Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2011/12/09

KW 161: Dakwah ke Negri Athakiyah



(Bagian ke-161 dari seri tulisan Khalid bin Walid)

Kemarahan Hiraqla meledak. "Sungguh kamu tidak sopan! Di Majlis yang agung ini! Kamu telah menghina agama Nashrani! Siapakah kau?!." 
Qais berkata, "Dia sahabat Rasulillah SAW bernama Dhirar bin Al-Azwar. Kau jangan memarahi dia dengan pedas!." 
Hiraqla terkejut dan bertanya, "Apa ini orang yang kalau perang terkadang berjalan kaki, terkadang berkuda, terkadang telanjang dada, terkadang berbusana?." 
Qais menjawab, "Betul!." 
Hiraqla terkejut dan diam. Tak disangka ternyata Dhirar yang disebut-sebut sebagai orang hebat oleh orang-orangnya, kini di depannya.

Karena tersinggung, kemarahan pimpinan para bathriq atas Dhirar  memuncak. Senyum yang tadinya mengembang, telah sirna dilanda oleh kemarahan yang melonjak. Dia mendekat untuk membela Hiraqla rajanya. 
Sejumlah bathriq bawahannya, dan semua pengawal raja, juga telah marah, karena kemarahan dia.
Hiraqla justru takut jika dirinya diserang oleh mereka yang kesetanan. Jalan satu-satu yang harus ditempuh, perintah, “Potonglah dia dengan pedang kalian! Lalu hilangkan bekas darahnya!.”

Para batriq dan pengawal raja turun dengan pedang terhunus
, untuk membunuh Dhirar yang dua tangannya terikat.
Beberapa mata terbelalak menyaksikan Dhirar dihajar bertubi-tubi dengan pedang-pedang tajam, oleh sejumlah orang kesetanan. 

Amukan mereka berakhir ketika tubuh Dhirar telah ditebas dengan pedang yang ke 114 kalinya.
Dhirar bermandi darah dan lunglai, namun belum wafat. Karena Kebesaran Allah.
Pimpinan bathriq itu terheran-heran ‘kenapa dia belum tewas?’. 
Dia ketakutan dan perintah, “Potonglah lidahnya yang lancang!.”

Yuqana bersumpah dalam hati, “Demi Allah saya harus menggagalkan rencana ini
! Agar manusia laknat tidak menindak lebih berat, pada sahabat Rasulillah SAW.”
Dia maju ke hadirat Hiraqla dan meroboh ke tanah
, seraya berkata, “Yang mulia, perintah jahat orang ini tidak benar. Sebaiknya lelaki ini justru dilepaskan hingga sehat. Lalu dia kita keluarkan ke pintu gerbang kota, untuk disalib dan dibunuh! Agar kaum Romawi menyaksikan dengan perasaan puas. Karena ucapan dia membuat kaum Romawi marah. Dialah yang telah membunuh ayah-ayah, anak-anak, dan saudara-saudara mereka. Terbunuhnya dia juga akan membuat kaum Muslimiin menjadi hina dan jatuh mental.”
Yuqana minta begitu pada Hiraqla, sebagai upaya agar Dhirar selamat dari kematian. Dia berpikir jika telah malam, kemarahan Hiraqla pasti telah reda, dan memperbolehkan Dhirar dilepas.

Hiraqla perintah pada Yuqana, “Masukkan pada tahanan
! Untuk dihukum besok pagi!.” 
Dhirar yang lunglai diusung, untuk dimasukkan ke rumah Yuqana. 
Dengan bergetar, Yuqana mengamati luka-luka dan darah Dhirar yang bercucuran. Semaikin lama dia mengamati, semakin heran: ternyata luka-lukanya sudah menyembuh. Matanya terbelalak ketika menyaksikan otot-otot Dhirar semuanya utuh meskipun telah ditebas 114 kali dengan pedang tajam, karena dilindungi oleh Allah. 

