(Bagian ke-93 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Di saat Abu Ubaidah mempersiapkan pasukannya untuk pulang ke
Chimsh (Homs); penguasa kota Ainul-Jauz (عين
الجوز) datang
menghadap untuk mengajukan permohonan damai. Abu Ubaidah mengabulkan permohonan
itu dengan syarat mereka menyetorkan upeti setengah dari yang dibebankan atas penduduk
Balbek. Dia mengangkat Salim bin Dzuaib As-Sulami (سالم بن ذؤيب السلمي) agar memerintah dan mengurusi kota Ainul-Jauz (عين الجوز).
Pesan Abu Ubaidah yang disampaikan pada Salim bin Dzuaib, sama dengan yang
disampaikan pada Rafi bin Abdillah As-Sahmi (رافع
ابن عبد الله السهمي).
Abu Ubaidah dan pasukannya berangkat menuju kota Chimsh (Homs).
Ketika dia dan pasukannya sampai di antara kota Ros (الرأس)
dan kota Kafilah (الكفيلة), berhenti untuk menerima penguasa kota
Jausiyah yang datang menghadap, membawa hadiyah berjumlah banyak sekali. Abu
Ubaidah menerima hadiyah itu dan memperbaharui perjanjian damai dengannya.
Selanjutnya meneruskan perjalanan ke Chimsh.
Setelah Abu Ubaidah pergi, Rafi bin Abdillah mulai memimpin
pasukannya di luar beteng kota Balbek. Yang sangat diwaspadai oleh mereka
adalah jalan pantai yang kemungkinan akan dilewati oleh bala tentara dari
Romawi yang datang untuk membantu pasukan Balbek. Di antara pasukan Rafi bin
Abdillah, ada tentara yang bernama Chiban bin Tamim Ats-Tsaqafi (حبان بن تميم الثقفي).
Rafi bin Abdillah dan pasukannya menyerang kaum Arab Nashrani tetangga
kota Balbek yang tidak mengajukan permohonan damai. Saat yang paling
menyenangkan penduduk Balbek adalah jika pasukan Muslimiin akan pergi
meninggalkan kota untuk menyerang lawan: saat itu pasukan Muslimiin menjual
barang-barang dengan harga murah. Yang menambah penduduk Balbek senang, karena
pasukan Muslimiin tidak pernah bohong, curang, atau aniaya.
Di masa perdamaian itu ekonomi penduduk Balbek melonjak naik,
sehingga mereka berbahagia, karena pasukan Muslimiin yang melindungi mereka
dari luar beteng sangat menguntungkan secara ekonomi, hingga Harbis yang merasa
belum mendapatkan keuntungan merasa iri.
Lautan Manusia
Harbis mengumpulkan rakyatnya di Gereja kota yang sangat besar,
pada waktu yang ditentukan. Di pertengahan lautan Jamaah Nashrani itu Harbis
berkata pada para pedagang, “Kalian tahu sendiri bahwa sesungguhnya yang telah
memprakarsai untuk ini semua adalah saya. Kini kalian menjadi orang-orang kaya
dan aman dari musuh karena dijaga kaum Arab di luar beteng. Saya lah yang telah
mengorbankan harta dalam jumlah banyak demi perdamaian ini. Bahkan demi ini
semua senjataku telah dirampas dan pelayanku banyak yang mati terbunuh,
demikian pula orang-orangku dan keluargaku. Yang paling beruntung justru
kalian, karena mendapatkan laba dan kekayaan yang banyak dari kaum Arab! Betul
kan?.”
Rakyatnya menjawab, “Betul,” menggemuruh. Banyak juga yang
berkata, “Yang tuan katakan semuanya benar, lalu apa keinginan tuan?.”
Harbis menjawab, “Saya sebagai penguasa kalian ingin sekali
menarik harta untuk menggati sebagaian hartaku yang telah kuserahkan pada kaum
Arab untuk perdamaian ini.”
Mereka menjawab, “Maksudnya bagaimana?.”
Harbis menjawab, “Saya takkan memaksa kalian menyerahkan harta
kalian dalam jumlah banyak. Saya hanya ingin dalam kalian berjualan pada kaum
Arab, saya diberi sepersepuluh dari laba.”
Tak lama kemudian terjadi percekcokan antara yang setuju dan
yang tidak setuju. Dan kericuhan makin memuncak higga membisingkan telinga. Ada
suara keras, “Hai kaumku! Beliau adalah raja kita yang telah melindungi kita
dengan mengorbankan harta dan dirinya! Beliau telah berkata jujur! Hormati dan
taatilah!.”
Mereka pulang setelah menyetujui permintan Harbis raja mereka.
Dan Harbis mengangkat beberapa petugas yang akan menarik uang dari para
pedagang. Harbis perintah agar orang-orangnya menarik uang dari para pedagang
selama 40 hari. Ternyata hasilnya sangat banyak sekali. Hari-hari setelah itu
perekonomian rakyat tetap dalam keadaan melambung tinggi.
Harbis berkata, “Sungguh rakyatku bergembira karena bisa membeli
apa saja. Sejak dulu mereka belum pernah mendapat rizqi sebanyak ini.”
Harbis mengumpulkan rakyatnya di Gereja besar di tengah kota
untuk berkata, “Saya juga ingin berbahagia seperti kalian! Sepersepuluh yang
kalian berikan padaku belum seberapa dibanding harta kekayaan yang kuserahkan
pada kaum Arab untuk perdamaian ini! Tambahilah agar hartaku segera pulih
seperti dulu dengan cepat! Saya juga telah rugi karena kehilangan senjata dan
pelayan-pelayan saya terbunuh dalam peperangan kemarin dulu.”
Karena Harbis bersikeras, kaumnya sama membantah dengan suara
keras pula. Karena orang-orang Harbis mengamuk membela rajanya; rakyat yang
berjumlah banyak sekali itu melawan dengan garang. Hiruk pikuk dan jeritan
serta gertakan berceloteh keras mengusir sepi. Sejumlah rakyat membunuh dan
memutilasi orang-orang Harbis yang semena-mena pada mereka. Terjadi keributan
dan kericuhan berdarah menggila yang menggemparkan kota.
Pasukan Muslimiin di luar beteng menyesal kenapa kebaikan mereka
justru berdampak kericuhan berdarah, walau tak tahu persis kejadian lengkapnya.
Mereka berkumpul untuk berkata di hadapan Rafi bin Abdillah pimpinan mereka,
“Yang mulia! Apakah kau tak mendengar suara gaduh, tangisan, dan teriakan keras
di dalam beteng?.”
Rafi menjawab, “Saya juga mendengar, tapi kita tidak bisa
berbuat banyak, karena kita tidak boleh masuk ke dalam beteng ini. Ini sudah
menjadi keputusan yang kita setujui bersama. Kita lah kaum yang paling berhak
menetapi aturan yang dibuat di hadapan Allah. Kalau mereka mau keluar dari
beteng, kita bisa menolong mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar