Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2012/05/29

UF 2: Usul Fiqih



Masih banyak orang mengatakan, “KH Nurhasan tersesat karena mengajarkan ilmu manqul, dan tidak mengikuti ulama salaf.”
Sebetulnya para sahabat, para tabiin, para ulama salaf, dan para Muhadditsiin, juga mempergunakan metode manqul, dalam belajar dan mengajar mereka. Dan KH Nurhasan juga mengikuti para ulama salaf. Ucapan ulama salaf yang ditulis di dalam Kutubussittah, yang beliau ajarkan, sangat banyak. Yang dari Bukhari saja banyak ucapan para sahabat, para tabiin, dan ulama salaf yang bisa dijadikan hujjah, karena kepandaian mereka sempurna.

Tulisan di bawah ini menunjukkan Kepiawaian Bukhari yang sangat sempurna mengenai Hadits dan Fiqih: صحيح البخاري - (ج 7 / ص 13)
بَاب اغْتِسَالِ الصَّائِمِ
وَبَلَّ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثَوْبًا فَأَلْقَاهُ عَلَيْهِ وَهُوَ صَائِمٌ وَدَخَلَ الشَّعْبِيُّ الْحَمَّامَ وَهُوَ صَائِمٌ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَا بَأْسَ أَنْ يَتَطَعَّمَ الْقِدْرَ أَوْ الشَّيْءَ وَقَالَ الْحَسَنُ لَا بَأْسَ بِالْمَضْمَضَةِ وَالتَّبَرُّدِ لِلصَّائِمِ وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلًا وَقَالَ أَنَسٌ إِنَّ لِي أَبْزَنَ أَتَقَحَّمُ فِيهِ وَأَنَا صَائِمٌ وَيُذْكَرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ اسْتَاكَ وَهُوَ صَائِمٌ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ يَسْتَاكُ أَوَّلَ النَّهَارِ وَآخِرَهُ وَلَا يَبْلَعُ رِيقَهُ وَقَالَ عَطَاءٌ إِنْ ازْدَرَدَ رِيقَهُ لَا أَقُولُ يُفْطِرُ وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ لَا بَأْسَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ قِيلَ لَهُ طَعْمٌ قَالَ وَالْمَاءُ لَهُ طَعْمٌ وَأَنْتَ تُمَضْمِضُ بِهِ وَلَمْ يَرَ أَنَسٌ وَالْحَسَنُ وَإِبْرَاهِيمُ بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ بَأْسًا.

Artinya:
Bab Orang Berpuasa Mandi
Ibnu Umar RA pernah membasahi pakaiannya, diletakkan atas dirinya, ketika sedang berpuasa.
Assya’bi (الشَّعْبِيُّ/murid Ibnu Abbas RA) pernah memasuki chammam (الْحَمَّامَ/pemandian), ketika sedang berpuasa.
Ibnu Abbas RA berkata, “Mencicipi (makanan dalam) periuk atau sesuatu, tidak berdosa.”[1]
Al-Chasan (tabik murid Abu Hurairah RA) berkata, “Bagi orang yang berpuasa, berkumur dan berbasah (agar dingin) tidak berdosa.”
Ibnu Masud RA berkata, “Jika seorang kalian berada di hari puasa, hendaklah pagi-pagian bersisir.[2]
Anas RA berkata, “Saya memiliki abzan yang saya masuki, ketika berpuasa.”[3]
Dituturkan dari nabi SAW: “Sungguh beliau SAW pernah menggosok gigi, ketika sedang berpuasa.”
Ibnu Umar RA berkata, “Boleh menggosok gigi, di awal dan akhir siang. Namun tidak boleh menelan ludah (siwak/air-odol)nya.”
Athak (عَطَاءٌ/murid Ibnu Abbas RA) berkata, “Jika ludahnya tertelan, saya tidak berani mengatakan ‘harus mokel (mukah/membatalkan puasanya)’.”
Ibnu Sirin (murid Anas bin Malik RA) berkata, “Tidak berdosa, menggunakan siwak basah (sikat diberi odol).”
Ada yang menjawab, “(Siwak) ada rasanya kan?.”
Ibnu Sirin menjawab, “Air juga ada rasanya, namun kau pergunakan untuk berkumur?.”
Anas bin Malik, Al-Chasan, dan Ibrahim (murid Alqamah murid Abdullah bin Masud RA), tidak memandang berdosa ‘mengenakan celak bagi orang yang berpuasa’.[4]