Yuqana mengobati luka-luka Dhirar, memberi makanan dan minuman. 
Dhirar membuka dua matanya dan melihat Yuqana bersama putranya.
Dhirar belum tahu bahwa Yuqana mengobati, memberi makanan dan minuman, sebagai muslihat untuk mencelakai Hiraqla
Dhirar berkata, “Kalau kalian berdua kafir, berarti telah ditundukkan oleh Allah, untuk mengobati saya. Kalau kalian berdua beriman, maka saya ucapkan selamat, semoga mendapatkan pertolongan. Barangkali melalui kalian berdua, Allah akan akan menolong saya, menghibur para wanita tua di Chijaz yang sama menangis, siang dan malam, karena kepergianku. Mereka mencintai saya dan adik perempuan saya bernama Khaulah. Mereka sedih karena rindu diriku. Kalau kalian bias, tolong sampaikan salam saya pada adik perempuan saya. Katakan bahwa saya di sini, agar adik perempuan saya memberi tahu pada ibu saya.”

Ketika malam telah kelam, Dhirar berkata pada Yuqana dan putranya, “Demi Allah tulislah ucapan saya.” 
Putra Yuqana mempersiapkan pena untuk menulis.
Dengan lemas, Dhirar berkata:
Hai dua orang! Demi Allah sampaikanlah
Salamku ke penduduk Chijer dan Makkah
Selama hidup kau telah menikmati ribuan nikmah
Dan anugrah melimpah
Jasa kalian takkan disia-siakan oleh Tuhan
Yang telah merubah deritaku menjadi nyaman
Jasa kalian membuat saya bisa istirahat
Dan bisa merasakan makanan dan minuman lezat
Kematian akan saya hadapi tanpa bimbang
Yang saya pikirkan justru nasib wanita tua di tanah gersang
Dia tak berdaya
Menghadapi kehidupan fana
Roti dan sayuran membuat hatinya berbahagia
Tadinya saya yang menopang hidupnya
Dia saya muliakan
Meski saya didera kefakiran
Saya bahagia jika bisa memburukan kelinci untuknya
Terkadang dia saya beri Yarbu, kijang, dan burung Shaqar (الصَّقْرُ)
Terkadang kucarikan kijang jantan, biawak dan baqar (البَقَر)
Dia tinggal di tanah luas
Dulu aku pembela dia
Kini yang saya inginkah hanya Allah Taala
Agar menemani saya di dalam memerangi kaum Hina
Dulu saya membuat senang pada Muhammad sebaik-baik Makhluq Tuhan
Dengan berharap beruntung di hari Kebangkitan
Barang siapa khawatir dengan hari Kebangkitan
Pasti membuat Tuhannya ridha dan memerangi penyembah Salib Banil-Kufar
Demikian yang kulakukan ketika memerangi kaum Kufar
Kadang mengobrak-abrik dan menyerang
Kau berkata, "Kita telah waktunya berpisah."
Saudara! Saya tak sabar dan gelisah
Hai saudara! Mungkin kita akan berpisah
Insan yang pergi jauh ini
Mungkin pulang, mungkin terus pergi
Sampaikan salam saya saudaranya! Padanya
Katakan, "Saudaranya terancam di genggaman-kekufuran
Terluka dan tercampak setelah berjuang
Untuk Islam dan yang Maha Penyayang"
Hai burung! Maukah kau menyampaikan suratku
Pada laskar Islam dan pimpinanku
Katakan Dhirar diikat di sana
Di negeri jauh, di Antakia
Burung-burung Najed! Dengarkan!
Ucapan orang yang ditawan
Jika orang-orang yang mencintaiku menanyakan
Katakan! Airmataku mengalir bagai hujan
Burung-burung Najed! Katakan pada adikku perempuan!
Aku akan dibunuh dengan pedang mematikan
Burung-burung! Saksikan saya!
Katakan Dhirar menangis dalam penjara!
Katakan pada mereka saya diikat dalam tahanan
Dengan dada terluka mengerikan[1]


Syair Dhirar dicatat oleh putra Yuqana, lalu disalin oleh Yuqana, untuk dikirimkan pada Abu Ubaidah secara rahasia.

Di dalam surat itu, Yuqana juga menjelaskan rencanya akan bermakar.
Surat diantarkan oleh orang kepercayaan Yuqana menuju Abu Ubaidah.



[1] Syair aslinya dalam bahasa Arab dan panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar