(Bagian ke-166 dari seri tulisan
Khalid bin Walid)
Jabalah perintah, “Pergilah ke Yatsrib, untuk membunuh Umar![1] Jika bisa membunuh dia, kau akan saya beri yang
kau minta” Pada Watsiq bin Musafir Al-Ghassani (واثق بن مسافر الغساني) yang sangat pemberani, yang berpengalaman perang di mana-mana.
Watsiq bergegas melaksanakan tugas, memacu kuda menuju Madinah.
Watsiq bergegas melaksanakan tugas, memacu kuda menuju Madinah.
Dia sampai di Madinah pada malam hari.
Pagi itu Umar RA mengimami shalat subuh lalu berdoa. Lalu keluar dari kota Madinah, mencari berita tentang Pasukannya yang Berjihad, di negeri Syam.
Watsiq merasa beruntung karena tidak diketahui bahwa dia
bersembunyi di atas pohon yang berada di kebun milik Ibnu Dachdach Al-Anshari (ابن الدحداح الأنصاري). Cabang
pohon yang diinjak di bawahnya, berdaun lebat, dipergunakan
bersembunyi.
Ketika pagi menyingkir oleh datangnya siang yang panas, Umar pergi sendirian mendekati pohon yang dipanjat oleh Watsiq, lalu tidur di tempat teduh itu. Ketika tidur Umar makin lelap, Watsiq menghunus belati dari sarungnya, sambil turun untuk membunuh.
Watsiq terkejut ketakutan oleh datangnya singa jantan sebesar sapi dewasa, melindungi Umar dari serangannya. Umar RA dijaga dan dijilati telapak kakinya, oleh singa-singa. Hingga dia bangun dari tidurnya. Watsiq ketakutan dengan mata terbelalak lalu turun, setelah singa besar itu pergi.
Dengan penuh hormat Watsiq datang untuk
mencium tangan Umar RA. Dia berkata, “Tuan telah menjadi pimpinan yang adil,
oleh karena itu pasti aman. Demi Allah, Tuan dilindungi oleh singa besar dan
para malaikat. Bahkan jin-jin pun mengenal Tuan.”
Lalu bercerita tentang Yang Disaksikan, selama dia mengintai di atas pohon. Dan menyatakan masuk Islam. [2]
Lalu bercerita tentang Yang Disaksikan, selama dia mengintai di atas pohon. Dan menyatakan masuk Islam. [2]
Di Biara Qisan, Hiraqla menyumpah dengan berteriak, agar pasukannya takkan berlari dalam memerangi kaum Arab. Mereka juga disumpah agar sanggup tewas di dalam perang yang dianggap Suci itu. Dengan suara menggemuruh mereka mengikarkan sumpah, “Kami akan melawan lawan, meskipun harus tewas.”
Arak-arakan pasukan sangat panjang itu meninggalkan Hiraqla untuk berperang. Salib-Salib gemerlapan dinaungkan di atas kepala tokoh-tokoh. Para rahib dan ulama Nashrani membaca Injil dengan khidmat. Derap kaki kuda mereka bergema memenuhi ruangan yang sangat luas.
Arak-arakan pasukan Muslimiin telah berbaris rapi mengikuti pimpian mereka masing-masing. Panji mereka berkibar-kibar seakan-akan menari dengan bahagia. Rabiah bin Mamar yang terkenal pandai menyusun syair, diperintah oleh Abu Ubaidah, “Hai Rabiah! Ucapanmu lebih tajam daripada anak panah! Mustajab untuk menggerakkan jihad kaum Muslimiin! Nasehatilah agar mereka berjihad!.”
Rabiah maju ke depan untuk meneriakkan
syairnya:
Hai semuanya! Kapan lagi kalian akan
menunggu
Seranglah dengan senjatamu
Pembawa arwah telah beterbangan di atas
kita
Dari Tuhan kita
Kemanapun kalian berlari takkan
Mampu menghindari kematian
Meskipun bersembunyi di dalam perlindungan
Pasukan Romawi yang pertama kali keluar dari barisan, menantang perang, Nastarus bin Rubil (نسطاروس بن روبيل). Di tengah medan perang, dia menantang perang dengan gagah berani.
Yang menghadapi tantangannya, Damis Abul-Haul yang sangat pemberani, dan gagasan cemerlangnya telah berhasil membuat negeri Chalab (Aleppo) ditaklukkan oleh pasukan Arab. Sayang dalam perkelahian seru itu, kuda Damis jatuh dan Damis terpelanting, punggungnya membentur tanah.
Nastarus kembali ke medan perang, disambut oleh Addhachak bin Chassan Atthai (الضحاك بن حسان
الطائي),
yang wajah dan gayanya mirip Khalid.
Dalam peperangan seru, Nastarus melawan Addhachak itu, ada pasukan
Anthakiyah yang telah berkali-kali melihat Khalid. Dia menyangka Addhachak
adalah Khalid.
Dia berkata, “Jagoan mereka yang telah
merebut beberapa wilayah kita,
telah muncul melawan jagoan kita.”
Kaum Anthakiyah berdatangan banyak sekali, untuk menyaksikan
Addhachak yang dikira Khalid. Nama Khalid sangat terkenal di negeri Anthakiyah, hingga
orang-orang yang berjubel menonton perkelahian berdarah itu makin melaut. Bahkan pasukan berkuda
Anthakiyah terhalang oleh penonton
yang berjubel makin banyak. Tali-tali panggung kehormatan Nastarus, putus oleh arus penonton. Bahkan kursi
kehormatannya juga rusak, karena
terinjak-injak. Panggung tinggi itu jika
runtuh, bisa menewaskan orang
banyak.
Perhatian kaum Antakiyah tertuju pada Addhachak dan Nastarus yang berperang. Hanya mereka lebih memperhatikan dan
berharap semoga Nastarus menang.
Ada tiga orang Anthakiyah yang tidak digubris oleh penonton; ketika minta tolong membenahi kayu penyangga, agar panggung kehormatan Nastarus tidak roboh. Penonton lebih senang bisa melihat Addhachak yang dikira Khalid; daripada menolong membenahi panggung tinggi yang hampir roboh. Jalan satu-satunya, mereka bertiga minta, “Tali yang mengikat kau, akan kami lepas sebentar, agar kau menolong membenahi letak kayu penyangga ini. Agar panggung ini tidak roboh dan menewaskan orang banyak? Mau kan? Tapi setelah itu, kau kami ikat lagi? Kalau yang mulia Tuan Nastarus telah datang, kami akan memohon agar kau dilepaskan” pada Damis yang segera menjawab, “Saya mau.”
Damis dilepaskan, lalu dua tangannya menumbukkan dua wajah orang yang telah melepaskan tali pengikatnya. Yang satu terkejut saat melihat dua temannya roboh dan sakarat, setelah wajah mereka berdua remuk. Dia makin terkejut oleh gerakan Damis yang tahu-tahu menyakitkan, membuat gelap dan menewaskan dirinya.
Damis bergerak cepat mencari dan membuka
peti, mengambil baju Nastarus. Dan bergerak cepat mencari
dan menaiki kuda yang bagus. Lalu mengambil senjata dan memberi tailalat wajah. Dia mengambil pedang dan harta Nastarus, lalu memacu kuda, mendekati komandan
pasukan Nashrani bernama Chazim bin Abdi Yaghuts (حازم بن عبد يغوث).
Yang benar: Mereka menyebut Madinah, “Yatsrib.”
BalasHapus