Di zaman KH Nurhasan, Usul Fiqih tidak diajarkan, karena Fiqih dari Bukhari jauh lebih berbobot. Karena diambil dari nabi SAW, para sahabat, para tabiin, dan ulama salaf seperti di atas. Agar para penerus beliau lebih tahu bagaimana para fuqahak menentukan hukum, maka kini telah diajarkan Usul Fiqih oleh Syaikh DR Abdullah Assirri, dari Masjidil-Haram:
Perbedaan Fiqih; Ilmu; Zhon (الظن/Persangkaan); dan Syakk (الشك/Keraguan):
1.     Fiqih adalah ilmu yang lebih spesifik (اخص/lebih khusus/lebih detail).[5]
2.     Ilmu ialah pengetahuan tentang sesuatu. Bodoh ialah tidak tahu ilmu dan fiqih.
3.     Ilmu Dhoruri (العلم الضروري) ialah ilmu yang didapatkan dengan tanpa nazhor (النظر) dan tanpa istidlal (الاستدلال). [6] Seperti: Ilmu yang didapatkan karena pengamatan dari panca-indra; pendengaran; penglihatan; penciuman; lidah; rabaan (sentuhan kulit). Ilmu Muktasab (العلم المكتسب) ialah yang didapatkan karena nazhor (النظر) dan istidlal (الاستدلال). Dalil ialah yang menunjukkan sesuatu.

4.     Zhon (الظن) ialah persangkaan dengan pertimbangan di antara dua pilihan, yang condong sebelah. Syakk (الشك) ialah keraguan di antara dua pilihan, dengan tidak mempedulikan dua pilihan tersebut. Ilmu Usul Fiqih (علم اصول الفقه) ialah upaya-upaya secara ijmal (global) dan cara mencari dalil mengenai fiqih (kefahaman sempurna).




[1] Maksudnya tidak ditelan.
[2] Tujuan Ibnu Masud, agar di siang hari basah yang melekat menimbulkan rasa dingin, membuat rasa nyaman bagi yang berpuasa.
[3] Abzan adalah wadah air dari batu dicekung seperti telaga.
[4] Hujjah mereka di atas bisa dipergunakan, walaupun bukan nabi SAW, karena ilmu mereka luasnya luar biasa. Bahkan mereka lebih hebat daripada Imam Maliki dan Imam Syafii. Wallahu a’lam.
[5] Penentuan hukum: Wajib, mandub, mubah, machzhur, makruh, shahih, dan bathil, disebut fiqih.

[6] Nazhor (النظر) ialah berpikir untuk mengamati dengan cermat. Istidlal (الاستدلال) ialah berdasarkan dalil.

2012/05/26

BI 6: Bedah Ibnu Katsir




Mengkaji Surat Abasa, membuat ingatan kami melayang pada negeri Iraq dan Iran. Penduduk dua negeri yang kebanyakan menganut faham Syiah ini, banyak yang meyakini bahwa sosok yang dikritik oleh Allah dalam Surat Abasa, bukan Nabi Muhammad SAW.
Kata mereka, “Nabi Muhammad SAW, maksum. Tidak mungkin berbuat salah.”[1] 
Memang nabi SAW maksum, tetapi pernah berbuat salah
Allah menjelaskan, bertujuan menunjukkan pada manusia, bahwa beliau manusia biasa.
بسم الله الرحمن الرحيم
عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى (7) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى (8) وَهُوَ يَخْشَى (9) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (10) كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ (11) فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ (12) فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (13) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ (14) بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16) قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ (17) مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ (18) مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ (19) ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ (20) ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ (21) ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ (22) كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ (23) فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ (24) أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا (25) ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا (26) فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا (27) وَعِنَبًا وَقَضْبًا (28) وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا (29) وَحَدَائِقَ غُلْبًا (30) وَفَاكِهَةً وَأَبًّا (31) مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ (32) فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ (33) يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ (34) وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ (35) وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ (36) لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ (37) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ (38) ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ (39) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ (40) تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ (41) أُولَئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ (42)  [عبس/1-42].

