopanan. 

Setelah istirahat perang telah delapan hari, Mahan memanggil lelaki dari Lakhm (لَخْم) untuk diperintah, “Menyusuplah pada kaum Arab itu! Untuk mengumpulkan berita penting yang harus kau laporkan!.”

Mata-mata telah masuk ke pertengahan pasukan Muslimiin. Mengumpulkan berita, selama sehari semalam. Tugas bisa dilakukan dengan baik, karena kaum Muslimiin tidak ada yang mencurigai padanya. 

Ternyata kaum Muslimin mementingkan kedamaian. Yang mereka amalkan: shalat, membaca Al-Qur’an, dan bertasbih. Tidak ada pertikaian maupun penganiayaan. Dia memberanikan diri mendekati Abu Ubaidah RA. Ternyata panglima perang itu justru kelihatan lemah. Terkadang Abu Ubaidah hanya duduk, terkadang berbaring. Jika waktu shalat tiba, Abu Ubaidah berwudhu; para
Muadzin mengumandangkan Adzan. Abu Ubaidah mengimami shalat mereka.
Mata-mata heran ketika melihat gerakan shalat Abu Ubaidah diikuti oleh jamaahnya. Lalu berkata dalam hati, “Ini ketaatan baik yang akan berdampak kemenangan.”

Mata-mata kembali menghadap Mahan untuk melaporkan, “Yang mulia! Ternyata mereka berpuasa di siang hari, shalat di malam hari. Memerintahkan kebaikan, dan melarang perbuatan mungkar. Kalau malam seperti Rahib, kalau siang seperti singa jantan. Mereka menegakkan hukum. Seandainya seorang tokoh mencuri, pasti telah dipotong tangannya. Kalau ada yang zina, pasti telah dirajam. Nafsu mereka dipaksa agar mengikuti kebenaran. Panglima mereka justru seperti orang yang tak berdaya, tapi sangat ditaati. Yang menarik perhatian, ketika mereka shalat:
Jika pimpinannya berdiri; semua berdiri. Jika duduk; semua duduk. Hobi mereka justru berperang, cita-cita mereka Mati Syahid. Ternyata mereka tidak segera menyerbu, karena menunggu serangan kita.

Mahan berkata, “Mereka ada kemungkinan menang. Namun saya akan melancarkan tipu muslihat atas mereka.”
Mata-mata bertanya, “Apa rencana tuan?.”
Mahan menjawab, “Bukankah kau sendiri yang telah berkata ‘mereka takkan mendahului menyerang kita?’ Agar kita berbuat aniaya?.”
Mata-mata menjawab, “Betul.”
Mahan berkata, “Saya takkan menyerang mereka, untuk mengulur waktu, agar mereka lengah. Saat itulah kita akan meyerang mendadak.”


Mahan mengumpulkan para pejabat tinggi, untuk membagikan panji dan Salib. Membagi panji dan Salib sejumlah 120, memakan waktu lama. Tiap tokoh yang diberi Salib, memimpin 10.000 pasukan, yang berderet memanjang ke belakang.
Qanathir raja yang pangkatnya sama dengan Raja Mahan, menerima Salib pertama kali. Dia ditugaskan memimpin pasukan sebelah kanan.
Salib kedua diberikan pada Raja Dirjan, yang diperintah agar memimpin kaum Armenia, Najed, Nubia, Rusia, dan Shaqaliqah.
Salib ketiga diberikan pada putra saudara perempuan Mahan, yang diperintah memimpin kaum Perancis, Hiraqliah, Qayashirah, Yarful, dan Dauqas.

Kepada Raja Jabalah yang memimpin kaum Nashrani dari Lakhm, Judzam, Ghassan, dan Dhabbah, Raja Mahan memberi panji dan Salib. Dan perintah jika terjadi peperangan, agar Jabalah yang menyerang pertama kali.
Pada Jabalah, Mahan berpesan, “Kalian kaum Arab; musuh kita kaum Arab. Yang mematahkan besi, besi yang lebih kuat.”
Lalu Mahan membagi panji pada masing-masing barisan.

Ketika fajar telah menyingsing, dan ufuk timur memerah, tugas Mahan telah selesai. Selanjutnya dia perintah agar dibuatkan bangunan darurat, di atas gunung. Untuk mengawasi pasukan Muslimiin dan pasukan Mahan sendiri. Tempat itu dijaga oleh 1.000 pasukan berkuda di kanannya, yang memanggul pedang terhunus. Di sebelah kiri tempat itu, juga dijaga pasukan berkuda, yang berjumlah sama, juga berpedang terhunus. Hanya pasukan berkuda yang di kiri, para pejabat militer yang duduk di atas kursi.  
Mahan berkata, “Pasti pasukan Arab, benci melihat kehebatan kita ini! Persiapan kita lengkap, sedangkan mereka tak memiliki yang patut dibanggakan! Jika kalian melihat mereka lengah! Seranglah dengan serempak dari segala penjuru! Jumlah mereka sangat sedikit dibanding jumlah pasukan kita!.”