Artinya:

Dia telah bermuka masam dan berpaling. (1) Lantaran seorang buta datang padanya. (2) Apa yang membuat tahu padamu ‘barangkali dia berusaha suci?’. (3) Atau dia mengambil peringatan, hingga peringatan bermanfaat padanya?. (4) Adapun orang yang sok kaya, (5) maka kau sibuk untuknya. (6) Apa (salahmu) jika dia tidak berusaha susuci?. (7) Adapun orang yang datang padamu dengan bergegas. (8) Diapun takut. (9) Namun kau justru berpaling darinya.[2] (10) Jangan begitu! Sungguh (Al-Qur’an) itu, peringatan. (11) Barangsiapa mau, maka menyebut Dia. [3] (12) Di dalam lembaran yang dimuliakan. (13) Yang ditinggikan, yang disucikan. (14) Di tangan-tangan para utusan. (15) Yang sama mulia yang baik-baik. (16) Insan dilaknat! Apa yang membuat kafir padanya?. (17) Dari mana sesuatu (Allah) mencipta dia?. (18) Dari nuthfah. Dia mencipta dan mengqodar padanya. (19) Lalu pada jalan (keluarnya), Dia mempermudahkannya. (20) Lalu Dia mematikan dan mengkodar dikubur padanya.[4] (21) Lalu jika telah menghendaki, maka Dia membangkitkannya. (22) Jangan begitu! Dia belum melakukan yang (Allah) perintah dia. (23) Hendaklah insan mengamati pada makanannya. (24) Sungguh Kami lah yang telah menuangkan air dengan benar-benar menuangkan. (25) Lalu Kami membelah bumi dengan benar-benar membelah. (26) Lalu Kami menumbuhkan biji-bijian di dalamnya. (27) Anggur, rerumputan. (28) Zaitun, kurma. (29) Taman-taman yang subur. (30) Buah-buahan dan rerumputan. (31) Sebagai fasilitas untuk kalian dan binatang-ternak kalian. (32) Namun jika ‘Pekikan telah datang (33); di hari itu, orang lari dari saudaranya, (34) dan ibunya, dan ayahnya, (35) dan istrinya, dan anaknya. (36) Tiap seorang dari mereka memiliki kesibukan yang mengalahkan(nya). (37) Di hati itu, wajah-wajah berseri-seri. (38) Tertawa bergembira. (39) Di hari itu debu-debu menimpa wajah-wajah. (40) Kotoran menimpa padanya. (41) Itulah mereka yang Kafir lagi Durhaka. (42).


[1] Tetapi berdebat dengan mereka, akan menguras tenaga dan waktu.
[2] Ibnu Katsir menulis: تفسير ابن كثير - (ج 8 / ص 319)

ومن هاهنا أمر الله عز وجل رسوله صلى الله عليه وسلم ألا يخص بالإنذار أحدًا، بل يساوى فيه بين الشريف والضعيف، والفقير والغني، والسادة والعبيد، والرجال والنساء، والصغار والكبار. ثم الله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم، وله الحكمة البالغة والحجة الدامغة.
Artinya:
Berangkat dari sini, Allah azza wajalla perintah agar RasulNya SAW jangan mengkhususkan dakwahnya pada seorang. Justru hendaklah menganggap sama pada:
Lalu Allah yang menunjukkan Jalan Lurus, pada orang yang dikehendaki. Hikmah nyata dan Hujjah jitu ‘hanya Milik Allah’ semata.
تفسير ابن كثير - (ج 8 / ص 319)
ذكر غيرُ واحد من المفسرين أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يوما يخاطبُ بعض عظماء قريش، وقد طَمع في إسلامه، فبينما هو يخاطبه ويناجيه إذ أقبل ابنُ أم مكتوم-وكان ممن أسلم قديما-فجعل يسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن شيء ويلح عليه، وودَّ النبي صلى الله عليه وسلم أن لو كف ساعته تلك ليتمكن من مخاطبة ذلك الرجل؛ طمعا ورغبة في هدايته. وعَبَس في وجه ابن أم مكتوم وأعرض عنه، وأقبل على الآخر، فأنزل الله عز وجل: (عَبَسَ وَتَوَلَّى * أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى * وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى ).

Artinya:
Ulama Mufassiriin berjumlah lebih (dari) seorang, telah menjelaskan, “Konon sungguh suatu hari Rasulullah SAW berbincang-bincang pada sebagian tokoh Quraisy. Sungguh baginda tamak (berambisi) mengislamkan tokoh tersebut.
Di saat baginda berbincang-bincang dan berbisik-bisik pada tokoh tersebut, Ibnu Ummi Maktum (termasuk yang masuk Islam awal) datang. Dia bertanya pada Rasulallah SAW, tentang sesuatu ‘dengan serius’.
Nabi SAW berangan-angan ‘semoga Ibnu Ummi Maktum menunda pertanyaan, agar leluasa dalam menanggapi tokoh tersebut.
Nabi berharap sepenuhnya, tokoh tersebut mendapatkan hidayah.
Nabi bermasam muka dan berpaling di depan Ibnu Ummi Maktum, dan menanggapi orang tersebut dengan serius.
Maka Allah azza wajalla menurunkan ‘عَبَسَ وَتَوَلَّى * أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى * وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى’.”

Al-Baghawi menulis: تفسير البغوي - (ج 8 / ص 332)
 { أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى } [أي: لأن جاءه الأعمى] وهو ابن أم مكتوم، واسمه عبد الله بن شريح بن مالك بن ربيعة الفهري من بني عامر بني لؤي، وذلك أنه أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو يناجي عتبة بن ربيعة، وأبا جهل بن هشام، والعباس ابن عبد المطلب، وأبيّ بن خلف، وأخاه أمية، يدعوهم إلى الله، يرجو إسلامهم، فقال ابن أم مكتوم: [يا رسول الله] أقرئني وعلمني مما علمك الله، فجعل يناديه ويكرر النداء، ولا يدري أنه مقبل على غيره حتى ظهرت الكراهية في وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم لقطعه كلامه.
Artinya:
Nabi SAW memalingkan wajahnya. Karena orang buta itu datang padanya, yakni Ibnu Umi Maktum, yang nama sebenarnya, Abdullah bin Syuraich bin Malik bin Rabiah Al-Fihri. Dia tergolong keluarga besar Amir bin Luai.
Karena dia datang, ketika Rasulallah SAW sedang berbisik-bisik dengan Utbah bin Rabiah, Abu Jahl bin Hisyam, Abbas bin Abdil-Muthallib, dan dua kakak-beradik (Ubai dan Umayah bin Khalaf).
Nabi mengajak agar mereka menyembah Allah dengan cara masuk Islam.  
Ibnu Maktum berkata, “Ya Rasulallah, bacakan (Al-Qur’an) pada saya. Sebagian Ajaran Allah, ajarkan pada saya.”
Ibnu Maktum menyeru nabi berulang-ulang. Dia tidak tahu bahwa nabi sedang menghadapi selain dia dengan serius. Hingga kebencian tampak di wajah Rasulillah SAW, yang dipotong perbincangannya.
[3] Kata ganti yang diartikan ‘nya’ dalam lafal ‘dzakarah (ذَكَرَهُ/menyebut Dia / ingat padanya)’, ada yang meyakini ‘dirujukkan pada Allah’, ada yang meyakini ‘dirujukkan pada Al-Qur’an’.
[4] Yang mengubur semua mayat adalah Allah, melalui perantaraan manusia atau yang dikehendaki oleh Allah.