Pagi indah datang lagi; ufuk timur, disinari oleh sang fajar; seorang lelaki menyerukan iqamat. Abu Ubaidah yang tak tahu bahwa keamanannya terancam itu, mengimami shalat subuh. Orang yang selalu menyerahkan urusannya pada Allah itu, setelah membaca Al-Fatichah, membaca surat Al-Fajr. Dalam Surat Al-Fajr yang agung itu Allah menanyakan pada Nabi SAW mengenai:
1.     Apakah beliau pernah mengerti Kisah Kaum Ad (Iram) yang kekuatannya, mutlak tak ada manusia yang membandingi.
2.     Kaum Tsamud yang mampu memotong batu besar di jurang.
3.     Kaum Firaun yang memiliki pasak-pasak siksa. Kejahatan tiga kaum itu telah membuat sejumlah penduduk negara menderita. Akhirnya Tuhan Nabi menuangkan Cambuk Siksa atas mereka.
Lalu Allah menjelaskan, “Sungguh Tuhanmu benar-benar dalam keadaan waspada.”

Bacaan yang indah menggetarkan itu aneh sekali. Dalam kekhusukan yang penuh itu, Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin terkejut oleh suara misterius, “Kalian akan menaklukkan lawan! Demi Tuhan kejayaan! Siasat yang mereka lancarkan takkan bermanfaat sedikikitpun! Allah memberi kabar gembira ‘kalian akan menang’ melalui Surat yang dibaca oleh Imam kalian ini!.”

Abu Ubaidah dan pasukannya menjalankan shalat dengan kekhusukan maksimal. Di rakaat kedua Abu Ubaidah membaca Al-Fatichah dan Surat As-Syams. Pembacaan yang dilantunkan dengan memukau itu menggetarkan semua Jamaah shalat subuh. Surat As-Syams berisi Sumpah Allah:
Demi matahari dan terangnya
Demi bulan ketika mendekatinya.
Demi siang apabila menampakkannya
Demi malam ketika menutupinya
Demi langit dan yang membangunnya.
Demi bumi dan yang menyempurnakannya
Demi jiwa dan yang menyempurnakannya
Lalu memberikan ilham jelek dan dan taqwanya
Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya
Dan sungguh rugi orang yang membuat dirinya durhaka
Kaum Tsamut telah mendustakan karena kedurhakaan mereka
Ketika itu lebih celakanya mereka berbuat aniaya
Namun Rasulullah berkata pada mereka
Perhatikan Unta Allah ini dan minumannya
Namun mereka mendustakan dia dan menyembelih unta
Akhirnya Tuhan mereka menghancurkan meratakan mereka
Dan tak mengkhawatirkan akibat mereka.

Lagi-lagi Abu Ubaidah dan pasukannya yang sedang khusuk di dalam shalat subuh, terkejut oleh suara, “Kalimat harapan itu sempurna! Dan tindakan akan segera terwujud. Ini sebagai pertanda yang pasti.”

Seusai shalat subuh pasukan Muslimiin riuh. 
Abu Ubaidah bertanya, “Apakah kalian mendengar kalimat tadi?.”
Mereka menjawab, “Mendengar” dengan serempak.
Ada yang berkata, “Kami mendengar perkataan dalam dua rekaat (‘begini begini’).”
Abu Ubaidah berkata, “Ini Bisikan Kemenangan! Berbahagialah menyambut Petolongan Allah! Demi Allah, Allah akan menolong kalian dengan mengujankan Cambuk Adzab atas mereka, sebagaimana dulu Allah pernah mengadzab bangsa kuno yang durhaka.”

Mereka memperhatikan Abu Ubaidah berkata, “Semalam saya bermimpi yang saya takwilkan bahwa, perang ini akan kita menangkan. Karena kita akan dibantu oleh para Malaikat.”
Muslimiin sama bertanya, “Mimpi itu bagaimana? Semoga Allah berbuat baik pada tuan.”
Abu Ubaidah berkata, “Dalam mimpi itu, saya melihat kita di dekat musuh. Tiba-tiba kita dikerumuni oleh sejumlah pasukan berwajah tampan, berbusana putih. Busana mereka membiaskan cahaya yang menyilaukan mata. Mereka bersurban hijau, membawa panji-panji berwarna kuning, berkuda kelabu. Mereka berkata ‘kalian mampu mengalahkan mereka. Allah akan menolong kalian’.

Sejumlah pasukan kita dipanggil untuk diberi minum dari gelas yang mereka bawa. Begitu pasukan kita menggempur, pasukan Romawi porak-poranda dan berlarian.”  

3 komentar:

  1. Mungkin suara misterius itu berasal dari malaikat chafadlah yang mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Karena Abu Ubaidah dan kaumnya sangat dekat pada Allah, maka diberi inayah oleh Allah sehingga bisa mendengarkan seruan misterius itu.

    BalasHapus
  2. Himmah jihad fisabilillah,dengan taqwa sebenar²nya taqwa, mk tiada musuh yg sanggup menghadapi org² muslim yg haq.

    BalasHapus